Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ponimin di tanah timbul

Penduduk desa muara, cilamaya, ja-bar yang berhasil memanfaatkan tanah dari endapan lumpur gunung tangkuban perahu, khawatir akan diusir petugas kehutanan, karena tanahnya akan dihutankan kembali. (ds)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Desa Muara gelisah. Mereka khawatir dilarang menggarap sawah yang selama ini menjadi sumber hidup. Muara terletak di Kecamatan Cilamaya, perbatasan Kabupaten Karawang dan Subang. Akhir Agustus lalu, sejumlah penduduk Desa Sedari yang bertetangga dengan Muara, diusir oleh petugas Kehutanan dengan alasan tanah garapan merka akan dihutankan kembali. Padahal sudah puluhan tahun mereka menggarapnya. Hampir semua petani Muara memang tak punya tanah. Tapi sejak 8 tahun lalu mereka berhasil memanfaatkan daratan yang nganggur menjadi sawah. Kisah "pendudukan" ini dimulai ketika beberapa tahun lalu Ponimim pulang kampung. Ia adalah pensiunan bintara TNI-AD. Ia kembali ke "induk pasukan "nya semula di Muara, yaitu sebagai petani. Seperti orang-orang di desanya, Ponimin juga tak punya tanah. Selama puluhan tahun, endapan lumpur dari Gunung Tangkuban Perahu telah mencetak daratan baru di muara Kali Cilamaya. Persis di utara Desa Muara. Penduduk lalu menyebutnya sebagai tanah timbul. Luas tanah timbul yang 100 ha itu, 1966 lalu dikonsesikan KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan) Purwakarta kepada sebuah perusahaan swasta. Maka dibentuklah usaha-bersama antara perusahaan itu dengan Yakehutanan (Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kehutanan), untuk membuat empang ikan. peternakan unggas dan penyulingan alkohol dari padi ketan yang akan ditanam di sana. Tak Pernah Dengar Setelah kerjasama berjalan sekitar dua tahun, entah kenapa macet. Kerjajama bubar. Karena itu, akhir 1971 KKPH Purwakarta pun mencabut hak pakai tanah hutan 100 ha tersebut. Sejak itulah Ponimin dan orang-orang Muara memanfaatkan tanah timbul yang nganggur itu. Sekitar 1971 mereka menggarap tanah timbul itu menjadi sawah baru. Dan berhasil. Tak kurang 176 kk lain di desanya mengikuti jejak sang bekas bintara Sampai kini mereka menggarap sawah 60 ha dengan penghasilan 2-5 ton gabah/ha semusim. Petani lain, yang berdwifungsi sebagai nelayan pesisir, tak mau ketinggalan Ada yang bikin empang baru dan berhasil pula. Musim hujan ditaburi bibit ikan, musim kemarau jadi tambak garam. Meski begitu mereka toh tak jadi kaya. Itu tak berarti para petani merasd "menggarap tanah secara liar". Sebab semacam upeti juga mereka bayar kepada oknum-oknum Kehutanan. Berikut membayar Ipeda. Yang menggarap sawah menyerahkan bagi hasil tak resmi sebanyak 20%, yang menambak garam pun menyerahkan semacam "sewa tahunan" - tergantung luas tambak. Ini sudah berlangsung sejak 1971. Merasa sebagai petani biasa, mereka juga patuh menanam pohon turi dan tandu di pekarangan rumah menyambut kampanye rakgantang Dinas Kehutanan Jawa Barat. Tapi sejak awal tahun lalu, mereka goncang. Ada kecenderungan buat merapikan kawasan hutan milik negara. Misalnya dengan melarang adanya areal pertanian di tengah kawasan Kehutanan. Tampaknya ini tindakan Dinas Kehutanan Jawa Barat yang sejak awal tahun lalu berubah statusnya jadi Perum Perhutani Unit III. Perintah angkat kaki buatorang Muara memang belum ada. Tapi mereka mulai ditakut-takuti oleh petugas Kehutanan dan Koramil. "Bahkan menanam pohon kelapa di pematang pun dilarang," kata seorang petani. Padahal pihak Kehutanan sendiri juga belum mulai menanam pohon apapun. Tidak mengadu kepada HKTI setempat? Kata mereka tak seorang pun pernah mendengar organisasi hasil fusi 16 ormas tani itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus