Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dharmono Konstituanto Lawi bak tersambar geledek, Selasa 17 Oktober lalu. Sebuah pesan pendek masuk di telepon genggamnya. Isinya mengabarkan bahwa dirinya bakal ditayangkan di sebuah televisi swasta sebagai koruptor buron oleh Kejaksaan Agung. ”Saya pasrah saja. Ini lakon hidup saya,” katanya.
Penayangan dua buron koruptor setiap minggu adalah gebrakan terbaru kejaksaan, yang diawali pada 17 Oktober malam. Dharmono, mantan Ketua DPRD Banten ini, tak menyangka dirinya bakal disamakan dengan 13 koruptor bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menggasak triliunan rupiah uang negara. ”Saya dihukum korupsi karena kebijakan yang multitafsir. Seperak pun saya tak makan duitnya,” tutur anggota Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat ini, yang jadi urutan ke-14 buron koruptor yang akan ditayangkan.
Dharmono, 50 tahun, memang nekat menolak dieksekusi pada Februari lalu. Ketika itu Kejaksaan Tinggi Banten mencoba menyeretnya ke bui selepas menerima salinan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus dana perumahan anggota Dewan sebanyak Rp 10,5 miliar. Ia dihukum 4 tahun 6 bulan penjara karena menyetujui permintaan dana untuk 71 orang anggota Dewan ke Gubernur Banten tahun 2003. Tapi anggota PDI Perjuangan itu keburu kabur, dan kini hidup dari rumah satu kawan ke kawan yang lain. Sesekali ia muncul di Senayan.
Mantan eksekutif salah satu perusahaan otomotif terkemuka ini tak mau meniru dua koleganya, Muslim Jamaludin, 71 tahun, yang divonis 4 tahun 6 bulan penjara; dan Mufrosi Muchsin, 56 tahun, yang dihukum 4 tahun penjara. Kedua wakil ketua DPRD Banten ini pasrah ketika dieksekusi jaksa. Padahal Muslim Jamaludin sedang sakit parah. Ia memang cuma sebentar tinggal di penjara Serang. Anggota Partai Golkar itu kemudian meninggal di penjara, awal Juni lalu.
Dharmono memilih buron sambil menyiapkan permohonan peninjauan kembali di pengadilan Serang. Kini permohonan PK tersebut sedang disidangkan. Pria asal Pekalongan ini sebenarnya sempat lega ketika Rapat Paripurna DPR, 10 Oktober lalu, menerima rekomendasi Panitia Kerja Gabungan Komisi Hukum dan Pemerintahan. Rekomendasi ini berisi permintaan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh karena bersikap diskriminatif dalam menangani kasus korupsi di daerah yang melibatkan anggota DPRD.
Dharmono adalah salah satu dari sekitar seribu mantan anggota DPRD yang terjerat Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Peraturan itu mengatur hak keuangan DPRD berdasarkan persentase pendapatan asli daerah yang bersangkutan. Masalahnya, banyak DPRD yang membuat anggaran melebihi persentase sehingga dianggap memperkaya diri. Penanganan jaksa jadi kusut karena tidak semua pihak yang terlibat diusut.
Beda perlakuan inilah yang disorot DPR. Mereka membentuk panitia kerja gabungan pada akhir Maret lalu. Anggotanya berasal dari Komisi Hukum dan Komisi Pemerintahan. Panitia ini dibentuk karena banyak protes dari partai terhadap pengusutan kejaksaan yang dianggap memaksakan tafsirnya atas peraturan tersebut.
”Penegakan hukum jangan sampai menyalahi prinsip hukum,” kata Muladi, Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manu-sia dan Otonomi Daerah Partai Golkar, akhir Mei lalu. Kader Partai Beringin tercatat sebagai ”korban” terbanyak, selain PDI Perjuangan. Menurut Muladi, aturan yang sudah dibatalkan tidak bisa dijadikan sebagai dasar penuntutan. ”Mereka terkena kasus korupsi karena perbedaan interpretasi hukum. Kami akan membela mereka,” kata Sutrisno Bachir, Ketua PAN, Agustus lalu.
Kejaksaan dianggap membuat blunder karena PP 110 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada akhir Desember 2002, karena bertentangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah menyerahkan kewenangan keuangan daerah ke gubernur dan DPRD setempat. Kasus penyelewengan anggaran Dewan sendiri mulai diusut pada 2004. ”Karena peraturan tersebut belum ada gantinya, terpaksa kita pakai sebagai dasar penuntutan,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di depan DPR, Maret lalu.
Selain dari partai, protes juga datang dari Asosiasi DPRD Kabupaten dan Kota. Ketika mereka mengadu pada Maret lalu, sejumlah anggota DPRD buka suara. Meski ada keputusan pembatalan dari MA, aparat kejaksaan di lapangan tetap berkeras menyidangkan mereka. ”Cuma DPRD yang kena, padahal kepala daerah yang berwenang menetapkan APBD,” ujar Hasbullah, anggota DPRD Depok, dalam dengar pendapat dengan Panitia Kerja DPR, Maret lalu. Anggota Fraksi TNI/ Polri tidak terkena. ”Padahal duit juga mereka terima,” kata Hasbullah.
Aparat kejaksaan, menurut Hasbullah, memakai aturan yang batal itu untuk kepentingan mereka. Parahnya lagi, anggota DPRD yang sudah tak berdaya itu ibarat dijadikan perahan dana. ”Mereka menjadikan kami mesin uang,” ujar Hasbullah. Pengakuan senada Hasbullah, menurut temuan Panja DPR, ternyata datang juga dari daerah lain. Misalnya dari Batam di Provinsi Kepulauan Riau dan dari Malang, Jawa Timur.
Kejaksaan punya ceritera sendiri. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Hendarman Supandji menyatakan sudah mengeluarkan tiga surat edaran pasca-pembatalan oleh Mahkamah Agung. Jaksa Agung sendiri bahkan menerbitkan surat edaran pada 2003. Anehnya, surat edaran Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus dan Jaksa Agung itu kurang ditaati.
Pada Maret lalu, kejaksaan bahkan membuat Tim Pengkaji PP 110, yang mengkaji semua kasus korupsi anggaran DPRD dengan dasar baru, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. ”Adakah perbuatan yang melanggar rasa keadilan masyarakat atau melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara,” kata Hendarman kala itu. Hasil kerja tim ini sudah diserahkan ke Jaksa Agung, tapi hingga sekarang belum pernah dipublikasikan.
Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kejaksaan hanya bisa menghentikan kasus penuntutan ”korupsi berjamaah” anggota Dewan sesudah 27 Maret 2003, saat kejaksaan menerima secara resmi salinan keputusan MA. ”Sebelum itu, PP 110 harus dianggap masih berlaku,” kata mantan hakim agung ini di parlemen, Oktober lalu. Aparat kejaksaan yang masih memegang aturan lama dalam penuntutan korupsi DPRD, setelah tanggal tersebut, akan dikenai sanksi. Rupanya inilah jalan tengah yang diambil kejaksaan.
DPR bahkan bertindak lebih jauh dengan membuat tim pengawas. Menurut kesepakatan Panitia Kerja DPR dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan MA, tuntutan atas kasus-kasus korupsi itu akan ”direvisi”. Menurut Gayus Lumbuun, salah seorang anggota Panitia Kerja, revisi dilakukan sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku. ”Jika memang ada unsur korupsinya, silakan diteruskan,” kata pengacara senior ini. Kejaksaan juga diminta menunda eksekusi kasus korupsi anggota DPRD sampai ada keputusan tetap.
Langkah DPR ini menuai kritik. Menurut Saldi Isra, pakar hukum tata ne-gara dari Universitas Andalas, Padang, rekomendasi parlemen tak bisa diterima. ”Kasus korupsi kan harus diselesaikan? Memangnya kasus korupsinya mau di-apakan?” katanya. ”Kalau pemerintah menerima rekomendasi DPR, patut diper-tanyakan agenda pemberantasan korupsi itu”.
Jawaban pemerintah atas sikap DPR memang belum ada. Tapi bagi Dharmono sudah jelas: meski ia tengah menanti peninjauan kembali, tayangan khusus di televisi sudah menunggunya November nanti.
Arif A. Kuswardono, Rini Kustiani
Dalam antrian
Ada 102 perkara korupsi anggaran yang melibatkan 1.062 anggota DPRD periode 1999-2004. Mereka terdiri dari 736 anggota DPRD kabupaten/kota dan 326 anggota DPRD provinsi. Jumlah ini terus bertambah karena ada sekitar 1.100 orang lagi tengah menunggu izin gubernur dan presiden untuk diperiksa. Total kerugian negara mencapai Rp 772 miliar.
Modus korupsi:
- Manipulasi anggaran
- Penggelembungan anggaran
- Duplikasi anggaran
- Anggaran fiktif
- Proyek tanpa tender
Sumber: Indonesia Corruption Watch dan Panitia Kerja Gabungan DPR
Jalan Pemutihan itu
- Bila perkara masih ditangani jaksa, berkas perkara diperbaiki jaksa
- Bila perkara sudah diputus di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, pertimbangan dimasukkan pada upaya hukum lanjutan ke pengadilan tinggi atau MA
- Bila perkara sudah diputus MA, dengan peninjauan kembali
Sumber: Panitia Kerja Gabungan DPR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo