ANAK berusia 10 tahun itu semula hanya mengeluh sakit tenggorokan ringan. Tetapi, entah bagaimana, penyakitnya tak kunjung sembuh, sekalipun dia sudah mendapat delapan resep dari seorang dokter spesialis. Obat yang dia telan antara lain beberapa antibiotika kombinasi. "Bukannya sembuh, anak itu malahan menjadi lemah dan sakitnya berlarut-larut," cerita dr. Sardjono, ahli farmakologi Universitas Indonesia yang mendokumentasikan korban obat antibiotika kombinasi. Anak yang berulang kali minta pertolongan dokter itu barangkali hanya satu dari sederet korban akibat penggunaan antibiotika kombinasi, yang mulai 31 Juni 1984 dilarang pembuatannya di sini. Antibiotika kombinasi yang berupa kapsul maupun sirup dalam satu sediaan, membanjir sekitar 10 tahun yanglampau. "Larangan ini dikeluarkan agar masyarakat jangan sampai dirugikan," kata Midian Sirait, direktur jenderal Pengawasan Obat dan Makanan kepada TEMPO. Munculnya antibiotika kombinasi tampaknya memudahkan banyak dokter yang lebih menyukai jalan pimtas dalam mengatasi penyakit infeksi yang penyebabnya belum mereka ketahui secara pasti. Sikap menggampangkan ini sebagaimana dikatakan Midian, mengakibatkan terbuangnya obat. "Bayangkan, dari sekitar 500 juta rupiah anggaran obat-obatan pemerintah, 19,6% adalah antibiotika yang sebagian besar merupakan kombinasi tetap. Ini pemborosan," ujarnya. Sementara itu, bagi Sardjono, akibat obat kombinasi terhadap kesehatan masyarakat dirasakan lebih merugikan dari sekadar uang yang terbuang. Semula, kombinasi dalam satu sediaan itu misalnya kombinasi antibiotika dengan antibiotika, antibiotika dengan sulfonamid (antibakteri), dan antibiotika dengan antimikotik (penghancur jamur) - bertujuan untuk memperlebar daya jangkau obat. "Tetapi, kenyataannya, itu hanya memngkatkan resistensi kuman karena takarannya yang tidak memadai. Sedangkan zat aktif lain yang ditambahkan, dan ternyata tak berguna, mengakibatkan efek samping yang tidak dikehendaki," kata Sardjono. Terkadang, pencampuran antibiotika dilakukan berdasarkan asumsi belaka. Misalnya, pembuatan obat kombinasi antibiotika dengan vitamin. Semula diasumsikan, oba yang cuma berisi antibiotika bila diminum bisa merusakkan flora kuman dalam usus yang berguna untuk pembentukan vitamin B secara alamiah. Karena asumsi itu, pabrik obat kemudian membuat antibiotika yang dikombinasikan dengan vitamin B. "Tapi asumsi itu tak pernah dibuktikan kebenarannya melalui penelitian klinis. Bahkan, kombinasi antibiotika-vitamin menimbulkan masalah terhadap kestabilan antibiotika itu sendiri ketika diserap usus," kata Sardjono. Salah satu merk obat dari kombinasi itu misalnya Tetraplex. Untuk radang tenggorokan, sering pula orang mendapat obat kombinasi antibiotika dengan ekspektoran (obat batuk) dalam bentuk sirup. Tetapi, sebagaimana diceritakan Sardjono, gabungan dalam bentuk cairan ini ternyata tidak dapat bersenyawa dan harus dikocok dulu. "Sering kali takaran kedua zat aktifnya tidak sesuai dengan dosis yang dikehendaki," katanya. Dosis tanggung ini bisa menyebabkan kuman menjadi kebal. Yang lebih mencemaskan, kombinasi antibiotika-antihistamin dan antibiotika-kortikosteroid - yang dimaksudkan untuk mengatasi infeksi yang disertai gatal-gatal dan alergi - dalam beberapa kasus malah berbalik dan mengakibatkan alergi kulit. Dua orang ahli kulit Indonesia, A. Kosasih dan Kho King Tjim, pernah membuktikan efek sampimg itu melalui suatu percobaan. Menggasak penyakit dengan "peluru" yang bermacam ragam ini, kelihatannya, tumbuh karena sikap masyarakat. Ada sementara pihak yang lebih memberatkan dokter, "yang mau mencari mudahnya saja." Mereka disebutkan tidak mau menegakkan diagnosa dengan teliti. Misalnya mengirim pasien ke laboratorium untuk mengetahui penyebab penyakitnya. "Kalau kita minta pasien pergi ke laboratorium, mereka akan pergi ke dokter lain. Daripada kehilangan pasien, lebih baik kita langsung memberikan antibiotika kombinasi," kata seorang dokter. Keadaan ini menyuburkan pasaran antibiotika kombinasi. "Pabrik obat meramu obat berdasarkan perkiraan kemungkinan-kemungkinan kombinasi obat," ucap Prof. Dr. Rudy Syarief Sumadilaga, kepala bagian farmakologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Meskipun produsen gencar memasarkan obat-obatan kombinasi itu, masih ada dokter yang tetap bertahan dengan antibiotika tunggal. "Saya lebih cenderung menggunakan sediaan obat yang terpisah satu sama lain," kata Iwin Sumarman, ketua Ikatan Dokter Indonesia cabang Bandung. Pembuatan antibiotika kombinasi dinilai ketua umum IDI Pusat, Prof. Dr. Mahar Mardjono, sebagai tindakan pemaksaan dan tldak benar." Sebab, menurut dia, racikan obat antara pasien yang satu dan pasien yang lain berbeda. Dokter, katanya, kebanyakan mempunyai komposisi obat tertentu untuk mengobati pasiennya dan tidak tergantung pada racikan pabrik. "Sebab, mereka dipersiapkan untuk menjadi dokter, tenaga medis yang terampil. Bukan untuk tingkat manteri," kata ahli saraf itu. Midian Sirait sendiri menaruh harapan besar agar dokter meninggalkan sikap "cari mudahnya saja dalam melayani pasien." Jika sikap lama masih tetap bertahan, dia memperhitungkan akan muncul bisnis gelap antibiotlka kombinasi. "Indonesia merupakan negara pertama di ASEAN yang melarang antibiotika kombinasi," katanya. Negara yang ketat dalam pengawasan obatnya, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sudah lama nelarangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini