KALAU di kota-kota besar banyak orang mengantongi kartu kredit atau kartu discount, maka warga desa miskin juga mengantongi kartu. Bedanya, yang dibawa-bawa orang desa itu hanya cocok untuk klinik dan tak bisa dipakai untuk berbelanja di supermarket. Dalam kata lain, kartu klinik resminya disebut kartu sehat merefleksikan kemiskinan, sebaliknya kartu kredit melambangkan kemapanan pemiliknya. Memang, kartu sehat khusus dibuat untuk penduduk miskin. Dengan kartu sehat, masyarakat yang berada di kantong-kantong kemiskinan akan menikmati pelayanan kesehatan secara gratis. ''Kartu sehat ini sepenuhnya akan disubsidi oleh Pemerintah,'' Kata Menteri Kesehatan Prof. Sujudi, dalam penjelasan kepada wartawan usai menutup Rapat Kerja Kesehatan Nasional belum lama ini di Ciloto, Jawa Barat. Itulah langkah maju di bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang patut dicatat menjelang akhir tahun ini. Dan pelayanan gratis itu tidak cuma setingkat puskesmas, tapi juga pelayanan rumah sakit yang menggunakan perangkat modern. Mereka cukup menunjukkan kartu sehat, lalu dirawat dan diobati, dan tidak dikutip ongkos sepeser pun. Ide kartu sehat ini berangkat dari pertanyaan, mengapa orang miskin yang sudah diberi kemudahan berobat tetap enggan mendatangi klinik. Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Dokter Broto Wasisto, data yang ada menunjukkan hanya 60 persen penduduk miskin yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan modern. Padahal, kalau mereka bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu, mereka juga mendapat pelayanan gratis. Hanya saja, peluang ini jarang mereka gunakan. Broto Wasisto menyimpulkan, mereka enggan karena untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu itu dirasakan terlalu repot. Mereka harus mendatangai RT, RW, kemudian kelurahan dan kecamatan. ''Melihat perjalanannya yang begitu panjang, membuat orang miskin sudah takut duluan,'' katanya kepada TEMPO di sela-sela diskusi di FK-UI pekan lalu. Maka, kini dicobalah konsep pemberian kartu sehat kepada setiap penduduk miskin. Lewat kartu tersebut, langkah mereka tak lagi tersandung pada kendala birokrasi, malah sebaliknya akan lancar ke rumah sakit. Tapi praktek sebelum ini sering menunjukkan bahwa setiap rencana yang baik sering melenceng. Program Asuransi Kesehatan (Askes), misalnya. Masih ada sebagian pasien pemegang kartu kuning Askes yang merasa ''dianaktirikan'' dalam hal pelayanan. Mereka membandingkannya dengan pelayanan yang diterima oleh pasien yang membayar penuh tanpa Askes. Namun, Broto Wasisto optimistis, kasus menomorduakan pasien pemegang kartu sehat tak akan terjadi. Mengapa? Sistem yang berlaku sekarang kelak akan diubah. ''Dulu, kita tidak memperhitungkan adanya orang-orang miskin ini. Sehingga ketika ada orang miskin, maka itu dianggap beban bagi tempat pelayanan kesehatan,'' katanya. Maka supaya lancar, program kartu sehat akan diintegrasikan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dalam program ini ada yang namanya komponen sektoral. Artinya, kalau makin banyak orang miskin di suatu daerah, maka dana yang disalurkan ke tempat itu akan diperbanyak. Contohnya, setiap penduduk mendapat bantuan obat-obatan rata-rata Rp 650 per kapita. Bantuan ini sama untuk 6.600 puskesmas seluruh Indonesia. Dana itu dibagikan tanpa memandang desa miskin atau tidak. Di masa yang akan datang, daerah-daerah yang lebih banyak orang miskinnya akan memperoleh alokasi dana lebih besar. Menurut Broto, bukan lagi Rp 650 per kapita, namun bisa ditingkatkan menjadi Rp 1.000. ''Dengan tambahan dana ini diharapkan tidak ada lagi puskesmas maupun rumah sakit yang menelantarkan pembawa kartu sehat. Karena mereka telah mendapat alokasi dana yang cukup bagi jatah orang miskin,'' kata Broto. Untuk kartu sehat ternyata tidak ada dana ekstra yang harus dikeluarkan dari brankas Departemen Kesehatan. Yang terjadi adalah realokasi dana. Daerah yang banyak orang miskinnya akan mendapat alokasi dana lebih banyak. Realokasi dana itu, kata Broto Wasisto, berpatokan pada peta desa miskin yang dibuat Bappenas. Sedangkan pembagian kartu sehat akan dilakukan lewat kepala desa. Mereka akan membagikan kartu sehat melalui kelompok swadaya masyarakat yang menampung 20-30 keluarga miskin. Dengan cara ini diharapkan pembagian kartu tak akan meleset dari sasaran. Selama lima tahun diperkirakan kartu sehat mampu menjaring semua penduduk miskin yang berjumlah 27,2 juta jiwa. Pada prinsipnya kartu sehat akan berlaku untuk selamanya. Namun, kalau penduduk miskin itu sudah tidak miskin lagi, kartu sehat pun akan dihentikan. Lalu pemiliknya secara bertahap akan dialihkan ke program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat semacam Askes milik pegawai negeri. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dokter Alex Papilaya, menilai program kartu sehat merupakan langkah yang sangat baik. Selain itu, katanya, yang juga penting adalah mengaktifkan tenaga medis di setiap puskesmas. Menurut Alex, seorang dokter sebaiknya turun mencari warga yang sakit, jangan hanya menunggu. Sebab kesadaran masyarakat pedesaan untuk berobat ke dokter masih rendah. Apalagi pergi ke dokter butuh biaya transpor yang tidak sedikit. Dan inilah satu kendala lagi yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen Kesehatan.Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini