Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Evelyn Khoo, seorang terapis wicara dan bahasa di Singapura, telah mendedikasikan hidupnya untuk membantu individu dengan aphasia–sebuah kondisi yang mengganggu kemampuan seseorang untuk berkomunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui organisasi nirlaba yang didirikannya, Aphasia SG, Khoo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang afasia sekaligus menyediakan dukungan praktis bagi para penderita dan keluarga mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aphasia atau kerap ditulis afasia adalah kondisi yang sering kali disebabkan oleh kerusakan otak akibat stroke atau cedera lainnya. Gangguan ini dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara, memahami percakapan, membaca, atau menulis. Dampaknya sering kali melampaui aspek komunikasi, karena dapat menyebabkan isolasi sosial, rendahnya kepercayaan diri, hingga kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Membangun Komunitas yang Mendukung
Dilansir dari CNA Lifestyle, salah satu inisiatif utama yang digagas oleh Aphasia SG adalah "Chit Chat Cafe," sebuah kafe pop-up gratis yang diadakan setiap dua bulan. Di sini, individu dengan afasia dapat berinteraksi dalam lingkungan yang mendukung sambil menikmati secangkir kopi, makanan ringan, dan berbagai aktivitas sosial. Para peserta juga dapat berpartisipasi dalam permainan serta percakapan yang dipandu oleh sukarelawan yang telah dilatih secara khusus.
Program seperti "Chit Chat Cafe" dirancang untuk mengurangi rasa isolasi yang kerap dialami oleh penderita afasia. Khoo percaya bahwa menciptakan ruang aman untuk berkomunikasi adalah langkah penting dalam membangun kembali kepercayaan diri para penderita. Selain itu, inisiatif ini juga melibatkan keluarga dan teman-teman mereka, sehingga membantu menciptakan ekosistem dukungan yang lebih luas.
“Banyak orang dengan afasia merasa terputus dari dunia karena mereka tidak dapat berbicara seperti sebelumnya,” kata Khoo. “Lewat program ini, kami ingin menunjukkan bahwa mereka masih dapat berkomunikasi dan terhubung dengan orang lain, meskipun dengan cara yang berbeda.”
Khoo sebelumnya bekerja di bidang lain sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi terapis wicara. Selama kariernya, dia telah bekerja di berbagai lingkungan klinis, termasuk rumah sakit akut, pusat rehabilitasi harian, panti jompo, hingga komunitas. Pengalaman ini memberinya wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh penderita afasia, baik secara medis maupun psikososial.
“Saya menyadari bahwa afasia tidak hanya memengaruhi individu secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial, banyak dari mereka kehilangan rasa percaya diri karena merasa tidak mampu lagi berkomunikasi dengan baik. Ini adalah sesuatu yang ingin saya ubah," ucap dia.
Inisiatif Lain dari Aphasia SG
Selain "Chit Chat Cafe," Aphasia SG juga menjalankan program seperti "Aphasia SG Choir." Paduan suara ini memberikan ruang bagi penderita afasia untuk mengekspresikan diri melalui musik dalam lingkungan yang penuh dukungan. Musik dipilih karena dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi dan memberi kesempatan bagi mereka untuk merasa lebih terhubung dengan komunitas.
Aphasia SG juga menawarkan lokakarya edukasi dan sesi pelatihan untuk keluarga serta pengasuh. Tujuannya adalah memberikan pengetahuan dan alat praktis yang dapat membantu mereka mendukung anggota keluarga yang hidup dengan afasia. Khoo dan timnya percaya bahwa pemberdayaan keluarga adalah kunci dalam memastikan penderita afasia dapat menjalani hidup yang lebih bermakna.
Khoo menyadari bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami afasia secara mendalam. Melalui berbagai upaya yang dilakukan oleh Aphasia SG, dia berharap dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap kondisi ini. Salah satu pesan yang selalu ditekankan Khoo adalah bahwa afasia bukanlah cerminan kecerdasan seseorang.
“Mereka bukan bodoh,” tegas Khoo. Lebih lanjut, Khoo menjelaskan bahwa penyintas afasia hanya menghadapi kesulitan dalam menyampaikan apa yang mereka pikirkan atau rasakan, sehingga penting bagi kita untuk memberikan mereka kesempatan untuk tetap bersuara, meskipun dengan cara yang berbeda.
Dengan tim yang terdiri dari sukarelawan terapis wicara, Aphasia SG terus berupaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan ramah bagi penderita afasia. Khoo percaya bahwa dengan dukungan yang tepat, individu dengan afasia dapat menjalani kehidupan yang lebih mandiri dan bermakna.
Selain terapi dan dukungan sosial, inovasi teknologi juga menjadi salah satu elemen penting dalam membantu penderita afasia. Aphasia SG terus menjajaki penggunaan alat bantu komunikasi berbasis teknologi untuk mendukung proses rehabilitasi. Langkah ini tidak hanya membantu mereka berkomunikasi dengan lebih baik tetapi juga membuka peluang baru untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Melalui berbagai inisiatif yang dijalankan, Khoo dan timnya berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak dan suara bagi individu dengan afasia di Singapura. Misi mereka jelas, yaitu memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang merasa terisolasi hanya karena mereka kehilangan kemampuan untuk berbicara.
“Kami ingin dunia tahu bahwa mereka masih memiliki pemikiran, perasaan, dan kontribusi yang berharga,” demikian Khoo.