S~EKS itu tabu dan saru, tetapi ~perlu. Terutama untuk dijelaskan kepada remaja, lebih-lebih remaja di kota-kota besar, yang rupanya ingin mencari tahu lebih banyak, agar mereka bisa memperoleh informasi yang tidak menyesatkan. Lebih dari sekadar penjelasan, "hakikat" seks itu sendiri juga perlu dijelaskan, hingga penyalahgunaan peralatan seks bisa dihindarkan. Kepedulian terhadap generasi muda seperti itu mendorong kalangan pendidik, ju~ga para psikolo~g, menyusun buku-buku pendidikan seks. Psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, misalnya, menulis dua buku Seks, Apakah Itu? Suatu Petunjuk Buat Remaja (terbit 1980), dan Peranan Orangtua dalam Pendidikan Seks (1984). Di lain p~ihak, baran~gkali lantaran menggebunya minat remaja, yang kata orang "haus informasi", apalagi menyangkut hal-hal berbumbu seks, ada saja penulis yang memanfaatkan momentum itu untuk kepentingan-kepentingan komersial. Ada, misalnya, yang menerbitkan buku pendidikan seks, yang dari bentuk lahiriahnya saja sudah unik dan menarik: buku supermini berukuran 5,5 x 6,5 cm. Buku supermini itu berjudul Sex, Remaja, Isyu dan Tip (SRIT), karya M. Torsina, terbitan Cakrawala Cinta, Jakarta. Barangkali lantaran ukurannya yang supermini hingga mudah dikantungi (atau dibaca diam-diam sambil mojok), serta harganya yang hanya Rp 1.000, dalam tempo dua bulan SRIT sudah tiga kali dicetak ulang. Buku SRIT cetakan pertama, sebanyak 2.000 eksemplar, habis dalam tempo dua minggu. Juga cetakan kedua dengan jumlah eksemplar yang sama. Minggu lalu buku itu dicetak lagi 4.000 eksemplar. Di beberapa toko buku, SRIT sengaja dijual dekat kasir. "Supaya lebih aman," kata Nyonya Torsina, yang mengurus pemasarannya. Kabarnya, Kejaksaan Agung tengah meneliti SRIT. H~asilnya, sampai Sabtu minggu lalu, belum diketahui. Yang pasti, ketika Kejaksaan Agung pekan lampau melarang peredaran empat buku, SRIT tidak termasuk. Dari keempat buku yang dilarang itu, dua di antaranya dinilai porno, satu dianggap mengundang kerawanan karena menyangkut SARA, sedangkan buku yang sebuah lagi disebut mendiskreditkan beberapa instansi pemerintah. Buku tersebut adalah Pesona Seks Wanita, Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan, Kasih yang Menyelamatkan, dan Bertarung demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Pengadilan Mahasiswa Bandung 1990. Meski SRIT memuat beberapa kalimat vulgar, seperti tentang ukuran alat kelamin pria dan kemampuan di ranjang (halaman 85), hubungan ukuran alat kelamin wanita dan mulut (97), sampai soal hubungan oral dengan peningkatan gairah seks dan keremajaan (113), menurut Sarlito, hal-hal itu justru sering dilontarkan para remaja ketika ia memberi ceramah mengenai lika-liku seks di antara para remaja. SRIT, seperti ditulis Sarlito di harian Jayakarta, berusaha menjawab dan menegaskan bahwa hal-hal semacam itu tidak benar. Hal-hal yang bikin penasaran para remaja, seperti soal hubungan seks, misalnya, itu tidak bisa didiamkan (dengan alasan tabu) melainkan harus dijelaskan. Hubun~gan seks, menurut SRIT, adalah bukan sekedar soal kenikmatan dan soal ranjang, tetapi juga menyangkut seluruh struktur hubungan dan mengikat tanggung jawab kedua belah pihak (halaman 164). Tidak berarti SRIT sudah sempurna. Novelis Titiek W.S., misalnya, menilai kalimat dalam SRIT ada yang dianggapnya kasar dan bikin orang risi. Misalnya, apakah seks oral lebih merangsang daripada sanggama (halaman 196). Penilaian itu disampaikannya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis pekan ringannya Dul Muhi bakal punya buntut gawat sampai membakar rumahnya sendiri. Mendapati kejadian itu, istrinya menyatakan malu. "Sudahlah. Saya tak mau lagi bercerita soal suami. Saya prihatin, akibat kelakuannya, tetangga jadi korban," kata Sulema kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Kini Dul Muhi dipasung atas perintah Sarkali. Kakinya dijepit dengan dua pohon pinang. Janggut mulai gondrong dan rambutnya acak-acakan. Ketika ditemui pekan lalu, tak sepatah kata pun ia lalu. Seorang peserta diskusi yang lain menilai SRIT tidak cocok untuk para remaja. "Sanggama, misalnya, itu kan dilakukan oleh pasangan suami-istri, bukan oleh para remaja, apalagi yang belum menikah. Tetapi buku semacam ini justru untuk para remaja," katanya. Sebaliknya bagi novelis La Rose. Buku ini, katanya, tidak ada apa-apanya dibanding pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para remaja dalam setiap ceramah yang diselenggarakannya. "Pertanyaan mereka mengagetkan. Barangkali diperlukan buku kedua," tambahnya. Torsina, yang juga merangkap sebagai penerbit, menerima semua kritik yang dilontarkan terhadap bukunya. "Bicara soal seks berarti bicara tentang kontroversi. Sementara itu, adanya perbedaan waktu juga menggeser makna-makna tertentu. Norma yang berlaku sekarang misalnya, berbeda ~~~dengan norma zaman dulu," ujarnya. Ia menambahkan, SRIT merupakan buku penting bagi remaja, agar mereka tidak menjadi korban dari ketidaktahuan mereka sendiri. Tetapi buku ini juga bisa memberikan dampak sebaliknya. Penjelasan mengenai seks dalam SRIT bukan tak mungkin mendorong pembacanya untuk mencari tahu "tindak lanjut"nya. Bisa-bisa mereka penasaran untuk mencari informasi lanjutan. Sangatlah menarik pendapat salah seorang peserta dalam diskusi sehari itu. Katanya, "Remaja itu memang selalu ingin tahu. Juga dalam hal seks. Tetapi jangan-jangan juga menginginkan bagaimana mempraktekkannya. Penjelasan mengenai bahaya penyalahgunaan narkotik memang perlu. Tetapi bagaimana kalau mereka bertanya atau tertarik dan ingin tahu bagaimana rasanya?" Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini