PARA ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
puluh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan." Entah
mengapa para ibu sekarang ini sudah ramai meninggalkan kebiasaan
yang dianjurkan Al Qur'an (surat Al Bayarah ayat 233) ini.
Karena godaan iklan susu buatan? Atau takut tubuh jadi tak
menarik. Yang jelas penggantian air susu ibu dengan susu buatan
kini mencemaskan para dokter. Ahli penyakit anak-anal terutama.
Dokter Samsudin, sekarang Ketua Umum IDI Pusat dan Jon E. Rohdc
(staf Rockefeller Foundation yang diperbantukan di Universitas
Gajah Mada) yang melakukan penelitian tahun 1973 dan 1974 telah
menemukan "kecenderungan penurunan kebiasaan menyusui bayi di
negeri ini." Sebelumnya Dr. Melly Tan dkk dari LEKNAS yang
melaksanakan penelitian di 5 daerah pedesaan pada 1969 mencatat
prosentase penyapihan bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 5%.
Tapi pada penelitian yang dibuat Djumadias dkk dari Direktorat
Gizi Depkes di 6 daerah pedesaan tahun 1973, angka itu melambung
16%.
Penyapihan yang terlalu awal, apalagi samasekali tidak
memberikan air susu ibu, dianggap sebagai sikap yang blsa
mengganggu pertumbuhan anak. Karena kekurangan gizi. Itulah
makanya dalam rangka Tahun nternasional Anak-anak yang jatuh
tahun 1979 ini, pemerintah mengkampanyekan penggalakan
penggunaan air susu ibu.
Departemen Kesehatan dan Departemen Penerangan memainkan
peranannya dengan bantuan para dokter-anak. Karena kecenderungan
memisahkan bayi dari susu ibu terutama berlangsung di kota-kota
dan kampung sekitar kita, kampanye diarahkan ke 11 kota Medan,
Padang, Jakarta, Bandung, S-marang, Yogyakarta, Surabaya,
Ujungpandang, Palembang, Pontianak dan Banjarmasin. Kota
dijadikan pelopor. Sebab "jika ibu-ibu terpelajar di kota sudah
ber-ASI, ini akan ditiru ibu-ibu muda di desa," kata dr
Moenginah Parmono Achmad, ahli penyakit anak di "gyakarta yang
ikut membantu kampanye di kotanya.
Di Jakarta, Kepala Bagian Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
dr W.A.F.J. Tumbelaka sejak awal September muncul di layar TVRI
dalam sebuah iklan yang menganjurkan para ibu untuk menggunakari
air susu mereka. "Bagaimana pun air susu ibu tetap yang
terbaik," katanya lewat layar. Sementara poster disebarkan ke
mana-mana. Koran termasuk yang dibujuk untuk ikut kamp'anye
dengan memasang iklan "kembali ke air susu ibu."
Terlalu encer. Itulah yang terutama mencemaskan mereka yang
menggnakan susu botol. Pengenceran ini bisa saja terjadi karena
kurang mengerti atau sikap mau menghemat.
Di Yogyakarta pernah dilakukan penelitian mengenai cara
mencampur susu buatan ini. Dari 53 sampel susu botol yang siap
diberikan (30 dari daerah perkotaan dan 23 dari pedesaan)
sepertiga menunjukkan pengenceran di bawah 50%, tapi
seperempatnya menunjukkan pengenceran 80-100%. Belum
lagidibicarakan soal kuman yang hinggap. Penelitian Yogyakarta
menunjukkan 78% sampel mengandung kuman yang tinggi (lebih dari
100.000/ml).
Kemungkinan kekurangan gizi karena salah campur itu tentu
mengakibatkan daya tahan yang rendah. Menurut catatan, frekwensi
infeksi bakteriil pada mereka 4 kali lebih banyak dibandingkan
bayi yang menyedot air susu ibunya. Daam kasus infeksi karena
jamur malahan sampai 6 kali lipat. Gigi mereka juga gampang
rusak.
Penyakit diare yang membunuh 600.000 dari 5 juta bayi saban
tahun di negeri ini menurut dokter ahli kesehatan anak
"sebenarnya bisa dicegah dengan pemberian air susu ibu.' Selain
mudah memberikannya, ASI mengandung zat-zat yang sangat berguna
untuk melindungi bayi terhadap serangan berbagai penyakit
infeksi: kekebalan yang tak bisa diberikan susu buatan. "Saya
orang kimia dan bisa membuat susu yang sama seperti susu ibu.
Tapi Tuhan tetap mempunyai rahasia-rahasia," tutur Mohamad
Saleh, manajer PT Sari Husada, produsen SGM dari Yogyakarta.
Kampanye penggunaan ASI ini tidak dianggap sebagai ancaman bagi
produsen susu buatan. Sebab sebagaimana dikatakan dr Tumbelaka
sendiri, ASI saja tidak cukup untuk menumbuhkan seorang anak
yang sehat. Setelah berusia 6 bulan ia membutuhkan makanan
tambahan.
Nah, masa membutuhkan makanan tambahan inilah yang akan
dimanfaatkan oleh para penghasil susu buatan. "Susu buatan yang
ada sebagai makanan tambahan sebenarnya sudah baik. Tapi bagi
para orang tua yang kurang mampu, baik pula kalau tersedia susu
buatan yang lebih murah," katanya.
Selain untuk makanan tambahan bayi, susu buatan tentu juga
sangat bermanfaat untuk para bayi yang ibunya sedang sakit atau,
meninggal. Juga untuk ibu-ibu yang air susunya tak bisa
mengalir. Tumbelaka sendiri tidak sampai berusia 6 bulan anaknya
yang pertama sudah harus dibantu dengan susu buatan. Soalnya
begitu melahirkan untuk pertama kali, Nyonya Tumbelaka membawa
anak kembar. Untuk meladeni si kembar tentu saja produksi air
susu sang Nyonya tak cukup. Waktu mereka menyusui juga digilir.
Daya Tarik
Sayang, di tengah kampanye yang nampaknya bakal gencar, iklan
susu buatan mengalir terus lewat saluran kampanye yang sama,
yaitu TVRI dan media cetak. Promosi kaum produsen yang terlanjur
dibiarkan lewat Puskesmas, seperti memberikan susu gratis selama
sebulan bagi ibu yang baru melahirkan, sekarang terasa sebagai
penghalang.
Namun panitia kampanye yang dipimpin dr R. Soebekti MPH,
Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes, tak
habis akal. Di antara semboyan yang dilontarkan antara lain
terdapat semacam jaminan bahwa menyusukan akan menghindari
kanker payudara. "Observasi terhadap ibu yang menyusui
membenarkan kata-kata tersebut. Ini bisa dihubungkan dengan
anggapan, kalau anggota tubuh digunakan sesuai dengan fungsinya
tentu akan mengurangi kemungkinan timbulnya penyakit," kata
Tumbelaka.
Terhadap mereka yang cemas kalaukalau daya tariknya luntur
lantaran menyusui, Tumbelaka menyangkal. Katanya, kalau dirawat
sesuai dengan petunjuk yang diberikan bidan atau dokter, tak ada
alasan untuk takut. "Kalau umur memang sudah tambah tentu saja
akan terjadi perobahan, tak perduli menyusui atau tidak." Ini
kata Nyonya Wiwied Irawan yang kelihatan tetap manis walaupun
sedang menetekkan puteranya yang kedua, berusia 4 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini