INILAH perkara kejahatan narkotik terbesar dalam sejarah
peradilan Indonesia. Pengadilan Negeri Langsa di Aceh Timur yang
mencatat dengan keputusannya: Lee Wah Ceng dan Chang Sow Ven,
keduanya warganegara Taiwan, dijatuhi hukuman mati. Mereka,
dalam sidang yang putus Selasa pekan lalu, dianggap terbukti
menyelundupkan 91/2 kg heroin ke wilayah Indonesia.
Keputusan itu merupakan hukuman mati pertama bagi kejahatan
narkotik di sini. "Biar pihak luar tahu sikap kita yang keras
terhadap kejahatan semacam itu," ujar Ketua Majelis Hakim, Abdul
Rahim Nasution, mengomentari keputusannya sendiri.
Cerita kejahatan tersebut terungkap sebagai berikut.
Dua orang awak kapal M.V. An Hsing, Wah Ceng (53 tahun) dan Sow
Ven (59 tahun) memang lagi tidak hoki, ketika kapal mereka
merapat di pelabuhan Kuala Simpang Ulim, Aceh Timur, 23 Oktober
lalu. Kapal berbendera Taiwan itu datang dari Belawan, Medan,
dengan maksud memuat kayu bakau. Kayu itu akan dibawa ke Taiwan
melalui Tembilahan, Riau.
Seperti biasanya buruh-buruh pelabuhan di Kuala Simpang berebut
naik ke kapal menyambut kapal asing yang masuk. Mereka berharap,
kalau-kalau saja kebagian sisa makanan, rokok atau minuman awak
kapal. Salah seorang buruh, yang tergabung dalam Yayasan Usaha
Karya (Yuka) itu, adalah Ilyas (25 tahun). Secara tak sengaja
Ilyas melihat Juru masak d kapal itu, Sow Ven, lagi asyik
memaku papan di dasar Palka I kapal itu. Iseng-iseng Ilyas
menanyakan apa yang digarap Sow Ven itu. Yang ditanya tak
menjawab. Tapi, tak terduga Sow Ven membawa Ilyas ke geladak
kaDai dan memberinya hadiah, kaus tangan dan selembar baju kaus.
Pemberian itu memancing rasa ingin tahu Ilyas: apa yang disimpan
Sow Ven di balik papan yang dipaku itu? Keesokan harinya Ilyas
naik kembali ke kapal dan diam-diam membongkar papan misterius
tersebut. Ternyata ia menemukan dua bungkusan berisi bubuk
seperti tepung. Menyangka bubuk itu tepung kue, Ilyas segera
membagibagikan reeki itu kepada rekan sesama buruh.
Adalah suatu kebetulan, bila Ilyas bermaksud membawa "tepung"
itu ke rumahnya, seorang petugas KP3, Serda Pol Amran Nasution
memperhatikannya. "Hanya tepung roti," jawab Ilyas ketika
ditanya Amran.
Tapi Amran tidak segera percaya. Bersama Bharatu Bustian
Agustami dan petugas Bea Cukai Hasballah Bakri, Amran meneliti
tepung lari M.V. An Hsing itu. Kecurigaan Amran bertambah ketika
ia mencium tepung itu ternyata baunya aneh: rada-rada asam.
Malam itu juga Amran melaporkan penemuannya itu kepada
komandannya di Langsa. Selidik punya selidik kesimpulannya
gawat: tepung yang ditemukan Ilyas adalah heroin.
Keesokan harinya, Amran bersama beberapa petugas reserse
menggeledah kapal An Hsing. Buruh-buruh yang lagi bekerja
diperintakan menghentikan pekerjaan dan mengumpulkan semua
tepung yang dibagikan Ilyas kemarin. Hari itu juga polisi
berhasil mengumpulkan 16 bungkus bungkus heroin yang ditaksir
seberat 9 1/2 dengan harga Rp 5 milyar. Dua orang yang
disan-ka kuat sebagai pelaku kejahatan narkol-itu, si juru masak
Sow Ven dan seoral perwira kapal Wah Ceng, segera ditahan.
Di persidangan, Wah Ceng menga barang terlarang itu diterimanya
dari seseorang yang baru dikenalnya di Bangkok, Chen Kou Hwa.
Menurut cerita ah Ceng, kenalannya itu diterimanya di sebuah
tempat mandi uap. Kemudian ia ditawari membawa barang, yang
disebutkan sebagai bahan baku obat, ke Taiwan. Untuk jasanya itu
kata Wah Ceng, ia dijanjikan akan mendapat imbalan sebesar Rp
171/2 juta.
Semua barang titipan itu, menurut Wah Ceng lagi, diselundupkan
ke kapal di pelabuhan Bankok, melalui tumpukan sayuran untuk
perbekalan di kapal. Wah Ceng membenarkan ia meminta Sow Ven
menyimpan barang itu di kamar juru masak tersebut. Rencananya,
kata Wah Ceng, barang titipan itu akan diterima sendiri oleh
Chen Kou Hwa sesampainya di Taiwan.
Kedua awak kapal asing itu membantah mengetahui bahwa barang
yang dibawanya itu heroin. Di persidangan mereka malah mengaku
ditipu oleh Chen Kou Hwa. Atas pertanyaan Jaksa Sunyata Wah Ceng
merasa tidak curiga dengan janji Chen Kou Hwa, yang akan
memberinya imbalan besar hanya untuk membawa tepung obat. "Saya
tidak begitu paham dengan nilai uang," kata Wah Ceng melalui
penerjemah. Ajaib. Rekannya Sow Ven, malah lebih payah lagi
mengaku tidak tahu di negara mana ia tengah diadili.
Keterangan yang semacam itu tentu saja menjengkelkan majelis
hakim, dianggap berbelit-belit, dan belakangan dipertimbangan
sebagai pemberat hukuman. "Tersangka tahu benar barang yang
dibawanya itu heroin," kesimpulan Hakim Abdul Rahim Nasution
dalam putusannya, baik Wah Ceng maupun Sow Ven, terbukti
berusaha menyembunyikan barang-barang terlarang itu. Ke)ahatan
kedua awak kapal ltu, menurut hakim, selain membahayakan jiwa
manusia, juga ada itikad jelek terhadap pemerintah Indonesia.
Sebab itu majeis tidak melihat pilihan lain, kecuali menghukum
mati mereka, sesuai dengan tuntutan Jaksa Sunyata. Kedua
terhukum hari itu juga menyatakan naik banding atas putusan
hakim.
Apa pun putusan Pengadilan Tinggi nanti, jelas Pengadilan Negeri
Langsa merupakan pengadilan pertama, yang menjatuhkan hukuman
mati terhadap kejahatan narkotik di Indonesia. Berdasarkan
undang-undang anti-narkotik (UU No. 9/1976), Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sekitar tiga tahu lalu pernah menjatuhkan hukuman
penJara seumur hidup terhadap Lim Teng Pheow, seorang
warganegara Singapura yang terbukti menjual 1.920 gram heroin di
Indonesia. Tapi beberapa bulan kemudian keputusan tersebut
diperingan Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 10 tahun penjara.
Ketua Majelis Hakim, D.J. Staa yang menjatuhkan hukuman ringan
itu, tidak lama kemudian "dirumahkan" oleh Menteri Kehakiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini