Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Puas Membunuh

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Imam Prasodjo*

Tawuran pelajar, yang sebenarnya kerap terjadi, kini menjadi sorotan. Setelah begitu banyak korban, baik luka maupun meninggal, baru kali ini berbagai kalangan mengemukakan kekhawatiran lebih serius. Banyak yang merasa terkejut atas parahnya keadaan. Misalnya dalam kasus terbunuhnya Deni Januar, 17 tahun, siswa SMA Yayasan Karya 66 Kampung Melayu, baru-baru ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengaku ”surprised”. Saat berdialog dengan AU, 17 tahun, pelajar tersangka kasus penusukan Deni, di Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, Menteri Nuh bertanya, ”Puas, Mas, telah membunuh korban?” Tersangka AU menjawab telak, ”Puas, Pak!”

Dialog singkat itu segera dikutip berbagai media dan tersiar luas di seluruh penjuru Tanah Air. Tak ayal, pendidik di negeri ini pun banyak yang mengerutkan dahi. Apa yang salah pada bangsa ini, siswa berusia 17 tahun menyatakan puas telah membunuh? Banyak orang tua mulai khawatir, jangan-jangan ada perkembangan kejiwaan yang salah pada anak-anak. Banyak yang baru sadar, tawuran pelajar sudah jauh melampaui batas kewajaran, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Dari angka statistik, sebenarnya sinyal sudah menyala terang. Selama 1994-1997, tak kurang dari 10 persen SMP Jakarta di 137 sekolah terlibat tawuran pelajar. Selama 1999 hingga Maret 2000, 56 pelajar terluka parah dan 109 terluka ringan, plus 26 pelajar meninggal (Neni Utami Adiningsih, ”Anakku Sayang, Mengapa Tawuran?” Media Indonesia, 25 Agustus 2001). Menurut Kepolisian Daerah Metro Jaya, aksi anarkistis pelajar cenderung naik dari tahun ke tahun. Bahkan kini menjalar di kalangan mahasiswa. Demikian parahkah budaya kekerasan yang telah merasuki anak-anak didik kita?

Namun, manakala pelajar berbunuhan, tepatkah menanyakan seberapa jauh pelaku puas melakukan pembunuhan? Bukankah semua pelajar yang tawuran adalah korban dari sebuah kultur kekerasan yang tak kuasa mereka hindari? Karena itu, perlu ditumbuhkan rasa empati. Lebih penting lagi, perlu segera dicanangkan kebijakan integratif untuk menghentikan lingkaran kekerasan ini.

Benar apa yang dinyatakan Menteri Nuh bahwa (tawuran) ini persoalan serius. Maka hal itu tidak lagi hanya menjadi urusan sekolah, tapi sudah jadi masalah sosial. Tak perlu malu mengakui, selama ini para pendidik telah gagal membaca gejolak pikiran anak didik. Para orang tua tak tanggap merespons kondisi di komunitas lingkungan rumah. Guru, kepala sekolah, dan petugas keamanan juga gagal menciptakan lingkungan nyaman belajar di sekolah. Ini kesalahan berjemaah yang harus segera dikoreksi.

Remaja Indonesia yang hidup saat ini berada dalam lingkungan sosial yang jauh berbeda dibanding generasi sebelumnya. Jumlah remaja pada awal 1970-an baru 34 juta. Kini (2010) jumlah mereka menjadi hampir dua kali lipat (63,4 juta), dan separuhnya tinggal di wilayah perkotaan. Remaja di Jakarta, yang kini jumlahnya tak kurang dari 2,5 juta, setiap hari berjubel naik-turun bus, berebut ruang kosong di mal, kafe, halte bus, hingga gang-gang sempit di perkampungan kumuh.

Di tengah kepengapan ruang yang semakin padat, mereka bergerombol, berjejaring, dan membentuk kelompok. Banyak yang tak menyadari, manakala mereka berkelompok, tumbuhlah ikatan solidaritas. Hubungan sesama anggota kelompok sering lebih kuat ketimbang ikatan keluarga sendiri. Kelompok semacam ini sering menjelma menjadi geng (Inggris: gang). Mereka tumbuh liar. Semakin sempit ruang edukatif yang tersedia dalam sebuah kota, semakin subur pertumbuhan kelompok semacam ini.

Hasil penelitian awal yang tengah kami lakukan di daerah padat penduduk di Pasar Manggis, Manggarai, Menteng Atas, dan Pegangsaan, Jakarta, memperlihatkan telah tumbuh puluhan geng yang semuanya beranggotakan anak-anak usia remaja. Geng itu sering menggunakan sebutan tempat nongkrong mereka atau wilayah yang dikuasai. Misalnya Ciput, Besan, Kapuk, Tuyul (nama-nama jalan), Anggala (Anak Gang Langgar), Ampuh (Anak Menteng Pualam), hingga nama seperti Pasipur (Pasukan Siap Tempur), Bores (Bocah Resek), Boap (Bocah Anti Pisau), Gali (Gabungan Anak Liar), Glodaros (Glodongan Raja Dosa), dan Romusa (Rombongan Muka Sangar).

Sementara di perkampungan muncul kelompok, di sekolah pun tumbuh beragam geng. Para senior dan alumnus menjadi instruktur siswa junior. Siswa baru, siapa pun mereka, menjadi sasaran rekrutmen anggota geng. Lalu terbangun jaringan ”persaudaraan” antargeng sekolah dan geng di luar sekolah.

Bila salah satu geng sekolah terlibat tawuran melawan musuh, anggota jaringan siap membantu. Bahkan ada sekolah yang siswanya memposisikan diri sebagai pasukan bayaran. Aliansi terbentuk dan tumbuh solidaritas sesama anggota jejaring yang terbina erat. Solidaritas itu muncul atas dorongan keinginan ”ingin diakui keberadaannya dan ditakuti di kalangannya”. Pendek kata, banyak remaja yang tumbuh di lingkungan seperti ini masuk lingkaran kekerasan yang sulit dihindari. Mereka tidak saja terjerembap dalam ikatan solidaritas sesama anggota geng, tapi juga terperangkap pada kesesatan berpikir, yaitu ”berbangga bila ditakuti” dan ”berbangga dilihat jadi jagoan”. Semakin nekat, semakin hebat. Mereka yang tak mau bergabung dalam tawuran akan dilabeli ”bencong” atau sejenisnya.

Kultur semacam ini tampaknya telah lama terbina. Sebagian alumnus sekolah jelas menjadi bagian penting dalam proses internalisasi kultur kekerasan itu. Mereka banyak yang hadir di sekolah asal dan membina adik-adik kelasnya. Yang menyedihkan, pada saat kultur kekerasan ini beroperasi, praktek pemalakan, bullying, bahkan kebiasaan minum minuman keras dan memakai narkoba juga merajalela. Siswa junior selalu menjadi sasaran. Kelak, pada gilirannya, yang junior pun akan menggantikan sang senior.

Untuk membantu siswa keluar dari situasi ini, tak cukup hanya sekadar melakukan perombakan tata tertib, penegakan disiplin sekolah, perubahan kurikulum, dan penguatan organisasi formal seperti OSIS. Juga tidak tepat menyalahkan guru dan kepala sekolah. Para pendidik, dalam konteks ini, jelas-jelas tak memiliki kapasitas mengatasi masalah kompleks tersebut. Perlu ada transformasi total yang bersifat integratif oleh semua pihak untuk melakukan perubahan di lingkungan keluarga, komunitas, dan sekolah.

Intinya, segera ubah paradigma ”bangga bila ditakuti” menjadi ”bangga bila dihormati karena kebaikan hati”. Otoritarianisme panjang selama Orde Baru yang cenderung mengedepankan cara represif dan memupuk rasa ”puas membunuh” rupanya masih terus berbekas. Jangan-jangan, remaja yang mengidap penyakit gemar tawuran ini melihat contoh perilaku yang tua-tua!

Sosiolog Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus