KETIKA mula-mula Gunung Galunggung beraksi awal April, penduduk
Kampung Lewad, Desa Sukanagalih, Kecamatan Rajapolah,
Tasikmalaya, berniat mengungsi. Padahal daerah itu tidak
termasuk dalam batas wilayah berbahaya. Jaraknya 30 km dari
gunung yang sedang marah itu.
Belakangan diketahui sebab-sebab timbulnya niat mau hijrah dari
daerah subur itu. Soalnya kampung yang tenteram itu sedang
dilanda "wabah" sakit ingatan. Di wilayah RT 2 kampung itu, yang
terdiri dari 15 umpi (kepala keluarga) ditemukan 14 orang yang
sedang sakit ingatan.
Penyakit itu menyerang penduduk yang berusia 17 tahun ke atas.
Gejalanya mula-mula sakit panas sekitar satu atau dua minggu.
Kemudian korban mengigau. Ketika suhu badannya turun kembali si
korban menjadi tak waras lagi. Anehnya penyakit hilang ingatan
itu hanya dianggap untuk satu atau dua bulan saja. Kemudian si
penderita normal kembali, sekalipun tidak waras benar seperti
sediakala.
Penyakit "gila sementara" itu secara bergiliran menyambar
penduduk. Karena takut kena giliran, Mang Ace yang berusia 50
tahun berniat memboyong istri dan lima anaknya keluar dari
daerah itu. "Saya akan kembali kalau penyakit aneh ini bisa
hilang dari kampung ini," ujar Mang Ace kepada koresponden
TEMPO. Hasan Syukur, yang berkunjung ke sana.
Kekhawatiran Mang Ace kelihatannya memang masuk akal. Beberapa
tetangganya sudah mengigau-ngigau. Mereka berbicara dan tertawa
sendirian. Kadang-kadang mereka melakukan perbuatan yang
meresahkan orang lain. Mang Danu, misalnya, yang terserang
sebulan lalu, memulai kegemaran baru: mencuri sandal dari rumah
tetangga. Bola lampu listrik juga disambarnya.
Karena orang sekampung sudah maklum pada penderitaannya, Mang
Danu dibiarkan saja. Hansip juga menunjukkan toleransi yang
tinggi terhadap tingkah-laku laki-laki berusia 55 tahun itu.
Karena benda-benda itu toh bisa diambil kembali di rumah si
pelaku tanpa harus bertengkar lebih dulu.
Sekarang sandal dan bola lampu di Kampung Lewad sudah aman. Mang
Danu sudah diungsikan sanak-saudaranya ke Tasikmalaya. Sedangkan
penderita yang belum beruntung, masih tinggal di kampung itu.
Termasuk pasangan suami-istri yang dua-duanya gila atau setengah
gila. Misalnya Takrin, 30 tahun, bersama istrinya Kiki.
Yang mula-mula kena serangan adalah si istri, kemudian menjalar
ke suaminya. Mereka masih tertahan di Kampung Lewad, sementara
empat anak mereka yang masih kecil buru-buru diungsikan ke rumah
sanak-famili yang masih sehat di kampung itu juga.
Menurut cerita Kepala Kampung Lewad, Sukinta, penyakit gila itu
menyerang sejak tahun 1960. Waktu itu hanya satu-dua orang yang
terserang. Tapi belakangan ini jumlah penderita menjadi berlipat
ganda dan memberikan kesan daerah itu sebagai "kampung gila".
Kepala Desa Sukanagalih, Juarsa, juga memberikan kesaksian yang
sama. Tetapi sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap
warganya, mengapa kejadian itu tidak dilaporkan? "Tadinya saya
merasa malu di daerah kami ini ada penyakit begitu. Tapi setelah
dengan berbagai cara pengobatan tidak berhasil, saya pun membuat
laporan ke dinas kesehatan," ujarnya.
Laporan dari Kepala Desa itu ditulis akhir Maret. Tapi karena
Gunung Galunggung meletus sampai berlarut-larut, laporan
tersebut belum sempat juga disimak petugas kesehatan. "Mana
sempat kami. memperhatikan laporan itu. Kami terlibat langsung
menolong ribuan pengungsi Galunggung," kata dr. E. Suryana,
Kepala Puskesmas Rajapolah.
Belum tahu kapan kampung itu akan ditinjau dan diteliti.
"Konsentrasi kami saat ini tercurah kepada pengungsi dulu," ujar
Suryana pula. Dan nasib penderita di Kampung Lewad itu bertambah
jauh saja dari perhatian orang-orang yang bergerak di bidang
kesehatan, karena amarah Gunung Galunggung belum habis juga.
Kepala Desa Sukanagalih, Juarsa, ingin sekali ada ahli yang
datang meneliti sekaligus mengobati penderita. Ia sendiri sudah
berniat mengabulkan permintaan kakek misterius yang berjanggut
putih pada suatu malam Jumat dipergoki ronda malam. Kakek itu
kabarnya meminta ditanggapkan wayang golek dan kurban seekor
kambing hitam. Kalau tidak, Kampung Lewad, takkan bebas dari
sakit ingatan.
KETIKA diikuti dari belakang kakek yang serba putih itu
menghilang di daerah yang saat ini banyak terserang penyakit
aneh tadi. "Barangkali saja dengan menanggap wayang golek dan
menyembelih kambing hitam, kampung ini bisa tertolong. Anggap
saja ini sebagai salah satu ikhtiar," cerita Juarsa.
Di Kota sandung sendiri, para ahli penyakit jiwa belum ada yang
terjun meneliti gejala penyakit aneh di Kampung Lewad itu. Prof.
Dr. Hasan Basri Saanin, Guru Besar Psikiatri di Fakultas
Kedokteran Universitas Pajajaran Bandung, mengaku baru membaca
kejadian itu di koran. "Kalau dimulai dengan demam, memang
sudah bukan peristiwa aneh. Mengigau karena demam bisa terjadi
karena peradangan di otak, influenza atau karena tipus. Kalau
panasnya terlalu tinggi bisa membuat ingauan yang berlarut-larut
dan menyebabkan si penderita gila," ulasnya.
Tetapi dia sendiri belum bisa memastikan sebelum melakukan
penyelidikan ke sana. "Kalau penduduk satu kampung menderita
penyakit jiwa, menarik untuk diselidiki," katanya pula.
Ahli psikologi John S. Nimpuno, Dekan Fakultas Psikologi Unpad
menduga penyakit itu mungkin disebabkan pernikahan endogami
(sedarah). Dugaan itu juga dikuatkan ahli psikologi dan kolumnis
M.A.W. Brouwer. Di beberapa tempat di Eropa penyakit gangguan
jiwa karena perkawinan sedarah mewarnai kelompok masyarakat
tertentu. Tapi apakah yang terjadi di kampung Jawa Barat itu
karena perkawinan sedarah, masih perlu dibuktikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini