Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Ahmad Sulaeman menilai kandungan BPA dalam kemasan kaleng makanan dan minuman lebih mengkhawatirkan dibanding kandungan BPA pada galon air minum. “Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum," katanya pada pertengahan November 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPA merupakan bahan yang telah lama digunakan untuk mengeraskan plastik, termasuk botol minuman dan kotak tempat makanan yang dapat dipakai ulang. Bahan ini juga umumnya terdapat pada kaleng susu formula untuk mencegah karat, botol susu bayi, dan beberapa perlengkapan balita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ahmad, makanan kemasan kaleng memiliki keuntungan tahan banting, punya kekuatan yang lebih. Selain itu, makanan ini pun memiliki kemasan yang tahan lama. Kelemahan makanan kemasan kaleng ini, bila kemasannya korosi atau berkarat, maka akan membahayakan makanannya. "Kalau korosi atau berkarat kontak dengan minuman dan makanan lain, bisa berbahaya. Makanya, pada setiap makanan kaleng itu, diberikan pelapisan. Sehingga bila makanan tidak akan kontak langsung dengan kaleng, tapi dengan bahan lain," kata Ahmad.
Pelapisan antara makanan dan kaleng ini bernama epoksi. "Nah, epoksi ini bahan bakunya adalah bisphenol A alias BPA," kata Ahmad.
Dari segi logika, kata Ahmad, makanan kaleng bisa disimpan dalam waktu yang lama. Bayangkan makanan kemasan kaleng disimpan lama di toko, bahkan disimpan lama pula di tempat penyimpanan dan waktu yang lama. "Artinya kontak antara makanan dan plastik epoksi BPA tadi jadi lebih lama," kata Ahmad.
Ahmad mengatakan dari logika itu bisa disimpulkan bahwa semakin lama makanan itu disimpan dalam kemasan kaleng berpelindungi epoksi, artinya semakin banyak pula BPA yang larut dalam makanan. "Hal ini dikonfirmasi dalam penelitian. Ternyata memang benar bahwa kandungan BPA di makanan kemasan lebih tinggi dibanding air minum galon," katanya.
Melihat hal itu, Ahmad menyarankan agar pemerintah bisa lebih fokus pada pemberian label pada makanan kemasan dibanding dengan air minum. "Jadi kalau mau concern dengan BPA, harusnya prioritas makanan kaleng dulu yang diberikan peringatan dibanding dengan BPA pada air minum," katanya.
Walau begitu, menurut Ahmad, ia sebenarnya merasa masyarakat tidak perlu terlalu khawatir. Menurutnya penelitian menyebutkan bahwa BPA yang larut dalam makanan minuman kemasan dan serta minuman air galon, sangat rendah. Kira-kira seperseratus dari standar aman. "Jadi tetap aman untuk dikonsumsi," kata Ahmad.
Sebelumnya, kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus menuai kontroversi di kalangan akademisi. Draft awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya yakni, kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat. Narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai tidak memenuhi urgensi.