Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kami bukan pencuri, bukan penipu

Cerita tentang calo karcis bis antar kota di terminal pulo gadung, pesawat udara di pelud kemayoran & ka di stasiun gambir, senen, jakarta kota. ada kerjasama dengan keamanan sehingga calo tidak antri karcis.(sd)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sekitar 70 orang calo yang bercokol di Terminal Bis Pulo Gadung--itu stasiun pelemparan penumpang ke luar Kota Jakarta. Mereka adalah orang-orang resmi dari perusahaan bis yang diberi julukan manis: "pengurus". Lengkap dengan kartu pengenal tergantung di dada atau ikat pinggang mereka. Setiap satu jalur--dari 14 jalur yang ada--ditunggu oleh 5 pengurus. Mereka tidak dapat gaji resmi dari perusahaan, tapi hanya berupa persen alias komisi dari bis--sekitar 10% dari jumlah penumpang. Yang tidak memiliki kartu pengenal, jumlahnya sampai 20 orang. Mereka beroperasi di sebelah timur stasiun pada loket bis-bis cepat. Perangai mereka ini biasanya sopan dan lemah lembut kalau sedang dalam tahap mendekati penumpang. Namun kalau sudah menjadi urusan uang, bisa kasar. Wartawan TEMPO sendiri sempat memergoki bagaimana seorang calo bersitegang leher mengatakan baru menerima Rp Z000, padahal penumpang sudah merasa memberikan Rp 3 ribu. Di Kemayoran Kalau penumpang tak kalah galak dan berani keras-kerasan urat leher calo sedikit surut. Lalu sasarannya beralih ke kondektur bis bersangkutan, agar memberikan uang jasa atau uang apa namanya. Sambil tak lupa berbisik ke telinga kondektur: "Kalau sudah keluar kota, todong penumpang itu, supaya bayar kekurangan tadi. Kalau tidak mau, suruh turun saja di jalan!" Namun calo yang bernama "A Pe" lain lagi. Celananya coklat, kedodoran dan dekil. Bau juga kedodoran. Ia terus terang mengaku sebagai calo "Mau bilang calo atau apa saja terserah, mau apa lagi, yang pokok saya cari makan," ujarnya. Tampangnya segera menampilkan gambaran bahwa tekanan ekonomilah yang membuatnya menjadi calo. Rambutnya sudah memutih, beberapa gigi tidak hadir lagi, sehingga bibirnya agak melipat ke dalam. Ia sudah gaek-52 tahun--toh nasib tak membiarkannya beristirahat. Setiap hari mondar-mandir di terminal memburu mereka yang berangkat ke Bandung sambil mengumbar tegur sapa -- sehingga suaranya serak. A Pe bekerja sejak pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore. "Ada sekitar 15 perusahaan bis yang Oom layani, tapi kadang-kadang cuma 5 bis yang masuk jalur," keluhnya. Sekutunya dalam satu jalur jauh lebih muda usia, sehingga ia memperoleh pembagian yang lebih kecil. Hanya Rp 100 diterimanya dari setiap kondektur. "Ini hari saja, sudah pukul dua, baru 4 bis yang masuk. Berarti hanya Rp 400--sudah habis buat makan siang saja," katanya sambil mengisap kretek yang rupanya selalu terbakar di sela bibirnya. Tapi begitu selesai ngomong, seorang penumpang datang, lalu menyodorkan selembar ribuan. Dengan tenang A Pe menerima dan menyatukan ke dalam dompet -- yang berisi beberapa lembar ribuan. Sebelum jadi calo, Oom ini bekerja di Departemen Keuangan di Bandung selama 21 tahun. Nggak tahu kenapa tidak punya pensiunan. Setelah itu ia bekerja di pabrik roti. Pabrik bangkrut. Akhirnya ia jadi calo di terminal, sudah belasan tahun. Pernah tinggal di Solo dan Bandung. Di Pulo Gadung ia paling tua dan tampak paling sendu. "Tapi begini-begini sudah ada kegiatan juga sudah senang. Daripada nganggur saja di rumahkan lebih menyenangkan ada pemasukan, biar cuma Rp 100," katanya. Calo tidak hanya merubung terminal bis. Penumpang pesawat udara juga merupakan makanan sedap, Seorang petugas di Pelabuhan Udara Kemayoran (Jakarta) mengatakan kepada TEMPO bahwa sudah 20 orang calo yang tertangkap, langsung dibawa ke Komdak. Tapi tidak berarti tempat itu sudah steril. Kalau petugas "Satpam" (satuan pengaman) tampak, mereka memang menghilang. Kalau sudah aman, hidungnya jelas tampak kembang-kempis mencium kantong calon penumpang. "H salah seorang calo tiket kapal udara sudah beroperasi di Angkasa Pura Kemayoran sejak 1963. "Sejak masih bujangan, sampai punya isteri dan anak enam," katanya. "Habis mau kerja di mana lagi? Mau jadi pegawai, gaji tidak sampai cepek (Rp 100 ribu) sedang biaya hidup kita satu hari saja paling kurang tiga ribu." Menurut pengakuannya, satu hari paling kurang ia bisa menangkap Rp 5 ribu--kalau kerja sejak pagi. H mengakui penghasilan calo di Kemayoran lumayan. Untuk satu karcis bisa tawar menawar dengan penumpang. Selisih dari harga resrni bisa jatuh di sekitar Rp 10 ribu. Bayangkan kalau sampai beberapa buah karcis. Dari jumlah itu biasanya Rp 1.000 disodorkan kepada para petugas yang mau diajak kedip-kedipan mata. "Tu, si Kumis, galak betul dia. Tapi gua kasih seribu, mau juga dia terima," kata H sarnbil menunjuk seorang petugas yang kebetulan lewat. "Saya sudah belasan tahun di sini, tetapi belum bernasib mujur," kata H lebih lanjut. Kenapa? Calo yang bicara dengan logat Betawi ini menunjuk rekannya, bekas calo, yang sekarang punya usaha sendiri. Punya rumah bernilai ratusan juta dan mondar-mandir naik pesawat. H sendiri hanya punya rumah di pinggiran Jakarta, sebuah mobil Corolla yang sekaligus ditaksi-gelapkan. Sekali lagi ia katakan hartanya belum apa-apa, jika dibanding sejawatnya yang sampai mampu membangun rumah seharga Rp 300 juta. "Kita kalau jujur sama langganan, bisa dipercaya," katanya memberikan kuliah singkat tentang dunia calo. "Mula-mula kita disuruh antri beli tiket, karena mereka mau enak-enakan makan dan menunggu di restoran. Lama-lama dpercaya, minta pinam uang untuk modal, me,reka berikan." H belum pernah ditangkap. Padahal dalam penggerebegan baru-baru ini ada teman-temannya yang kena gulung. Tapi mereka hanya ditahan 2 hari, kemudian dilepas. "Habis kita kan tidak menipu atau menjambret," kata H kasih alasan. Ia sendiri karena lama bertahan pada profesi ini malah dapat julukan "lurah". Risiko ditangkap baginya sangat kecil. Kecuali pada hari-hari menjelang Natal. Pada hari-hari itu, biasanya ia pergi ke Halim, untuk memburu orang-orang yang hendak berlibur ke Singapura. "Di sana risiko lebih besar, karena calo tiket memang dilarang. Cuma kalau tahu jalannya, bisa juga dpat beberapa puluh ribu." Tiba-tiba muncul seorang calo lain. Ia bisik-bisik dengan H. "Langganannya hilang," kata H kemudian kepada seorang petugas yang juga ikut nimbrung omong-omong. Hubungan H dengan para petugas tampak akrab. karena ia malah berani kasih nasehat-nasehat. "Jadi petugas, jangan sok kuasa," katanya, "orang jahatlah yang ditangkap, jangan kita orang cari makan begini yang ditangkap. Memangnya kita menipu atau memeras orang? Toh langganan datang sendiri mendekati calo!" Kalau Antri Jadi cao penumpang pesawat udara memang lebih gendut dari penumpang bis. Bagaimana dengan calo penumpang kereta api? Pembantu TEMPO Max S. Wangkar berhasil mengintip seorang calo di Stasiun Jakarta Kota. Ia berdiri di depan stasiun dengan parlentenya. Sepatu coklat mengkilap, celana krem dan baju garis-garis hitam berharga belasan ribu. Mulumya komat-kamit mengisap permen mentol. Kurus dan muda, 24 tahun. "Sudah lima atau enam tahun saya menjadi calo di sini," katanya. Ia mengaku bernama F. Untuk karcis kereta Bima dan Mutiara, ia bisa menawarkan antara empat sampai lima ribu di atas harga resmi-untuk Jakarta Surabaya. "Kita di sini lidak seperti di Gambir, harus antri. Kalau kita ikut antri, maka tak berapa lama kita bisa ditangkap. Maka kita hanya boleh membeli karcis dari petugas keamanan stasiun sendiri," kata calo itu. "Kalau seandainya kita yang antri, paling juga cuma seribu sampai seribu lima ratus yang kita minta." Jadi harga catut yang tinggi itu disebabkan karena orang dalam sudah minta sekitar Rp 4000-an. Tidak seperti Stasiun Senen atau Gambir, Stasiun Kota adalah stasiun untuk orang-orang kaya. Karenanya tempat operasi calo ini sering dapat sorotan keras. "Sedikit-sedikit ada pembersihan calo. Gara-gara itu, tahun ini penghasilan saya banyak berkurang," kata F. Pernah ditangkap? "Dimasukkan sel di dalam stasiun pernah, tapi masuk penjara, belum. Habis mana ada bukti saya mencuri atau menipu orang? Dan seandainya saya akan dihadapkan ke pengadilan, saya bongkar semua rahasia manipulasi di sini. Kalau perlu dengan Pak Sudomo!" gertaknya dengan gayanya. Ia melihat ada ketidakadilan. "Saya rasa tidak benar dong kalau ada apa-apa, lalu kita yang ditangkap, padahal petugas keamanan sendiri ikut jadi calo," ungkapnya. Apa benar? Wallahu 'alam. Soal menipu, F mengatakan tidak mungkin dilakukan oleh calo. "Habis kita kan setiap hari di sini, mana bisa. Memangnya besok kita tidak kembali lagi?" tanyanya balik. Lalu ia bercerita. Satu ketika di bulan Juli lalu ada 2 cewek Cina mau ke Surabaya. Mereka minta 3 karcis. F kasih harga Rp 52 ribu, lalu ditawar Rp 50 ribu. Karena tidak klop, jual beli batal. Lantas muncul seorang pemuda Cina. "Kami sangka masih saudara wanita itu. Ia langsung masuk ke ruang kepala stasiun, kemudian keluar lagi dan minta duit dari wanita itu," kata F. Uang diberikan. Kedua wanita disuruh tunggu. Tetapi kemudian pemuda itu tidak kembali lagi. "Akibatnya kami dicurigai menipu, lalu masuk sel 24 jam," kata F. Sebagai calo, F mengaku tidak ada kepastian penghasilan. Bisa dapat bersih Rp 6 ribu satu hari, bisa juga hanya beberapa ratus rupiah. Tapi ia sudah membuktikan hidup dalam dunia calo sepanjang tahun bisa. Dengan catatan, sekali-sekali kalau ada "bola" di Senayan, langsung mengejar rezeki sebagai catut karcis bola. Menurut orang ini, sebenarnya pengertian calo dan catut ada bedanya. Calo hanyalah perantara membeli karcis dengan imbalan uang lelah 10% dari harga karcis. SedangKan catut, beli karcis dulu dengan uang sendiri, kemudian dijual kembali dengan harga mahal. Menurut F, tidak ada organisasi calo yang dikenalnya. "Sesama calo saja kadang-kadang ada yang saling menipu," katanya menjelaskan. Di stasiun Kota ia taksir ada sekitar 15 orang calo. Mereka bekerja tanpa beking. "Wah kalau pakai beking bisa-bisa kita yang kena peras," ujar F. Paling banter mereka hanya kumpul-kumpul kalau ketemu di Senayan sambil tukar pengalaman. Mereka berasal dari segala pelosok tanah air. Masa depannya ia akui tidak jelas. "Yah kalau ada jalan bagi, saya akan ikut dalam perusahaan ekspedisi kelak. Ekspedisi kereta api," kata F membayangkan. Aturannya Calo tidak hanya diciptakan oleh Jakarta. Di seluruh tanah air calo dan catut berserakan. Mereka memburu malian, kadangkala tidak hanya sekedar ganjal perut, tapi mencari hidup yang lebih layak -- yang tak dimungkinkan oleh kerja lain. Sebab hubungan tidak resmi dengan "orang dalam" dan "petugas keamanan" -- meskipun sudah dicoba dibasmi oleh Pemerintah, masih saja bisa terjadi. Hubungan tersebut menyebabkan pekerjaan itu jadi basah dan subur. Ya, siapa yang tidak ngiler. Di Bandung calo-calo menyediakan uang rokok untuk menjinakkan petugas patroli. Kalau ada 6 petugas, mereka menyiapkan 6 bungkus rokok. "Itulah aturannya. Kalau tidak ditaati, barangkali kami sudah lama diusir dari sini," ujar N seorang calo di sebuah terminal bis Bandung. Sebenarnya ia seorang karyawan terminal. "Tapi gaji Rp 15 ribu, mana cukup untuk hidup sekeluarga, jadi calo lumayan, setiap bulan bisa beli beras," katanya terang-terangan kepada TEMPO. Meskipun lebaran tahun ini lebih sepi dan harga-harga melangit, kerja di terminal sambil merangkap jadi calo tetap ingin dipertahankannya. "Saya pernah diajak teman kerja di pabrik tekstil dengan gaji Rp 17 ribu, saya tolak. Di sini kan banyak waktu senggang yang bisa digunakan untuk mencalo," kata N dengan tenang. Sementara itu Engkom (49 tahun) calo di stasiun KA Bandung menambahkan: "Mula-mula memang saya segan juga mengikuti jejak teman-teman, tapi daripada keluarga terlantar, apa boleh buat." Hanya saja pekerjaannya itu ia rahasiakan terhadap anak-anaknya. Ia mengaku tetap jadi pedagang di Pasar Baru. Hanya isterinya yang tahu ia jadi calo. Kenapa? Lelaki yang semula berdagang sayur ini menjawab jujur "Sengaja tak diberi tahu agar mereka tidak merasa rendah diri bergaul dengan teman-temannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus