Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jangan Menyepelekan Garam

Beredar di pasaran, garam yang mutunya di bawah standar. Bagaimana dampaknya bagi kualitas generasi mendatang?

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebaiknya Anda waspada. Garam beryodium palsu mungkin tersimpan di dalam lemari dapur Anda.Mereknya bisa beraneka—Bagong, Ikan, Baruna, Jangkar, atau Mobil—yang mencantumkan nomor registrasi Departemen Kesehatan dalam kemasannya. Semua merek mengklaim garamnya mengandung yodium sesuai dengan patokan yang berlaku. Namun, jangan gampang percaya. ''Sebagian klaim itu tidak benar," kata Chanif Mahdi, ahli biokimia pangan dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Tudingan Chanif memang beralasan. Dua pekan lalu, di Malang, Chanif merilis hasil penelitiannya tentang garam beryodium di Kecamatan Ngantang, Pujon, Ngadas, dan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Caranya, Chanif meminta para ibu mengumpulkan sejumput garam yang dikonsumsi sehari-hari. Selanjutnya, Chanif meneliti kandungan yodium dalam sampel garam yang terkumpul. Ada sekitar 30 merek.

Hasilnya, cuma 60 persen merek yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) Departemen Kesehatan. Sisanya, ada 12 merek, terbukti jauh dari SNI, yang mematok 30-80 ppm (part per million). Sebagian di antaranya cuma beryodium 14-23 ppm. Malahan, ada juga yang sama sekali tak beryodium. Padahal, ''Di kemasannya jelas tertulis kadar yodium 30-80 ppm," kata Chanif. Sayangnya, semua kemasan garam itu tidak dilengkapi informasi alamat dan identitas produsen. Akibatnya, pengecekan lebih lanjut sulit dilakukan.

Bagi Chanif, rendahnya kualitas garam ini menjelaskan alasan tingginya tingkat endemik penyakit gondok (goiter) di wilayah penelitian. Laki-laki dan perempuan dengan benjolan yang bergelayut di leher adalah pemandangan biasa. Di Ngantang, menurut sensus Departemen Kesehatan 1998, angka total gondok (total goitre rate, TGR) tercatat 40,6 persen dari penduduk. Sementara itu, angka TGR di Pujon jauh lebih tinggi, yakni 66,6 persen. Artinya, hampir dua pertiga penduduk Pujon terkena kelainan kelenjar gondok.

Sebenarnya, tingginya kasus kelainan kelenjar gondok bukan cuma terjadi di Malang. Menurut Johan Mansyur, pakar penyakit dalam dari Universitas Padjadjaran, Bandung, kantong potensi kelainan kelenjar gondok hampir merata di seluruh Nusantara. Johan memperkirakan, 40 juta penduduk Indonesia kekurangan yodium. ''Hanya DKI Jakarta yang tidak memiliki kantong endemik," kata Johan dalam sebuah simposium di Bandung, tahun lalu.

Umumnya, kantong endemik kelainan kelenjar gondok terdapat di wilayah pegunungan. Hal ini karena air tanah di pegunungan sangat miskin yodium. Keadaan ini diperparah oleh rendahnya kandungan yodium dalam garam. Alhasil, pasokan yodium ke dalam tubuh anjlok. Padahal, zat ini tak boleh absen dalam pembuatan hormon yang diproduksi kelenjar tiroid. Nah, absennya yodium membuat kelenjar tiroid semakin terpacu bekerja keras. Ujungnya, sel-sel kelenjar tiroid, yang terletak di tenggorokan bagian bawah, semakin besar dan bertambah banyak.

Namun, pembesaran kelenjar tiroid hanyalah satu lakon. Menurut Djoko Moeljanto, pakar endokrinologi dari Universitas Diponegoro, Semarang, dampak kekurangan yodium bisa jauh lebih merugikan bila terjadi pada anak-anak. Maklumlah, hormon tiroid adalah aktor utama dalam proses metabolisme tumbuh-kembang. Sehingga, anak-anak yang kekurangan yodium akan tumbuh kerdil, yang lazim disebut kretin endemik. Selain kerdil, anak kretin umumnya bermuka pucat dengan lidah menonjol keluar mulut, perut buncit, jalan pincang, dan sering mengantuk.

Yang tak kalah seram adalah dampak yodium terhadap perkembangan otak. Semasa janin sampai usia tiga tahun pertama, tubuh sedang supersibuk membangun sel otak. Salah satu bahan utama pembangunan otak ini adalah hormon tiroid. Otomatis, kurangnya pasokan yodium membuat pertumbuhan otak terganjal dan mempengaruhi kecerdasan. Di lapangan, IQ (intelligence quotient) yang menguap gara-gara kekurangan yodium sekitar 10-15 poin. Bahkan, bila si bayi kekurangan yodium sejak masih dalam janin, IQ yang berkurang bisa sampai 50 poin. Tentu saja, hal ini berbuntut sangat tak sedap. ''Terjadi kemunduran kualitas generasi mendatang," kata Djoko, yang juga Ketua Kelompok Studi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).

Nah, guna mencegah anjloknya mutu generasi mendatang, Djoko menganjurkan agar masyarakat lebih selektif memilih garam beryodium. Bila perlu, bergotong-royong membeli cairan pendeteksi yodium—yodina test—yang dijual bebas di apotek. Selain itu, menu makanan juga perlu diperkaya dengan unsur hasil laut—ikan, ganggang, kerang, dan rumput laut—yang kaya yodium. Kepala ikan laut, misalnya, adalah bagian yang paling kaya yodium dan berbagai mineral penting lainnya. ''Jadi, jangan justru dibuang. Bikin saja sup kepala ikan," kata Djoko.

Tentu saja, Departemen Kesehatan juga diharapkan lebih berperan aktif. Secara umum, Sampoerno, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM), menegaskan bahwa pihaknya sudah menerapkan standar prosedur pengawasan. Untuk setiap pendaftaran merek, Direktorat POM selalu menguji kualitas garamnya, termasuk dengan survei langsung ke pasar. Bila kedapatan ada pelanggaran, Departemen Kesehatan segera mencabut nomor registrasi garam bersangkutan.

Namun, Sampoerno mengakui, pemerintah tak bisa seratus persen menjaga garam beryodium sesuai dengan rambu resmi. ''Namanya manusia, ada saja yang main akal-akalan," kata Sampoerno kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Dalam survei yang digelar tahun lalu, misalnya, Departemen Kesehatan mendapati 36 persen garam yang beredar di Jawa Timur tidak memenuhi syarat. Secara nasional, garam yang mutunya di bawah standar bervariasi di kisaran 30 persen. Sebagian garam dikonsumsi masyarakat dalam bentuk ''krosok" alias garam mentah yang belum tersentuh yodium. Lantaran ketidaktahuan akan manfaat yodium, plus harga yang lebih murah, garam krosok masih dijual di pasaran.

Memang, guna menekan peredaran garam non-yodium, kesadaran masyarakat mutlak digenjot dari segala sisi. Konsumen harus memilih garam beryodium yang sesuai dengan standar. Produsen juga tak boleh mengabaikan penambahan yodium, yang hanya butuh ongkos sekitar Rp 5 untuk tiap kilogram garam. Dan, bila ada pengusaha yang memalsukan kadar yodium, konsumen berhak mengajukan class action ke pengadilan. Karena ini mempertaruhkan kualitas generasi, Sampoerno mengingatkan, ''Jangan anggap sepele soal garam."

Mardiyah Chamim dan Adi Sutarwijono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus