TAHUN 1981, Noor W.A., jebolan Teater Alam Yogyakarta yang dipimpin Azwar A.N., diminta melatih para pemda di Kecamatan Pakualaman yang akan mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat yang diadakan Kanwil Departemen Penerangan DIY. Karena ini proyek mendadak, pemesan memberi syarat: jangan pakai dramaturgi yang ruwet, tak usah dengan aktor yang kuat, ceritanya yang mudah saja, penuh humor, dan ada pesan-pesan yang bisa langsung diterima penonton awam. "Nah, akhirnya saya menemukan bentuk teater yang mengacu pada teater rakyat, seperti taysban," kata Noor mengenang. Maka, lahirlah Teater Jeprik. Lewat lakon Wow, Begitu To. . ., teater ini memenangkan festival tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Lalu dibawa ke tingkat nasional, ternyata menang pula. Televisi pun menyiarkannya secara utuh. Lewat kemenangan yang tak terduga itu Teater Jeprik lalu menata diri dengan melibatkan pemain yang lebih jadi. Dan lakon kedua dikerjakan lebih serius: Pangkuan Pariyem, adaptasi novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G. Lakon ini pun disiarkan TVRI Stasiun Yogya, sehingga grup ini populer. "Kami sudah melanglang ke berbagai kota di Ja-Tim dan Ja-Teng. Pernah pentas di Pertamina, Cilacap, dengan honor Rp 1 juta lebih," cerita Noor. Tahun 1984, agaknya, ada selisih pendapat. Beberapa pemainnya keluar. Tetapi Jeprik tidak bubar. Yang keluar ini membentuk grup baru, Teater Gandrik, dan langsung ditunjuk mewakili DIY ke festival nasional. Walau Gandrik cuma juara II di festival itu (juara I Teater Mini dari Denpasar, yang mengemas tontonannya dengan cerita-cerita wayang Purwa), grup ini lebih banyak punya kesempatan muncul di TVRI Jakarta. Sejak berdiri sampai pementasannya di TIM pekan lalu, sudah enam cerita yang dimiliki. Empat disiarkan TVRI: Kontrangkantring, Meb, Kesandung, dan Pasar Seret Pensiunan sudah direkam TVRI Yogya dan akan disiarkan secara sentral oleh TVRI Pusat, sementara Sinden direkam langsung TVRI Pusat, Jumat pekan lalu. "Di televisi terjadi sedikit pemotongan," ujar Butet. Di mana letak Teater Gandrik dalam peta bumi tontonan yang merakyat ini? Semua pemain Gandrik uga penabuh gamelan. Perangkapan itu juga untuk beberapa peran, dengan cara mengubah kostum. Pemain yang tidak sedang dipentas, duduk di pinggir arena dan dilihat mata penonton -- dan dari sana mereka"menyumbang" celetukan. "Anggota Gandrik 'kan hanya sebelas orang, tapi kelihatan ramai," kata Heru Kesawa Murti, keponakan Bagong Kussudiardjo. Bedanya dengan teater rakyat seperti: angguk, ketoprak, dagelan ataram, sudah jelas: ada penataan panggung, penggarapan kostum, dan kesadaran pada tempo yang lebih padat. Tapi cuma itu. Terasa, bentuk yang dipakai Gandrik mengingatkan pada teater Rendra -- atau, persisnya, "bagian rakyat dari teater Rendra." Bedanya dengan Rendra-juga dengan Arifin, Putu, atau Sardono, yang merintis kembalinya teater ke tradisi yang ini betul-betul terasa berangkat "dari bawah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini