PENSIUNAN DAN SINDEN Naskah: Heru Kesawa Murti Sutradara: Jujuk Prabowo Produksi: Teater Gandrik, Yogyakarta LAKON Pensiunan yang dipentaskan Teater Gandrik, pada hari pertama pertunjukan mereka di TIM, Rabu pekan lalu, ceritanya hanya bermain di depan loket Kas Negara. Tapi pertunjukan berhasil mengalir dengan encer, segar, dan kaya dan, seperti juga lakon Sinden yang dibawakan malam kedua atau terakhir, menunjukkan watak sebuah grup yang khas. Pada Pensiunan, cerita di adegan awal ketika pintu Kas Negara belum juga dibuka -- itu menjadi tak penting, dan tak runtut. Yang dipelihara hanya suasana bahwa semua tokoh itu orang-orang pensiunan, dengan persoalannya masing-masing. Ini memang khas dagelan Mataram di zaman Basio (almarhum) masih berjaya di Yogya. Kisah baru bergerak, ketika muncul sepasang pensiunan, Bu dan Pak Minggir. Bu Minggir baru saja dicopet di bis kota. Lalu, anak gadisnya, kecelakaan dua kali: dibuntingi lelaki tak bertanggung jawab dan ditabrak mobil, penabraknya lari. "Ah, bagaimana kejadiannya?" tanya pensiunan lain. Bu Minggir lantas bercerita -- dengan terisak-isak. Dan lampu tiba-tiba padam. Sebuah layar putih disorot dari belakang, memunculkan wayang kulit melakonkan tragedi itu, selama Bu Minggir menceritakan kisah anaknya. Adalah Rama Widji, tokoh lain, yang kemudian meramalkan siapa penabrak anak gadis Bu Minggir. Begitu tangan Bu Minggir dipegang-pegang, R.M. Lukarsarira serta-merta jadi gelisah -- dan semua pensiunan kemudian tahu, ningrat itulah penabraknya. Widji terus mengelus tangan Bu Minggir sampai tiba-tiba muncul istri Widji yang langsung menabraknya. Perempuan yang belakangan itu, begitu kisahnya, ternyata baru didatangi seorang gadis di rumahnya, yang mengaku dihamili peramal tua itu, alias Pak Widji. Dagelan Mataram ini lantas berbau Srimulat -- karena, ternyata, yang mendatangi Bu Widji itu anak gadis Bu Minggir. Pertengkaran menjadi seru. Lalu lampu padam, dan perang tanding itu berlanjut di kelir dengan wayang-wayang kulit, sampai tontonan selesai. Sepenuhnya pementasan sepanjang satu jam sepuluh menit ini bergaya dagelan Mataram, ketoprak, ludruk, srimulat, juga angguk. Setiap pemain keluar dengan menari diiringi musik, meniru gerak angguk. Di pentas tak ada pengarahan bloking, bahkan akting. Mengalir begitu saja. Dan itu memang agak berbeda dengan pementasan malam kedua, dengan lakon Sinden. Tetap dengan gaya teater tradisi, tetapi sudah dipatokkan sutradara. Gaya kerakyatannya -- gaya gampangan -- mulai mengendur. Dan, tiba-tiba, tempo permainan menjadi lamban, sementara cerita bukan lagi berupa sketsa-sketsa lepas. Semi, sinden tersohor, terlibat konflik dengan suaminya, Panjang, yang gemar adu ayam. Semi ingin populer sebagai seorang artis, padahal Panjang ingin perempuan ini diam di rumah mengasuh anak. Panjang mengalah: jadilah Semi sinden tersohor, yang dibina lurah setempat untuk kontes tingkat nasional. Perdebatan memang berpanjang-panjang, kadang dibumbui humor -- juga akting dan dialog model drama yang memang dikuasai baik oleh kedua pemain ini: Butet Kertadjasa dan Saptaria H. Pada saat secara total pertunjukan kehilangan bau tradisi, seorang pemain yang lagi duduk di pinggir arena nyeletuk keras, "Mas, ojo main teater, Iho!" Butet langsung mengarahkan permainannya ke dagelan. Keseriusan beberapa adegan -- sebelum diceletuki dari luar -- pada lakon ini sepenuhnya didukung tata panggung yang apik bikinan Rudjito. Ada tangga putih di kiri, yang memberi imaji menuju puncak langit. Dari sanalah para dewa turun -- pada merasa jenuh berada di kahyangan dan ingin mendatangkan seorang sinden dari marcapada. Adegan rapat para dewa, tentang peranan mereka dan kebutuhan mereka akan hiburan dari dunia, memang membuktikan para pemain Gandrik menguasai ABC bermain drama -- dan membuat orang lupa sejenak bahwa ini sebuah teater celetukan. Sinden pun diakhiri dengan tidak sekadar hiburan. Kegagalan Batara Narada membawa sinden ke kahyangan, karena kekukuhan Panjang, suami pesinden, memberi makna, kekuasaan ternyata tak bisa selalu berkuasa. Dan kekuasaan pada akhirnya mengalah: Dewa Yamadipati justru lebih senang kalau dijadikan manusia saja, akibat kegagalannya sebagai dewa. Sinden sendiri mengalami konflik batin -- antara karier dan urusan rumah tangga. Betapapun klisenya pesan ini, setidaknya mengusik, dibandingkan Pensiunan yang "habis" begitu saja. Pertunjukan dua malam itu, dengan dua cerita berbeda, menurut Butet berdasar permintaan Gandrik sendiri. "Supaya lebih banyak orang Jakarta tahu lakon-lakon kami," kata anak Bagong Kussudiardjo ini. Keduanya memang dikemas dalam semangat kembali ke teater tradisi -- bentuk yang kini populer, dan tidak cuma di Yogya. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini