KAMI menyampaikan rasa simpati terhadap musibah yang terjadi pada diri putri Anda, Andriani Theresa," begitu bunyi pembukaan surat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) IDI Wilayah Jakarta, kepada Harijadi, yang disampaikan dua pekan lalu. Ungkapan itu punya alasan kuat. Kisah sedih yang mendapat simpati itu memang pahit. Andriani, putri Harijadi berumur 18 bulan, 27 Januari lalu menjalani operasi mata -- glaucoma congenitale ODS. Operasi matanya berjalan baik, tapi pada pembiusan terjadi kecelakaan. Setelah dilarikan ke bagian gawat darurat RSCM, dari RS Mata Aini, tempat bocah itu menjalani operasi, berbagai kegawatan tampak. Kondisi Andriani merosot terus. Ia mengalami kerusakan otak (brain damage) hingga kesadarannya praktis hilang. Pada tanggal 4 Februari, ia kehilangan pula kakinya, diamputasi karena mengalami pembusukan. Persoalan kemudian menjadi panjang. Harijadi, sang ayah, melalui Pengacara O.C. Kaligis mengadukan masalah ini ke pengadilan. Sementara itu, MKEK IDI wilayah Jakarta memanggil berbagai pihak untuk meneliti persoalan itu. Setelah soal itu disidangkan sebuah tim khusus, IDI awal Juni mengeluarkan pendapat. Dalam laporannya, MKEK IDI wilayah Jakarta mengemukakan beberapa kemungkinan yang teoretis. Misalnya kemungkinan kejanggalan sirkulasi darah -- disebutkan gawat sirkulasi -- akibat refleks okulo-vagal. Refleks ini adalah tekanan tertentu pada saraf mata yang bisa menimbulkan kegawatan pada jantung -- atau berhenti sama sekali (cardiac arrest). Cardiac arrest, yang menimbulkan gawat sirkulasi, disinggung MKEK sebagai hal yang bisa menyebabkan gangguan sirkulasi otak. Keterangan MKEK ini, sayang, tanpa penjelasan khusus. Yang dimaksudkan, barangkali, tak lain bahwa gawat sirkulasi mengakibatkan tak sempurnanya distribusi oksigen ke otak. Dan bila otak tak mendapat suplai oksigen selama 3 menit, maka akan terjadi brain damage, kerusakan otak, yang tentunya melumpuhkan berbagai kegiatan saraf. Dan inilah yang agaknya terjadi pada Andriani. MKEK juga menyinggung isu yang sudah meluas du!uan, yaitu doktel aneslesi yahg menangam pembiusan keluar ruangan ketika pembedahan berlangsung. MKEK berpendapat, keluar ruangan operasi bukanlah kesalahan yang prinsipiil. Pada dasarnya, anestesiolog bisa atau boleh keluar untuk melakukan konsultasi, melayani pembedahan di ruang lain, dan keperluan lain. Namun MKEK berpendapat keluarnya anestesiolog dari ruang operasl terbilang normal, bila keadaan pasien terkontrol -- pasien dalam keadaan stabil dan ada alat pemantau jalannya anestesi. Di bagian lain, pendapat MKEK yang ditandatangani ketuanya, Prof. Dr. H. Marsidi Judono, itu seolah memberi peringatan pada anestesiolog yang menangani Andriani, agar menghindari melakukan anestesi di dua ruang bedah, dan "meninggalkan kamar bedah hanya pada rujukan gawat". Alhasil, pendapat MKEK tidak menyebutkan kasus itu sebagai suatu kesalahan praktek, tapi tidak pula menegaskannya sebagai suatu kecelakaan (hanya sebagai kemungkinan) yang kadang-kadang memang melujakall rislko doktcr yang mau tah mau harus ditempuh. Risiko yang harus ditanggung seorang anestesiolog sebenarnya memang sangat berat. Secara teoretis boleh dikatakan lebih berat dari umumnya dokter. Pada anestesiologi terdapat banyak "lubang" yang harus ditempuh secara spekulatif -- mau tidak mau. Misalnya, tak ada standar pasti dalam memberikan anestetika (media pembiusan). Dengan kata lain, memberikan terlalu sedikit salah, terlalu banyak akibatnya malah bisa fatal. Anestesiologi dalam beberapa hal masih misterius. Menurunnya kesadaran akibat terblokirnya membran sel-sel saraf, yang merupakan dasar anestesiologi, hingga kini belum bisa dibuktikan secara pasti. Semua pendapat terhitung teoretis. Di Amerika Serikat, risiko anestesiolog itu dilindungi undang-undang, yang dikenal sebagai Medico Legal Considerations -- bagian dari Undang-Undang Kedokteran. Maka, apa pun akibatnya, bila suatu kecelakaan terjadi akibat risiko yang memang tak bisa diperhitungkan, seorang anestesiolog tak bisa dituntut. Di Indonesia, perlindungan ini tentu tak ada. Jangankan ketentuan yang terinci ini, bahkan Undang-Undang Kedokteran, yang merupakan akar, hingga kini masih tersendat-sendat proses pengesahannya. Ini tentunya