Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Noda-noda di pondok mengaji

Tiga gadis murid ngaji, tini,entis dan neneng, warga desa cikahuripan,sukabumi diperkosa di pondok ngajinya. pelakunya asep dan ade ditangkap polisi. kini ketiga korban dirawat di puskesmas.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA orang ibu-ibu mendatangi rumah Haji Zain, yang sehari-harinya guru mengaji. Mereka tanpa sungkan melabrak Pak Haji yang ketika itu tengah berkebun sayur bersama istrinya. "Lihat!" teriak mereka sambil menggelar tiga buah celana dalam berbecak darah. Ketiga ibu-ibu itu tak lain dari orangtua tiga gadis kecil yang selama ini mengaji di rumah Haji Zain -- sebut saja namanya Tini, 11 tahun, Entis, 10 tahun, dan Neneng, 9 tahun. Mereka menemui Haji Zain karena ketiga gadis itu telah kehilangan keperawanan di pondok guru mengaji tersebut. Siapa yang berulah? Ketiga ibu korban menyebut nama Asep pemuda berumur 20 tahun, yang selama ini menumpang di rumah Pak Haji. Mendengar nama itu, tubuh Haji Zain kontan lemas. Sebab, Asep adalah lelaki pendiam, yang sering membantunya mengajari anak-anak mengaji. Maka, Rabu pagi, 5 September lalu itu, warga Kampung Pajagankongsi, Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, menjadi gempar. Kabar perkosaan di pondok mengaji milik Haji Zain itu segera menyebar. Pondok Haji Zain di samping rumahnya memang biasa dipakai murid-murid untuk bermalam. Pada malam kejadian itu, misalnya, ada 13 anak -- tujuh laki-laki dan enam perempuan berumur 6-11 tahun -- tidur di pondok itu. Mereka hanya beralas tikar dan berselimut kain. Pada malam itu, menurut seorang korban, Tini, ia melihat Asep berbisik-bisik dengan Ketua RT setempat, Ade, di luar pondok. "Sewaktu saya terbangun, celana dalam sudah melorot ke bawah," cerita Tini. Kain selimutnya juga menyingkap tak keruan. Waktu itu, gadis kecil itu belum merasa sakit apa-apa. Tapi, begitu buang air kecil, kemaluannya terasa perih, dan celana dalamnya berdarah. Tini kaget. "Saya kira darah mens pertama," kata Tini. Ternyata, Neneng dan Entis juga merasakan penderitaan serupa. Mereka tak tahu dirinya telah dicabuli. Tanpa curiga ketiga gadis itu menceritakan keluhannya kepada orangtua mereka masing-masing. Ternyata, pengaduan itu mengagetkan orangtua mereka. Apalagi di celana dalam ketiga gadis itu terdapat noda darah. Karena pengaduan itu, Haji Zain mencari Asep, yang dari pagi tak kelihatan batang hidungnya, ke rumah Ketua RT, Ade Radian, 30 tahun. Tapi Ade malah membentak Haji Zain. "Asep semalam bersama saya, dan semua tanggung jawab saya," kata Ade berkacak pinggang. Ketiga ibu korban, kemudian, melapor ke Kepala Desa Cikahuripan. Pada Rabu siang itu juga Asep ditangkap pamong desa. Asep mula-mula mungkir. Tapi, begitu didesak, ia pun mengaku telah mengerjain ketiga gadis itu bersama Ade Radian. Hari itu juga Ade, yang sehari-hari juga buruh pembuat ikan pindang itu, ditangkap tanpa melawan. Kepada polisi, keduanya tak berbelit-belit mengakui perbuatannya. Perkosaan itu, katanya, dilakukan mereka dengan spontan. Sebab, nafsu mereka mendadak bangkit begitu melihat kain penutup tubuh bocah-bocah itu tersingkap. Tanpa pikir panjang lagi, mereka menggarap korban sekitar 10 menit. "Saya menyesal dan malu atas perbuatan itu," kata Asep dan Ade, seperti dituturkan sumber TEMPO di Polres Sukabumi. Istri Ade, Milah, juga malu. Wanita hitam manis berumur 20 tahun yang sedang hamil enam bulan itu tak habis pikir atas kelakuan suaminya itu. "Saya tak menyangka. Soalnya, selama ini kami tak pernah cekcok," katanya. Ade, katanya, hampir tiap malam selalu keluar rumah dengan alasan ronda. Rupanya, selain menjaga keamanan kampung lelaki itu punya kegiatan "sampingan", itu tadi "merondai" gadis-gadis di pondok Haji Zain. Gara-gara perkosaan itu ketiga korban dirawat di puskesmas setempat selama empat hari. "Sampai sekarang, Entis masih suka menangis sendiri," kata ayahnya, Utjep. Jika ia bergerak agak banyak, kemaluannya terasa sakit, dan darah kembali keluar. Untuk mengurangi rasa sakit itu, Entis digendong ibunya, dan diikat pada pinggulnya agar tak banyak bergerak. Yang amat terpukul atas perkosaan ini adalah kakek Tini, Adjum. Maklum, Tini, yang telah ditinggal mati ayahnya itu, selama ini dirawat Adjum. "Ini adalah penghinaan dan pembunuhan terhadap masa depan anak-anak. Kami akan menuntut secara hukum. Saya sakit hati. Dan perasaan ini tidak bisa disembuhkan oleh uang Rp 100 juta sekalipun," kata Adjum geram. WY dan Ida Farida (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus