Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Pendengaran Sedunia diperingati setiap 3 Maret. Terkait itu, Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) menyoroti harga alat bantu dengar bagi penyandang tunarungu di Indonesia yang masih relatif mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rangkaian penanganan tuli kongenital ada missing link dalam penanganannya, yaitu alat implan koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat, belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," kata ketua Komite PGPKT Damayanti Soetjipto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Implan koklea merupakan alat bantu dengar berbasis elektronik canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala. Damayanti mengatakan harga alat tersebut sekitar Rp 200 juta di pasaran.
"Tapi di luar negeri seperti Malaysia, alat itu sudah ditanggung pemerintah," ujarnya.
Ia mengatakan alat tersebut saat ini sangat dibutuhkan untuk menangani bayi baru lahir dengan risiko tunarungu dalam mengatasi masalah pendengaran. Namun, harga yang relatif mahal di pasaran, membuat mayoritas keluarga tidak mampu mengakses alat tersebut.
"Terpaksa anak ini tidak bisa memakai alat bantu dengar yang sesuai sehingga dia terpaksa terlantar dan jadi anak tunarungu, tunawicara, dengan masa depan yang gemilang," ujarnya.
Produk impor
Damayanti melaporkan saat ini sekitar 5.200 anak di Indonesia terlahir dengan risiko tidak bisa mendengar sehingga perlu jadi perhatian pemerintah. Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), Yussy Afriani Dewi, mengatakan pemerintah masih memberlakukan dana subsidi senilai Rp 1 juta per alat untuk membantu masyarakat memperoleh alat bantu dengar. Sisanya ditanggung pasien.
"Alat bantu dengar memang relatif mahal," katanya. PERHATI-KL bersama sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap alat bantu dengar yang masuk dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan masih jauh dari standar.
"Dampaknya, alat bantu dengar jadi kurang enak dipakai pasien, tidak nyaman, sehingga sangat disayangkan banyak pengguna dari kalangan pasien yang melepas alat tersebut," jelasnya.
Yussy mengatakan alat bantu dengar di pasaran masih relatif mahal sebab belum diproduksi di Indonesia. Mayoritas yang beredar saat ini masih produk impor.
Pilihan Editor: 5 Dampak Buruk Penggunaan Headset Terlalu Lama bagi Pendengaran