membuat berbagai hal di lingkungan pelayanan kesehatan menjadi parah. Namun, bahkan di Amerika Serikat, bila seorang dokter melakukan kesalahan praktek, misalnya akibat kecerobohan, tuntutan di pengadilan merupakan ancaman logis. Kesalahan praktek ini pula bagian pokok pada kasus Andriani. Apakah dokter anestesi yang menangani pembiusan dalam operasi matanya melakukan kesalahan praktek ? Dari laporan proses anestesi terhadap Andriani yang diberikan RS Mata Aini kepada MKEK terlihat tahaptahap awal anestesi berlangsung sangat wajar. Dalam anestesi dikenal tiga tahapan penting: tidur, hilang rasa sakit, dan relaksasi. Pada tahap tidur, pembedahan belum bisa dilakukan karena pasien walaupun sudah tidur masih bisa mengamuk ketika pisau bedah menyentuh tubuh. Pembedahan dilakukan setelah pasien mendapat anestetika yang menghilangkan rasa sakit. Pada hari ia menjalani operasi, pada pukul 07.05 Andriani mendapat anestetika halotan untuk proses peniduran. Media anestesi ini diperlukan untuk memperlambat detak jantung. Keadaan yang dikenal sebagai depresi miokardium ini bertujuan mengontrol aliran darah untuk memasukkan anestetika yang lain -- dalam proses selanjutnya. Setelah tidur, Andriani menjalani proses intubasi: Halotan yang dikurangi kadarnya bersama oksigen (O2) dan nitrogen (N02) -- keduanya dikenal sebagai Nitros Oxcyde dlmasukkan ke jalan napas dengan pipa orotrakea. Proses hilangnya rasa sakit mulai, dan Andriani dipersiapkan untuk menjalani operasi. Pukul 08.05 pembedahan dimulai. Pada pemantauan tercatat, jantung Andriani berdetak 132 kali per menit, dan frekuensi pernapasannya 28 kali per menit. Keadaan ini terhitung baik dan normal. Proses anestesi selanjutnya dikenal sebagai anestesi seimbang. Pada proses ini, berbagai kondisi dipantau untuk menjaga keadaan tak sadar pasien. Pemberian halotan, misalnya, dijaga agar tidak terlalu menurunkan detak jantung, tapi berada dalam keadaan imbang seperti yang dikehendaki. Juga berbahaya bila gas nitrogen terlalu banyak masuk. Dan yang paling berbahaya, bila pemberian oksigen terhenti dan porsinya digantikan nitrogen ini sama saja dengan meracuni pasien. Di masa kini terdapat berbagai alat untuk memantau keadaan pasien dan menjaga keseimbangan anestesi. Selain peralatan anestesi, digunakan juga misalnya elektrokardiograf, pemantau detak jantung. DALAM kasus Andriani, pada pemantauan proses anestesi seimbang ini tampak kejanggalan yang mungkin berhubungan dengan keluarnya anestesiolog dari ruang operasi. Pada pukul 08.30 frekuensi jantung turun menjadi 128. Kemungkinan besar akibat pemberian halotan yang tak terpantau. Dan turun terus, hingga pada pukul 08.50 frekuensi jantung mencapai 100, bahkan 86 pada pukul 08.55. Pada keadaan inilah kondisi Andriani tidak terpantau, sebab untuk anak 18 bulan, frekuensi jantung 100, apalagi 86, secara teoretis sudah terbilang janggal -- dan berbahaya. Lalu kegawatan terjadi. Pada pukul 09.00: napas terhenti dan terjadi bradikardi, menurunnya secara drastis detak jantung menjadi 34 kali per menit. Pada laporan proses anestesi RS Mata Aini tak dicantumkan keadaan tensi (tekanan) darah. Namun, bila terjadi pula penurunan tekanan, yang dikenal sebagai hipotensi, bisa dipastikan terjadi cardiac arrest dan defisit oksigen ke otak yang mengakibatkan: brain damage! Kemungkinan menolong tertutup. Padahal, dari awal kegawatan pukul 08.50 sampai 09.00 terdapat waktu 10 menit untuk mengatasi keadaan. Pertolongan toh diusahakan. Andriani kemudian mendapat anestetika penthothal dan oradexon, yang diberikan secara intravena (pembuluh ke jantung). Ini kemungkinan besar mengakibatkan kegawatan lain. Dalam risiko anestesiologi dikenal kesalahan praktek: penthothal -- yang disuntikkan atau diinfuskan di kaki -- tidak dimasukkan secara intravena melainkan intramuskuler (ke otot). Kesalahan ini mungkin saja terjadi karena kepanikan -- bukankah kondisi Andriani menggawat ketika itu ? Akibatnya, juga dikenal dalam anestesiologi, penthothal yang bersifat alkalis (sifat kimiawi) akan mengikis pembuluh darah dan pada akhirnya menimbulkan pembusukan bagian tubuh -- azab Andriani jadi lengkap, kakinya menjalani amputasi. Jim Supangkat, Laporan Agus Sigit (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini