Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jitu Menembak Kanker

Pengobatan kanker dengan pendekatan genetik kian berkembang. Lebih tepat sasaran dan obat tak mubazir.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Jitu Menembak Kanker
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KIKY, sebut saja begitu, sungguh beruntung. Paru kanan perempuan 40 tahun ini terbebas dari cengkeraman sel kanker setelah ia menjalani metode pengobatan terbaru. Dia tak menjalani kemoterapi yang menyiksa, tapi cukup rutin menelan pil gefitinib saban pagi. Setelah setahun, obat antikanker ini juga berhasil membabat sel-sel kanker paru yang telah menyebar ke organ lain tubuhnya, seperti tulang punggung. Alhasil, rasa nyeri yang sempat menyengat punggungnya karena digerogoti sel kanker lama-lama menghilang.

"Fungsi paru saya memang tak lagi sempurna. Sebab, masih ada air yang tergenang di situ. Cuma, air tersebut tak lagi mengandung sel kanker," kata Kiky kepada Tempo, Sabtu sore dua pekan lalu. Untuk mengecek kondisi parunya, pada hari yang sama, warga Pondok Indah, Jakarta Selatan, ini melakukan pemeriksaan ke Ahmad Hudoyo, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Pondok Indah. "Sekarang kondisi Kiky sudah lumayan. Dulu ia sempat putus harapan," kata Hudoyo.

Gefitinib adalah obat kanker paru yang khusus diberikan kepada pasien paru yang sel kankernya sudah bermutasi. Untuk mengetahui ada-tidaknya mutasi, seperti yang dialami Kiky, pengujian dilakukan di laboratorium dengan mengecek gen EGFR—epidermal growth factor receptor—reseptor yang berperan dalam pembelahan sel.

Karena berkaitan dengan gen, penelitian DNA (deoxyribonucleic acid, tempat penyimpanan informasi genetik) diperlukan. Dari DNA sel kanker yang sudah digandakan, peneliti bisa mengetahui banyak hal, termasuk ada-tidaknya mutasi sel kanker. Jika ada mutasi, khasiat gefitinib untuk menundukkan sel kanker bisa mencapai 70 persen. Sebaliknya, jika gen tersebut belum bermutasi, obat ini tidak berkhasiat.

Lantaran sasaran obatnya spesifik, pengobatan ini kerap disebut sebagai terapi target. Ahmad R. Utomo, peneliti di Stem Cell and Cancer Institute, laboratorium tempat Hudoyo mengirim sampel sel kanker paru, menyatakan, "Obat ini seperti punya mata. Ia hanya menyerang sel kanker." Bandingkan dengan kemoterapi, yang berpotensi merusak sel-sel sehat.

Sebelum pengobatan kanker dengan pendekatan genetik menjadi tren di Indonesia sejak 2009, gefitinib merupakan pengobatan kanker paru lini kedua. Obat ini diberikan setelah kemoterapi tidak lagi mempan. Kini kondisinya berbalik: gefitinib justru menjadi pengobatan lini pertama. Setelah obat ini tak mempan, baru kemoterapi dilakukan. Gefitinib lazim dipakai pada kanker paru stadium lanjut, yakni III dan IV.

Terapi target untuk pengobatan kanker kian berkembang di Tanah Air. Maklum, hasilnya terbilang bagus. Bahkan beberapa pasien Hudoyo mendapatkan respons komplet: selain gejala penyakit menghilang, benjolan kanker parunya mengecil. Kini kolega Hudoyo di beberapa rumah sakit lain juga tertarik melakukan terapi serupa.

Terapi target juga dilakukan oleh Fajar Firsyada, dokter spesialis bedah dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Sejak tiga tahun lalu, ia rajin mengirim sampel jaringan kanker usus besar para pasiennya. Saban bulan, 12-15 sampel dikirim ke Stem Cell and Cancer Institute. Pengujian dilakukan untuk mengecek ada atau tidaknya mutasi pada gen KRAS—gen yang menghasilkan protein KRAS yang berfungsi pada sinyal pembelahan sel.

Jika gen KRAS masih normal, penggunaan obat akan dipilih. Maklum, studi menunjukkan respons pengobatan yang diberikan lewat infus ini bisa di atas 80 persen. Berbeda dengan gefitinib, yang diberikan sebagai obat tunggal, cetuximab dikombinasikan dengan kemoterapi agar efeknya saling menguatkan. Jika hasil pengujian menunjukkan gen KRAS sudah bermutasi, obat ini tak menjadi pilihan.

Hingga saat ini, menurut Utomo, Stem Cell and Cancer Institute sudah meneliti hampir 300 jaringan sel kanker paru dan 700 jaringan sel kanker kolorektal yang dikirim para dokter dari berbagai rumah sakit. Uji laboratorium biasanya butuh waktu lima hari. "Hasil pengujian membuat dokter lebih enak menjelaskan ke pasien," kata Utomo.

Kalaupun ada kendala, biasanya bukan datang dari tes DNA, melainkan dari mahalnya obat. Saban hari pasien harus menelan satu pil gefitinib, yang harganya hampir sejuta rupiah, dan mesti diminum seumur hidup atau sampai khasiatnya tak direspons lagi oleh tubuh. Lantaran harganya bikin kantong bolong, hingga saat ini baru ada 50-an pasien Hudoyo yang memilih terapi ini. Malah beberapa di antara mereka ada yang terputus.

Demikian juga dengan cetuximab, yang diberikan dalam 12 siklus selama enam bulan. Harga obat ini terbilang mahal, yakni hampir Rp 4 juta per 100 miligram. Padahal satu siklus pengobatan bisa menghabiskan 600 mg. "Total biayanya tinggal dikalikan saja," kata Fajar.

Dwi Wiyana


Deteksi Dini Kanker Lebih Akurat

LEBIH sensitif, lebih akurat, dan pasien lebih puas. Saya sudah tak menangani lagi pap smear biasa." Penegasan itu disampaikan Profesor Andrijono, dokter spesialis kebidanan dan kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, mengenai manfaat uji sandi genetik (DNA) untuk deteksi dini kanker leher rahim. Akurasi uji ini untuk menangkap kehadiran human papillomavirus (HPV) sebagai penyebab terbesar kanker leher rahim lebih dari 90 persen. Bandingkan dengan akurasi pap smear, yang berkisar 60-70 persen. "Kalau uji DNA dinyatakan negatif, yakin negatif," kata Andrijono. Sebaliknya, bila positif, pengobatan dini bisa segera dilakukan.

Di Indonesia, kasus baru kanker leher rahim atau serviks diperkirakan ada 13 ribu per tahun dengan kematian 7.500 orang per tahun. Itu berarti saban hari ada sekitar 20 perempuan—setara dengan penumpang satu bus metromini—menemui ajal. Untuk mencegah penyakit ini, vaksinasi HPV sangat dianjurkan.

Bekerja sama dengan laboratorium swasta, sejak tiga tahun lalu, Andrijono mengirim sampel usap leher rahim pasien untuk dilakukan pengujian. Biayanya Rp 400-500 ribu per sampel—lebih mahal dibanding pap smear, yang ongkosnya sekitar Rp 300 ribu. Namun, itu tadi, pasien lebih puas karena lebih akurat.

Kelebihan lain, hasil pengujian DNA tak hanya menemukan kehadiran HPV, tapi juga bisa menunjukkan tipe berapa yang bertengger di leher rahim tersebut. Hal ini pula yang tidak bisa ditemukan lewat pap smear.

Ahmad R. Utomo, peneliti di Stem Cell and Cancer Institute, lembaga yang digandeng Andrijono, menyatakan hasil pengujian menunjukkan HPV tipe 16 dan 18 yang paling banyak ditemukan. Temuan ini klop dengan data global. HPV terbanyak ketiga yang ditemukan dari sekitar 1.500 sampel yang dikirim dari berbagai rumah sakit di Indonesia adalah tipe 52. Tipe ini juga potensial memicu kanker serviks dan belum terproteksi langsung oleh vaksinasi HPV.

Dw

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus