DALAM film terlihat seekor kera yang semula lincah akhirnya
lumpuh dan buta setelah dicekoki obat mencret Entro-Vioform, 6
butir tiar hari selama 2 minggu. Hadirin menarik napas. Tetapi
suasana menekan perasaan justru tambah menjadijadi setelah film
berakhir dan lampu dinyalakan di ruangan Press Club, Jalan
Veteran di Jakarta 12 Agustus itu.
Yuko Kigasawa, 35 tahun, wanita yang berada di tengah-tengah
sekitar 80 hadirin dalam ruangan itu menangis terisak-isak.
Rupanya film tentang kera yang dibuat dokter-dokter Indonesia
itu mengingatkan wanita yang hanya bisa berjalan dengan kursi
roda tersebut pada obat yang sama. Dia pernah makan obat itu
secara berkepanjangan, hingga berakibat dirinya lumpuh dan hanya
bisa melihat dengan kacamata amat tebal.
Dengan suasana begitulah Yayasan Lembaga Konsumen memulai
kampanye anti-clioquinol, obat mencret yang juga dikandung pil
Entro-Vioform tadi. Wanita Jepang yang mengaku jadi korban obat
mencret itu sengaja diundang untuk berbicara di depan sejumlah
wartawan Jakarta. Dengan kesaksian Yuko Kigasawa, beserta
pandangan seorang wakil dari International Organisation of
Consumers Unions dan beberapa ahli Indonesia, Lembaga Konsumen
rupanya berharap anggapan bahwa obat mencret itu berbahaya
menjadi lebih kuat. Sehingga pemerintah terbujuk untuk
melarangnya beredar.
Arus anti-clioquinol berasal dari Jepang, satu bangsa yang
dianggap beberapa peneliti menyimpan faktor X dan menanggungkan
begitu banyak penderita kelumpuhan maupun SMON (Subacute Myelo
Optic Neuropathy -- kerusakan saraf mata secara pelan-pelan)
yang bisa mengakibatkan kebutaan gara-gara clioquinol. Menurut
catatan para pejuang antiobat mencret itu, di Jepang sekarang
tercatat 20.000 penderita SMON. Dari jumlah itu 7.391 penderita
bahkan sudah naik ke pengadilan untuk menuntut ganti rugi. Yuko
Kigasawa yang datang berkampanye ke Indonesia bersama suaminya,
merupakan salah seorang penggugat dan berhasil memperoleh ganti
rugi US$ 200.000.
Mahkamah pengadilan sendiri sulit mengambil keputusan, karena
kesaksian yang pro dan kontra clioquinol. Tetapi kemudian
dicapai kesepakatan produsen (antara lain Ciba-Geigy) dan
pemerintah setempat secara patungan mengeluarkan uang ganti
rugi.
Menurut Elisabeth Hutama, salah seorang pengurus Lembaga
Konsumen yang berbicara pada hari kampanye itu, di Indonesia
terdapat 22 merk obat antidiare (mencret) yang mengandung
clioquinol. "Obat ini sudah dilarang beredar di Jepang dan
Amerika Serikat. Di Norwegia, Swedia dan Denmark sudah ditarik
dari peredaran. Sedangkan Australia dan Venezuela sudah
membatasinya dengan menetapkan obat itu hanya boleh digunakan
berdasarkan resep dokter. Sedang di Indonesia masih dijual
dengan bebas," kata Elisabeth.
Sedangkan Ketua International Organisation of Consumers Unions,
Anwar Fazal yang berasal dari Penang mengatakan di Malaysia
clioquinol sudah dilarang pemerintah sejak 7 Agustus yang baru
lalu. Sementara Bangladesh menyetopnya sejak 12 Juni.
Indonesia mengkonsumsi 300 juta pil obat itu saban tahun. Masih
tanda tanya apakah pemerintah Indonesia akan ikut melarang.
Sebab sebagaimana dikatakan Direktur Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan, Dr. Midian Sirait, obat mencret itu sudah
dipergunakan sejak 30 tahun yang lalu. "Mestinya kalau ada kasus
SMON sudah terdengar," katanya kepada wartawan TEMPO, Max
Wangkar. Midian diundang ke pertemuan yang bersifat kampanye
itu, tapi berhalangan hadir.
Tetapi buat orang Jepang bencana kelihatannya datang begitu
cepat. "Pada tahun 1966 saya memperoleh resep clioquinol 3
tablet sehari. Tak lama kemudian saya lumpuh dan mati rasa.
Selain itu penglihatan saya menjadi amat kabur," kata sang
korban, Yuko Kigasawa dalam kampanye di depan wartawan pekan
lalu.
KEPALA Bagian Farmakologi FKUI dan anggota tim penilai obat jadi
Departemen Kesehatan, dr. Iwan Darmansjah, cenderung
menganjurkan clioquinol dilarang. Dia mengakui belum pernah
mendapat laporan tentang adanya penderita SMON. "Meskipun
demikian apakah kita harus menunggu ditemukannya kasus dulu baru
dilarang?" katanya dalam pertemuan antara pihak penentang
clioquinol dan para wartawan itu.
Iwan sendiri tidak secara tegas menganjurkan orang menghindari
clioquinol. Hanya dia menganjurkan orang agar tidak usah secara
sembarangan meminum obat diare kalau kena diare, bila tak jelas
penyebab penyakit itu.
Sebab menurut hasil penelitian yang pernah dia laksanakan
terhadap 500 pasien diare, ternyata manfaat clioquinol kecil
sekali, dibandingkan dengan efek sampingnya. "Yang diberi
placebo (obat kosong) ternyata 82% yang sembuh sedangkan yang
diberi clioquinol 93%. Jelas perbedaannya sedikit sekali. Karena
itu tanpa diobati, diare bisa sembuh sendiri," kata ahli
farmakologi yang selalu muncul dalam sidang WHO kalau
membicarakan masalah obat-obatan.
Kampanye Lembaga Konsumen itu barangkali agak mengguncangkan.
Tetapi untuk memberikan rasa aman, para penderita diare
barangkali boleh mencoba obat anti-diare yang tidak mengandung
clioquinol. Jumlahnya memang masih langka. Salah satu di
antaranya pil yang mengandung gambir, kunyit dan kaolin. Kalau
memang tidak gawat dan masih percaya obat tradisional, mengapa
tak mencoba daun jambu muda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini