Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Televisi memancar di Banjar ...

Banjar sangging adalah suatu desa pusat seni lukis tradisional gaya klungkung-kamasan di bali. desa yang sepi itu sejak televisi masuk ke sana kini menjadi hingar-bingar. suatu kejutan budaya terjadi.

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJAR Sangging adalah banjar yang kecil. Tidak lebih dari 87 keluarga yang menggugus membangun suatu komunitas pelukis gaya tradisional dan pengrajin perak. Dalam peta pariwisata yang lantang berbicara tentang Ubud Tampaksiring, Sanur, Kuta, Mas, Celuk dan sebagainya itu Sangging hampir-hampir tidak terucapkan. Paling, Kamasan, desa yang membawahinya, saja yang kadang-kadang tersentuh oleh tangan pariwisata. Itupun hanya oleh para kolektor barang-barang seni atau peminat-peminat khusus. Soalnya, banjar Sangging dan desa Kamasan itu memang bukan desa-desa yang seindah Ubud atau Tampaksiring yang hijau dan berbukit. Juga yang tidak sarat dengan pura-pura yang mengagumkan atau yang hiruk-pikuk oleh pukulan gamelan Bali yang bertalu-talu. Dengan pendek, Sangging, Kamasan, "tidak memenuhi syarat" sebagai tempat yang bisa dibayangkan dalam buku gambar wisata tentang Bali yang penuh kemilau itu. Toh, desa itu desa yang penting. Di situlah senilukis tradisional gaya Klungkung-Kamasan yang cemerlang itu masih dikerjakan terus dengan cara dan bahan yang hampir tidak berubah sejak satu-dua abad yang terakhir ini. Kecuali mungkin pada Nyoman Mandra dan Mangku Mura, pelukis-pelukis terkemuka dalam gaya ini, yang sendirian mengerjakan lukisan mereka, lukisan Kamasan itu masih dikerjakan secara kolektif oleh berbagai tangan laki, perempuan dan anak-anak. Dengan tekunnya mereka membagi pekerjaan menyeket mewarnai, dan menyelesaikan seluruh lukisan itu. Dengan gairah yang seakan tak kunjung mengendor mereka meramu berbagai bahan cat alam, dari batu, dari daun-daunan, melukis berbagai dongeng dan cerita yang turun-temurun telah merupakan bagian dari jagad mereka. Tentang berbagai episoda dari Mahabarata (Bima Swarga, Arjuna Wiwaha), Ramayana Rama Tambak, Sugriwa-Subali), Suthasoma, Lubdaka Panji Malat) atau Brayut. Lukisanlukisan terbaik hasil seniman-pengrajin banjar Sangging, Kamasan, ini tersebar di seluruh dunia di rumah-rumah para kolektor asing serta menjadi koleksi dari berbagai museum terkemuka. Hatta, sejak dua-tiga tahun yang lalu banjar Sangging tersentuh oleh listrik. Byar! Bagaikan sentuhan tangan gaib para dewa, desa yang biasanya remang-remang di waktu malam karena cahaya lampu minyak, sekarang menjadi terang oleh cahaya listrik. Dan Banjar yang sebelumnya hanya diramai-kan oleh suara radio transistor itu, Sangging yang hanya dihuni 87 keluarga itu, sekarang berbangga hati memiliki 10 buah televisi. Salah satu televisi yang ramai dengan pengunjung adalah televisi di rumah pelukis Nyoman Mandra. Setiap sore, begitu jam televisi dimulai, anak-anak, muda-mudi dan orang-orang tua pada berkerumun di teras Mandra yang sempit itu berdesakan menonton. Suara azan maghrib yang kedengaran aneh, ibu-ibu Persit yang main angklung dengan penuh dedikasi, pengalaman-pengalaman Lucy yang konyol dalam kehidupan bule yang aneh, tembakan dan kebutan maut dari Steve MacGarrett di jalanjalan Honolulu, omongan berbagai pejabat dalam baju-baju safari, Benyamin dan Bagio yang tanpa capeknya menjajakan kain caterina dan ajinomoto serta bakso. Semua acara itu mereka telan dengan lahapnya sama dengan bila mereka menikmati arja atau drama gong atau tontonan tradisional mereka. Mereka akan datang dan pergi, duduk dan berdiri, menggumam "beh, beh, beh . . . ", untuk kemudian duduk mencakung kembali mengamati kotakajaib itu lagi .... *** Apa yang terjadi di banjar kecil itu? Pada siang hari, pada waktu matahari memancar dengan terangnya, di keteduhan pohon jambu atau atap ilalang, komunitas itu bercanda dan berbicara dengan dunia yang dengan akrabnya mengajar mereka bagaimana keseimbangan di jagad itu mesti dijaga. Suthasoma yang rela dimakan harimau, seperti terlukis dengan indahnya oleh Nyoman Mandra itu, memberi tahu komunitas itu bahwa kesediaan berkorban untuk kepentingan yang dianggap lebih besar itu baik. Bima yang menggugat para dewa di Suralaya menuntut sorga bagi ayah dan ibu-tirinya, seperti terlukis oleh Mandra lagi, memberitahu bahwa kebaktian yang gigih dan tulus terhadap orang-tua itu penting bagi komunitas. Lewat lukisan mereka anggota-anggota banjar itu secara gotong-royong melaksanakan berbagai dialog akrab itu dengan santainya hampir tanpa suatu kompleks. Pada malam hari, waktu bola lampu listrik itu menyala, komunitas itu--sebagian--bercanda dan berbicara dengan dunia asing. Berbagai informasi baru, yang bagaikan pelangi yang tak kunjung habis, datang menghambur memenuhi indera mereka. Mereka mencernakan itu semua dengan kegembiraan dan rasa ingin tahu seorang bocah. Tidak semua dongeng baru itu cocok dan "sinkron" dengan Suthasoma, Bima dan Lubdaka. Tapi toh semua cerita baru itu menarik dan kudu diberi tempat. Sebagai orang Hindu-Bali mestinya mereka sudah lama diberitahu untuk selalu berakomodasi dengan berbagai unsur yang menyangga kehidupan. Agar keseimbangan dan keselarasan jagad selalu terjaga. Bukankah Kala yang angkara itupun kadang-kadang perlu diberi sesaji? Tetapi televisi bukanlah Kala, yang mungkin sudah akan puas oleh sekali-duakali sesaji. Televisi adalah satu kotak ajaib yang teramat cerewetnya yang tidak terlalu sabar dalam membangun dan mengembangkan dialog. Ia menuntut sangat banyak dari penontonnya. Ia menuntut agar sang penonton tidak puas dengan dongeng yang dibangun lewat atu jalur lurus oleh lingkungannya selama beberapa abad --seperti Suthasoma atau Bima Swarga. Ia menuntut agar sang penonton siap dengan tidak hanya satu-dua dongeng yang dicerna secara santai dengan pengendapan berhari, berbulan. Ia ingin penonton itu sekaligus sanggup mencerna berpuluh dongeng yang datang dari berbagai arah yang mesti dicerna sekilas-sekilas sesuai dengan watak elektronika yang berkecepatan kilat itu. *** Alangkah repot! Ada berapa banyak masyarakat-masyarakat di negeri kita, di Asia, di seluruh dunia yang mesti mengalami akomodasi simultan seperti masyarakat Sangging itu? Tidak terbilang! Pada waktu ia sedang terbiasa memahami keseimbangan jagad lewat media visual yang membangun pencernaan informasi secara sepotong-sepotong, ia sudah ketemu televisi. Yakni, satu media yang mengajar bahasa keseimbangan dengan idiom yang gelisah, menjerit dan merangsang. Pada waktu satu masyarakat baru beranjak berangkat ke dalam dunia tulisan dan bacaan, ia harus sudah "memuak kembali" dalam ikatan komunitas yang kolektif. Cuma, kali ini kolektivitas yang lebih gelisah dan menuntut lebih banyak. Tentu saja kehidupan berjalan terus di banjar Sangging. Orang masih terus menggumam "beh, beh, beh " waktu mengagumi satu lukisan Mandra tentang ciptaan dunia dalam episoda Muter Cunung di siang hari. Orang menggumam "beh, beh, beh " juga waktu melihat Hawaii Five O di malam hari. Sementara anak-anak yang mandi di kali sudah menyerap dengan enaknya:. eeee, ketemu lagi, copot, copot, copot, copot .....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus