Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jepang diancam usia pendek

Perubahan pola makan bagi orang jepang berisiko fatal. harapan hidup panjang menurun. kementerian kesehatan jepang meminta para ahli nutrisi menyusun menu sehat. akan didistribusikan ke restoran.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lingkungan kita, terutama di Jakarta, restoran Jepang tumbuh menjamur. Sebaliknya di Jepang sendiri, minat terhadap Japanese food malah menyusut. Maklumlah, karena makanan tradisional ini, selama 40 tahun terakhir, terdesak terus oleh Kentucky Fried Chicken, hamburger McDonald, tirasimu Italian dessert, dan fast food lainnya. Perubahan pola makan ini ternyata punya risiko fatal. Menurut Nishimaru Shinya dalam bukunya 41 Years of Life, makanan Eropa itu membuat orang Jepang yang lahir sesudah tahun 1959 rata-rata akan mati pada usia 41 tahun. "Hanya 20% yang akan berhasil melampaui usia 41 tahun, tapi kelompok ini pun tak akan mampu bertahan sampai usia 51 tahun," tulis Shinya. Pandangan penulis masalah kesehatan ini sangat mengejutkan. Apalagi hingga kini orang Jepang dikenal mempunyai rentang hidup paling panjang di dunia. Tahun lalu, harapan hidup orang Jepang rata-rata mencapai 75,5 sampai 82 tahun. Buku Shinya segera menjadi laris dalam beberapa bulan ini, selain juga menyebarkan ketakutan di Jepang. Bahkan, dua pekan lalu, dampaknya membuat Kementerian Kesehatan Jepang meminta para ahli nutrisi menyusun menu sehat. Rencananya, menu ini didistribusikan ke 510.000 restoran di Jepang. Pandangan Shinya dalam bukunya itu memang meyakinkan. Berdasar studinya ia menyebutkan, sesudah Perang Dunia II, masyarakat Jepang mulai meninggalkan makanan tradisional, ikan, kerang, sayur-sayuran segar, dan nasi. "Di tahun 1950, untuk mengatasi bahaya kelaparan di Jepang, Amerika Serikat mengirim gandum dan berbagai makanan yang kaya protein secara besar-besaran. Dan sejak itulah awalnya orang Jepang terpancing mengubah pola makan," tulis Shinya. Menurut pengamatan Shinya, dalam 20 tahun terakhir, konsumsi lemak daging, alkohol, dan gula naiknya luar biasa tinggi di Jepang. Pada 1950, konsumsi lemak hanya 7% dari jumlah kalori total makanan. Di tahun 1988, angka konsumsi lemak itu naik jadi 28%. Kenaikan ini paralel dengan naiknya angka berbagai penyakit. Yang paling menonjol adalah penyakit jantung dan beberapa jenis kanker. Ini juga berkaitan dengan angka kematian yang bertambah sejak 1988, sekitar 50.000 per tahun. Menurut teori Dr. Nevin Scrimshaw dari Universitas Harvard, AS, ambang aman angka konsumsi lemak adalah 25%. Bila angka itu melebihi 25%, risiko terkena serangan jantung bakal naik tajam. Sebaliknya, angka itu bisa ditekan sampai di bawah 25%, risiko penyakit jantung juga menurun drastis. Masyarakat Jepang kini memang keranjingan fast food. Anak-anak Jepang, misalnya, tidak membuat pekerjaan rumah di rumah atau perpustakaan, tapi di McDonald atau Dunkin Donat. Di kalangan remaja, yang lagi ngetrend belakangan ini adalah tirasimu, kue ala Italia yang punya lapisan tebal cokelat, gula, dan keju. Barangkali kita perlu belajar dari pengalaman Jepang. Sebab, kini masyarakat sedang keranjingan makanan Eropa dan fast food. Tapi kalau sudah kepalang meninggalkan makanan tradisional, masih ada jalan lain: lebih baik masuk saja ke restoran Jepang daripada menyergap fast food. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus