ADA sekitar 70 orang calo yang bercokol di Terminal Bis Pulo
Gadung--itu stasiun pelemparan penumpang ke luar Kota Jakarta.
Mereka adalah orang-orang resmi dari perusahaan bis yang diberi
julukan manis: "pengurus". Lengkap dengan kartu pengenal
tergantung di dada atau ikat pinggang mereka. Setiap satu
jalur--dari 14 jalur yang ada--ditunggu oleh 5 pengurus. Mereka
tidak dapat gaji resmi dari perusahaan, tapi hanya berupa persen
alias komisi dari bis--sekitar 10% dari jumlah penumpang.
Yang tidak memiliki kartu pengenal, jumlahnya sampai 20 orang.
Mereka beroperasi di sebelah timur stasiun pada loket bis-bis
cepat. Perangai mereka ini biasanya sopan dan lemah lembut kalau
sedang dalam tahap mendekati penumpang. Namun kalau sudah
menjadi urusan uang, bisa kasar. Wartawan TEMPO sendiri sempat
memergoki bagaimana seorang calo bersitegang leher mengatakan
baru menerima Rp Z000, padahal penumpang sudah merasa memberikan
Rp 3 ribu.
Di Kemayoran
Kalau penumpang tak kalah galak dan berani keras-kerasan urat
leher calo sedikit surut. Lalu sasarannya beralih ke kondektur
bis bersangkutan, agar memberikan uang jasa atau uang apa
namanya. Sambil tak lupa berbisik ke telinga kondektur: "Kalau
sudah keluar kota, todong penumpang itu, supaya bayar kekurangan
tadi. Kalau tidak mau, suruh turun saja di jalan!"
Namun calo yang bernama "A Pe" lain lagi. Celananya coklat,
kedodoran dan dekil. Bau juga kedodoran. Ia terus terang
mengaku sebagai calo "Mau bilang calo atau apa saja terserah,
mau apa lagi, yang pokok saya cari makan," ujarnya. Tampangnya
segera menampilkan gambaran bahwa tekanan ekonomilah yang
membuatnya menjadi calo. Rambutnya sudah memutih, beberapa gigi
tidak hadir lagi, sehingga bibirnya agak melipat ke dalam. Ia
sudah gaek-52 tahun--toh nasib tak membiarkannya beristirahat.
Setiap hari mondar-mandir di terminal memburu mereka yang
berangkat ke Bandung sambil mengumbar tegur sapa -- sehingga
suaranya serak.
A Pe bekerja sejak pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore. "Ada
sekitar 15 perusahaan bis yang Oom layani, tapi kadang-kadang
cuma 5 bis yang masuk jalur," keluhnya. Sekutunya dalam satu
jalur jauh lebih muda usia, sehingga ia memperoleh pembagian
yang lebih kecil. Hanya Rp 100 diterimanya dari setiap
kondektur. "Ini hari saja, sudah pukul dua, baru 4 bis yang
masuk. Berarti hanya Rp 400--sudah habis buat makan siang saja,"
katanya sambil mengisap kretek yang rupanya selalu terbakar di
sela bibirnya. Tapi begitu selesai ngomong, seorang penumpang
datang, lalu menyodorkan selembar ribuan. Dengan tenang A Pe
menerima dan menyatukan ke dalam dompet -- yang berisi beberapa
lembar ribuan.
Sebelum jadi calo, Oom ini bekerja di Departemen Keuangan di
Bandung selama 21 tahun. Nggak tahu kenapa tidak punya
pensiunan. Setelah itu ia bekerja di pabrik roti. Pabrik
bangkrut. Akhirnya ia jadi calo di terminal, sudah belasan
tahun. Pernah tinggal di Solo dan Bandung. Di Pulo Gadung ia
paling tua dan tampak paling sendu. "Tapi begini-begini sudah
ada kegiatan juga sudah senang. Daripada nganggur saja di
rumahkan lebih menyenangkan ada pemasukan, biar cuma Rp 100,"
katanya.
Calo tidak hanya merubung terminal bis. Penumpang pesawat udara
juga merupakan makanan sedap, Seorang petugas di Pelabuhan Udara
Kemayoran (Jakarta) mengatakan kepada TEMPO bahwa sudah 20 orang
calo yang tertangkap, langsung dibawa ke Komdak. Tapi tidak
berarti tempat itu sudah steril. Kalau petugas "Satpam" (satuan
pengaman) tampak, mereka memang menghilang. Kalau sudah aman,
hidungnya jelas tampak kembang-kempis mencium kantong calon
penumpang.
"H salah seorang calo tiket kapal udara sudah beroperasi di
Angkasa Pura Kemayoran sejak 1963. "Sejak masih bujangan, sampai
punya isteri dan anak enam," katanya. "Habis mau kerja di mana
lagi? Mau jadi pegawai, gaji tidak sampai cepek (Rp 100 ribu)
sedang biaya hidup kita satu hari saja paling kurang tiga ribu."
Menurut pengakuannya, satu hari paling kurang ia bisa menangkap
Rp 5 ribu--kalau kerja sejak pagi.
H mengakui penghasilan calo di Kemayoran lumayan. Untuk satu
karcis bisa tawar menawar dengan penumpang. Selisih dari harga
resrni bisa jatuh di sekitar Rp 10 ribu. Bayangkan kalau sampai
beberapa buah karcis. Dari jumlah itu biasanya Rp 1.000
disodorkan kepada para petugas yang mau diajak kedip-kedipan
mata. "Tu, si Kumis, galak betul dia. Tapi gua kasih seribu, mau
juga dia terima," kata H sarnbil menunjuk seorang petugas yang
kebetulan lewat.
"Saya sudah belasan tahun di sini, tetapi belum bernasib mujur,"
kata H lebih lanjut. Kenapa? Calo yang bicara dengan logat
Betawi ini menunjuk rekannya, bekas calo, yang sekarang punya
usaha sendiri. Punya rumah bernilai ratusan juta dan
mondar-mandir naik pesawat. H sendiri hanya punya rumah di
pinggiran Jakarta, sebuah mobil Corolla yang sekaligus
ditaksi-gelapkan. Sekali lagi ia katakan hartanya belum apa-apa,
jika dibanding sejawatnya yang sampai mampu membangun rumah
seharga Rp 300 juta.
"Kita kalau jujur sama langganan, bisa dipercaya," katanya
memberikan kuliah singkat tentang dunia calo. "Mula-mula kita
disuruh antri beli tiket, karena mereka mau enak-enakan makan
dan menunggu di restoran. Lama-lama dpercaya, minta pinam uang
untuk modal, me,reka berikan."
H belum pernah ditangkap. Padahal dalam penggerebegan baru-baru
ini ada teman-temannya yang kena gulung. Tapi mereka hanya
ditahan 2 hari, kemudian dilepas. "Habis kita kan tidak menipu
atau menjambret," kata H kasih alasan. Ia sendiri karena lama
bertahan pada profesi ini malah dapat julukan "lurah". Risiko
ditangkap baginya sangat kecil. Kecuali pada hari-hari menjelang
Natal. Pada hari-hari itu, biasanya ia pergi ke Halim, untuk
memburu orang-orang yang hendak berlibur ke Singapura. "Di sana
risiko lebih besar, karena calo tiket memang dilarang. Cuma
kalau tahu jalannya, bisa juga dpat beberapa puluh ribu."
Tiba-tiba muncul seorang calo lain. Ia bisik-bisik dengan H.
"Langganannya hilang," kata H kemudian kepada seorang petugas
yang juga ikut nimbrung omong-omong. Hubungan H dengan para
petugas tampak akrab. karena ia malah berani kasih
nasehat-nasehat. "Jadi petugas, jangan sok kuasa," katanya,
"orang jahatlah yang ditangkap, jangan kita orang cari makan
begini yang ditangkap. Memangnya kita menipu atau memeras orang?
Toh langganan datang sendiri mendekati calo!"
Kalau Antri
Jadi cao penumpang pesawat udara memang lebih gendut dari
penumpang bis. Bagaimana dengan calo penumpang kereta api?
Pembantu TEMPO Max S. Wangkar berhasil mengintip seorang calo di
Stasiun Jakarta Kota. Ia berdiri di depan stasiun dengan
parlentenya. Sepatu coklat mengkilap, celana krem dan baju
garis-garis hitam berharga belasan ribu. Mulumya komat-kamit
mengisap permen mentol. Kurus dan muda, 24 tahun. "Sudah lima
atau enam tahun saya menjadi calo di sini," katanya. Ia mengaku
bernama F.
Untuk karcis kereta Bima dan Mutiara, ia bisa menawarkan antara
empat sampai lima ribu di atas harga resmi-untuk Jakarta
Surabaya. "Kita di sini lidak seperti di Gambir, harus antri.
Kalau kita ikut antri, maka tak berapa lama kita bisa ditangkap.
Maka kita hanya boleh membeli karcis dari petugas keamanan
stasiun sendiri," kata calo itu. "Kalau seandainya kita yang
antri, paling juga cuma seribu sampai seribu lima ratus yang
kita minta." Jadi harga catut yang tinggi itu disebabkan karena
orang dalam sudah minta sekitar Rp 4000-an.
Tidak seperti Stasiun Senen atau Gambir, Stasiun Kota adalah
stasiun untuk orang-orang kaya. Karenanya tempat operasi calo
ini sering dapat sorotan keras. "Sedikit-sedikit ada pembersihan
calo. Gara-gara itu, tahun ini penghasilan saya banyak
berkurang," kata F. Pernah ditangkap? "Dimasukkan sel di dalam
stasiun pernah, tapi masuk penjara, belum. Habis mana ada bukti
saya mencuri atau menipu orang? Dan seandainya saya akan
dihadapkan ke pengadilan, saya bongkar semua rahasia manipulasi
di sini. Kalau perlu dengan Pak Sudomo!" gertaknya dengan
gayanya. Ia melihat ada ketidakadilan. "Saya rasa tidak benar
dong kalau ada apa-apa, lalu kita yang ditangkap, padahal
petugas keamanan sendiri ikut jadi calo," ungkapnya. Apa benar?
Wallahu 'alam. Soal menipu, F mengatakan tidak mungkin dilakukan
oleh calo. "Habis kita kan setiap hari di sini, mana bisa.
Memangnya besok kita tidak kembali lagi?" tanyanya balik. Lalu
ia bercerita. Satu ketika di bulan Juli lalu ada 2 cewek Cina
mau ke Surabaya. Mereka minta 3 karcis. F kasih harga Rp 52
ribu, lalu ditawar Rp 50 ribu. Karena tidak klop, jual beli
batal. Lantas muncul seorang pemuda Cina. "Kami sangka masih
saudara wanita itu. Ia langsung masuk ke ruang kepala stasiun,
kemudian keluar lagi dan minta duit dari wanita itu," kata F.
Uang diberikan. Kedua wanita disuruh tunggu. Tetapi kemudian
pemuda itu tidak kembali lagi. "Akibatnya kami dicurigai menipu,
lalu masuk sel 24 jam," kata F.
Sebagai calo, F mengaku tidak ada kepastian penghasilan. Bisa
dapat bersih Rp 6 ribu satu hari, bisa juga hanya beberapa ratus
rupiah. Tapi ia sudah membuktikan hidup dalam dunia calo
sepanjang tahun bisa. Dengan catatan, sekali-sekali kalau ada
"bola" di Senayan, langsung mengejar rezeki sebagai catut karcis
bola. Menurut orang ini, sebenarnya pengertian calo dan catut
ada bedanya. Calo hanyalah perantara membeli karcis dengan
imbalan uang lelah 10% dari harga karcis. SedangKan catut, beli
karcis dulu dengan uang sendiri, kemudian dijual kembali dengan
harga mahal.
Menurut F, tidak ada organisasi calo yang dikenalnya. "Sesama
calo saja kadang-kadang ada yang saling menipu," katanya
menjelaskan. Di stasiun Kota ia taksir ada sekitar 15 orang
calo. Mereka bekerja tanpa beking. "Wah kalau pakai beking
bisa-bisa kita yang kena peras," ujar F. Paling banter mereka
hanya kumpul-kumpul kalau ketemu di Senayan sambil tukar
pengalaman. Mereka berasal dari segala pelosok tanah air. Masa
depannya ia akui tidak jelas. "Yah kalau ada jalan bagi, saya
akan ikut dalam perusahaan ekspedisi kelak. Ekspedisi kereta
api," kata F membayangkan.
Aturannya
Calo tidak hanya diciptakan oleh Jakarta. Di seluruh tanah air
calo dan catut berserakan. Mereka memburu malian, kadangkala
tidak hanya sekedar ganjal perut, tapi mencari hidup yang lebih
layak -- yang tak dimungkinkan oleh kerja lain. Sebab hubungan
tidak resmi dengan "orang dalam" dan "petugas keamanan" --
meskipun sudah dicoba dibasmi oleh Pemerintah, masih saja bisa
terjadi. Hubungan tersebut menyebabkan pekerjaan itu jadi basah
dan subur. Ya, siapa yang tidak ngiler.
Di Bandung calo-calo menyediakan uang rokok untuk menjinakkan
petugas patroli. Kalau ada 6 petugas, mereka menyiapkan 6
bungkus rokok. "Itulah aturannya. Kalau tidak ditaati,
barangkali kami sudah lama diusir dari sini," ujar N seorang
calo di sebuah terminal bis Bandung. Sebenarnya ia seorang
karyawan terminal. "Tapi gaji Rp 15 ribu, mana cukup untuk hidup
sekeluarga, jadi calo lumayan, setiap bulan bisa beli beras,"
katanya terang-terangan kepada TEMPO.
Meskipun lebaran tahun ini lebih sepi dan harga-harga melangit,
kerja di terminal sambil merangkap jadi calo tetap ingin
dipertahankannya. "Saya pernah diajak teman kerja di pabrik
tekstil dengan gaji Rp 17 ribu, saya tolak. Di sini kan banyak
waktu senggang yang bisa digunakan untuk mencalo," kata N dengan
tenang.
Sementara itu Engkom (49 tahun) calo di stasiun KA Bandung
menambahkan: "Mula-mula memang saya segan juga mengikuti jejak
teman-teman, tapi daripada keluarga terlantar, apa boleh buat."
Hanya saja pekerjaannya itu ia rahasiakan terhadap anak-anaknya.
Ia mengaku tetap jadi pedagang di Pasar Baru. Hanya isterinya
yang tahu ia jadi calo. Kenapa? Lelaki yang semula berdagang
sayur ini menjawab jujur "Sengaja tak diberi tahu agar mereka
tidak merasa rendah diri bergaul dengan teman-temannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini