Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALIH daya: frasa ini mewarnai dunia ketenagakerjaan hari-hari ini. Ribuan buruh menggelar mogok nasional, berunjuk rasa menolak sistem alih daya atau outsourcing ini, pekan lalu. Unjuk rasa besar-besaran itu, termasuk memblokade akses masuk ke jalan tol, mungkin sah-sah saja. Tujuannya pun barangkali mulia: mendorong upah layak dan kesejahteraan pekerja. Kita semua pasti mendukung upaya perbaikan itu.
Urusan menjadi rumit ketika para buruh menolak sistem outsourcing. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi tempat pada model alih daya ini. Batasan memang ada. Perusahaan dilarang melakukan outsourcing untuk pekerjaan yang menjadi tulang punggung usahanya. Adapun jasa keamanan, katering, transportasi, dan pekerjaan pertambangan boleh diserahkan kepada pihak ketiga.
Pihak ketiga inilah yang kerap mengundang persoalan. Ada perusahaan penyedia tenaga alih daya yang membayar karyawannya di bawah standar upah minimum. Jaminan sosial, tunjangan kesehatan, dan upah lembur sering diabaikan. ”Outsourcing membuat kami seperti budak,” begitu buruh berteriak dalam unjuk rasa.
Sampai di sini, kita perlu menajamkan nalar. Benarkah sistem yang bermasalah? Atau penerapannya yang sembrono? Mengaburkan kedua hal itu bisa menimbulkan dampak keliru. Alih-alih menemukan jalan keluar yang menggembirakan, kesudahannya malah bisa memancing persoalan lebih runyam.
Outsourcing sebetulnya bukan hal baru pula. Kita sudah lama mengenalnya, dengan istilah pekerja borongan atau pocokan. Mereka dibayar sesuai dengan jasa yang diberikan dalam kurun waktu yang disepakati dengan klien. Dunia modern membuat outsourcing kian luas. Efisiensi biaya dan sumber daya manusia menjadi alasan utama. Selain itu, ada jenis keterampilan spesifik, misalnya jasa keamanan komputer, yang tak sembarang orang memilikinya sehingga perusahaan memakai tenaga outsourcing dari pihak yang kompeten.
Perusahaan komputer di Silicon Valley, California, Amerika Serikat, misalnya, menyewa tenaga outsourcing di Bangalore, India, untuk memproduksi peranti lunak. Apple pun memilih sistem alih daya di Cina untuk memproduksi iPhone kebanggaannya. Tak sedikit pula pekerja kreatif—penulis, jurnalis, fotografer, atau seniman—yang berkarya secara lepas. Bukan tak memenuhi syarat bekerja tetap, para pekerja kreatif memang lebih suka menghirup udara bebas. Mereka enggan terkungkung di satu lembaga.
Pembenahan tentu wajib dilakukan, tapi bukan dengan menghapus sistem outsourcing. Pada saat ini tenaga outsourcing di Indonesia mencapai 16 juta jiwa, hampir 40 persen dari tenaga kerja nasional—sejumlah 41 juta jiwa. Betapa banyak peluang tertutup jika sistem alih daya ini dihapus.
Pengawasan penerapan peraturan tak bisa diabaikan. Perusahaan penyedia jasa outsourcing yang melanggar ketentuan mesti dijewer keras. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi wajib mengawal proses pembenahan ini.
berita terkait di halaman 26
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo