Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jangan gampang terpana pada paris

Louis feraud memamerkan 120 rancangannya pada malam dana yki di hotel borobudur. memiliki ciri khas pada warna motif dan penggunaan ornamen. pt girisin dotama juga mengundang sejumlah desainer prancis.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOUIang muncul dari balik panggung. Gaun tembus pandang yang membungkus tubuhnya berhiaskan rangkaian manik-manik kecil berbentuk pipih dan aneka batu-batuan yang dibentuk melingkar sampai ke pusar. Di sentra ini ornamen dirancang seperti tassel. Sungguh seksi. Keahlian Feraud yang mulai merancang sejak 1955 juga tampak dari bordiran, sulaman, bahkan lukisan di atas berbagai macam bahan. Ia juga menggunakan bulu binatang dan benang emas sebagai hiasan gaun. Berbagai gaun silih berganti muncul di catwalk lewat empat peragawati Prancis, satu peragawati Singapura, dan delapan peragawati Indonesia. Lewat mereka pula warna-warni flora berkejapan. Feraud mencampur warna-warna kontras di atas bahan dasar velvet warna hitam, dan menghiasnya dengan benang-benang warna kuning, merah, hijau, pink, putih, dan cokelat, yang dibordir berbentuk bunga dan daun pada gaun model three pieces atau strapless. "Kami membutuhkan waktu sedikitnya 400 atau 500 jam untuk mengerjakan satu baju," kata Manajer Rumah Mode Louis Feraud, Guy Lambardi, kepada TEMPO. Feraud tak asing bagi pencinta mode Jakarta. Ini bukan kunjungannya yang pertama ke Indonesia. Sebelumnya ia sudah nongol pada 1978 dan 1980. Waktu itu ia mendesain pakaian dengan bahan batik, bersama perancang top seperti Lanvin, Balmeain, Ungaro, dan Carvent. Feraud memang tak sekadar unggul dalam desain dan motif saja, tetapi juga teknik jahitannya. Berbagai lilit, plits, dan ukiran-ukiran ornamen dikerjakan dengan sangat teliti dan halus. Karena itu menjadi mewah dan sangat mahal. Sebuah gaun, kata Lambardi, harganya bisa mencapai US$ 15.000 sampai US$ 25.000. Feraud biasa merancang pakaian istri Presiden Prancis Dainielle Mitterrand. Ia juga merancang untuk artis Brigitte Bardot, Paulette Godard, Kim Novak, Catherine Deneuve, dan artis-artis film seri Dynasty dan Dallas. Feraud sendiri punya minat untuk membuka butik di Jakarta tahun 1992. "Kami sedang mempersiapkan kemungkinan menjual pakaian jadi untuk pria dan wanita," kata Lambardi. Ia memang sudah melihat peminat di Jakarta yang begitu besar. "Sayang, pakaian yang kami pamerkan ini koleksi, dan sebagian malah kami ambil dari museum Monsiour Feraud, jadi tidak dijual," ujar Lambardi. Dengan membuka butik sendiri, diharapkan pelanggan di Jakarta bertambah. Nyonya Atina Norman Sasono, misalnya, menyebutkan sangat fanatik dengan rancangan desainer Feraud. "Setidaknya setahun sekali saya mengunjungi Feraud. Dia teman baik saya. Jadi boleh mengubah ini-itu, kalau kebetulan saya tidak cocok dengan rancangannya," ujar Nyonya Atina. Berapa punya gaun rancangan Feraud? "Cukup banyak," katanya tanpa menyebut jumlah. Memang, ini pergelaran busana "tingkat tinggi". Lihat saja siapa yang hadir, kebanyakan tokoh kelas atas. Karena, "Busana yang ditampilkan sangat bagus dan menarik. Jarang ada pergelaran seperti ini di Jakarta," komentar perancang Peter Sie. Pergelaran pun dikemas secara profesional. Manajer tak cuma bertanggung jawab pada busana yang ditampilkan, tetapi juga jalannya show itu. Ia pula y~ang turun mengatur tata lampu dan musik. Dan Kota Jakarta menjelan~g tutup tahun ini rupanya dibanjiri peragaan busana. Dua hari setelah pergelaran di Hotel Borobudur itu, PT Garisindotama Multimedia juga mengadakan malam dana untuk Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosa Indonesia (PPTI) di Hotel Hilton Jakarta. Temanya Paris Sur Scene. Sesuai dengan tema itu, yang hadir sejumlah desainer besar Prancis, seperti Jean Paul Gaultier Claude Montana, Thiery Mugler, Olivier Guillemin, dan Sonia Rykiel. Sayang, busana yang ditampilkan oleh 15 peragawan dan peragawati Paris yang berwajah letih itu tak hanya desain lama, tetapi juga koleksi lama. Warna dan bentuknya sudah kusam. "Terus terang, saya kecewa. Tidak tematis," kata perancang Ghea Sukasah usai pertunjukan. Seorang desainer, Olivier Guillemin, 29 tahun, misalnya. Ia menampilkan 20 rancangan, yang kata perancang Itang Yunasz "bergaya avant garde". Namun, yang ini pun tak lepas dari komentar. "Aneh," kata seorang penonton, sambil menunjuk logam selebar 40 x 40 cm yang menutup dada pada gaun model strapless. Dan Guillemin bukannya tak tahu itu. "Saya tahu, rancangan saya akan susah diterima publik di sini," katanya kepada TEMPO. "Tapi ini cuma untuk fashion show. Saya sendiri sebetulnya lebih suka gaya feminin." Dan secara keseluruhan pergelaran ini tidak menampilkan sesuatu yang baru. "Makanya, jangan gampang terpana dengan yang berbau Paris. Disangkanya publik di sini nggak tahu apa-apa. Lalu seenaknya dikasih show model begini," kata perancang Robby Tumewu, yang membantu mengkoordinasi model. Sri Pudyastuti~ R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus