Asal Orang Bali: Mempertanyakan Argumentasinya? Saya tertarik menanggapi tulisan "Dari Mana Datangnya Bali" (TEMPO, 3 November 1990, Ilmu & Teknolog~i. Sewaktu kecil, saya pernah menanyakan pada Nenek, mengapa ada orang Bali - termasuk keluarga saya - yang maturan pada Hari Sugi Jawa, dan ada pula yang maturan pada Hari Sugi Bali (Hari Sugi adalah Kamis dan Jumat menjelang Hari Galungan). Jawab nenek saya, ini terjadi karena sebagian orang Bali berasal dari Jawa yang mengungsi pada saat runtuhnya Kerajaan Majapahit. Namun, sayangnya, pada waktu itu saya masih di SD sehingga tidak pernah terpikir untuk mencari bukti-bukti ilmiah tentang persoalan itu. Saya merasa kaget membaca hasil penelitian Sdr. Ketut Sarna. Kekagetan saya terletak pada bukti-bukti ilmiah yang dijadikan dasar argumentasinya: golongan darah dan tinggi badan. Terlepas dari kemungkinan sampel yang kurang mewakili, kesimpulannya bahwa orang Bali bukanlah keturunan orang Majapahit hanya berdasarkan dua paremeter tersebut tentu mengundang pertanyaan. Golongan darah memang merupakan sifat biologis yang relatif stabil, tapi bukan berarti tidak lepas dari gejala yang disebut random genetic drift (RGD). Gejala ini memang cenderung tidak kentara pada populasi yang ukurannya besar. Masalahnya ada, justru pada u~kuran populasi yang diperbandingkan itu. Penelitian yang dilakukan oleh L.L. Cavalli-Sforza dan kawan-kawan (The Genetic of Human Population, 1971), misalnya, menunjukkan bahwa kelompok kecil orang Irlandia yang sudah lama menetap di Liverpool (Inggris) mempunyai frekuensi alela golongan darah yang berbeda dengan orang Irlandia di negeri asalnya. Hal sama juga ditemukan pada kelompok-kelompok kecil tertentu orang Swiss bila dibandingkan dengan orang Swiss secara keseluruhan yang bermoyang sama. Kalau demikian, apakah masih mungkin kelompok kecil orang Pagayaman yang sudah sekian lama terisolasi dari orang Jawa bisa digunakan untuk mewakili orang Jawa? Apakah tidak mungkin bahwa perbedaan frekuensi golongan darah antara orang Bali dan orang Pagayaman justru disebabkan oleh adanya perbedaan RGD, mengingat ukuran kedua kelompok tersebut sangat berbeda? Selain itu, frekuensi alela golongan darah yang bisa khas bagi suatu populasi belum tentu bisa dijadikan ciri pembeda antarpopulasi. Misalnya ada suatu kelompok orang Amerindian secara kebetulan mempunyai frekuensi A:B:O yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan frekuensi orang Bali. Apakah lantas dengan begitu saja disimpulkan keduanya mempunyai moyang sama? Terlebih lagi kalau dipersoalkan penggunaan parameter tinggi badan. Sudah menjadi rahasia umum ~bahwa orang Jepang masa kini jauh lebih jangkung dibandingkan generasi tuanya. Tentu saja, tidak bisa disimpulkan bahwa orang Jepang masa kini nenek moyangnya sama dengan Eropa. Gizi banyak berperan di sini. Gizi orang pesisir tentu saja tidak sama dengan gizi orang pegunungan. Saya sebetulnya tidak keberatan dari mana pun nenek moyang saya berasal. Hanya, pada pendapat saya, penyimpulan penelitian yang berkaitan dengan hal-hal kompleks seperti ini perlu dilakukan secara hati-hati. Tidak determinatif seperti itu. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti dikemukakan oleh Sdr. Ketut Sudhana Astika~ Kalau tidak demikian, bukan tidak mungkin penelitian perguruan tinggi pun dapat tergelincir seperti kasus angket Monitor yang menggegerkan itu. I . WAYAN MUDITA Graduate Student, Department of Plant Science Mc Gill University 21,111 Lakeshore Rd. Ste.-Anne-de-Bellevue PQ Canada H9X 1CO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini