PENDUDUK Desa Muara gelisah. Mereka khawatir dilarang menggarap
sawah yang selama ini menjadi sumber hidup. Muara terletak di
Kecamatan Cilamaya, perbatasan Kabupaten Karawang dan Subang.
Akhir Agustus lalu, sejumlah penduduk Desa Sedari yang
bertetangga dengan Muara, diusir oleh petugas Kehutanan dengan
alasan tanah garapan merka akan dihutankan kembali. Padahal
sudah puluhan tahun mereka menggarapnya.
Hampir semua petani Muara memang tak punya tanah. Tapi sejak 8
tahun lalu mereka berhasil memanfaatkan daratan yang nganggur
menjadi sawah. Kisah "pendudukan" ini dimulai ketika beberapa
tahun lalu Ponimim pulang kampung. Ia adalah pensiunan bintara
TNI-AD. Ia kembali ke "induk pasukan "nya semula di Muara, yaitu
sebagai petani. Seperti orang-orang di desanya, Ponimin juga tak
punya tanah.
Selama puluhan tahun, endapan lumpur dari Gunung Tangkuban
Perahu telah mencetak daratan baru di muara Kali Cilamaya.
Persis di utara Desa Muara. Penduduk lalu menyebutnya sebagai
tanah timbul.
Luas tanah timbul yang 100 ha itu, 1966 lalu dikonsesikan KKPH
(Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan) Purwakarta kepada sebuah
perusahaan swasta. Maka dibentuklah usaha-bersama antara
perusahaan itu dengan Yakehutanan (Yayasan Kesejahteraan
Karyawan Kehutanan), untuk membuat empang ikan. peternakan
unggas dan penyulingan alkohol dari padi ketan yang akan ditanam
di sana.
Tak Pernah Dengar
Setelah kerjasama berjalan sekitar dua tahun, entah kenapa
macet. Kerjajama bubar. Karena itu, akhir 1971 KKPH Purwakarta
pun mencabut hak pakai tanah hutan 100 ha tersebut. Sejak itulah
Ponimin dan orang-orang Muara memanfaatkan tanah timbul yang
nganggur itu.
Sekitar 1971 mereka menggarap tanah timbul itu menjadi sawah
baru. Dan berhasil. Tak kurang 176 kk lain di desanya mengikuti
jejak sang bekas bintara Sampai kini mereka menggarap sawah 60
ha dengan penghasilan 2-5 ton gabah/ha semusim.
Petani lain, yang berdwifungsi sebagai nelayan pesisir, tak mau
ketinggalan Ada yang bikin empang baru dan berhasil pula. Musim
hujan ditaburi bibit ikan, musim kemarau jadi tambak garam.
Meski begitu mereka toh tak jadi kaya.
Itu tak berarti para petani merasd "menggarap tanah secara
liar". Sebab semacam upeti juga mereka bayar kepada oknum-oknum
Kehutanan. Berikut membayar Ipeda. Yang menggarap sawah
menyerahkan bagi hasil tak resmi sebanyak 20%, yang menambak
garam pun menyerahkan semacam "sewa tahunan" - tergantung luas
tambak. Ini sudah berlangsung sejak 1971.
Merasa sebagai petani biasa, mereka juga patuh menanam pohon
turi dan tandu di pekarangan rumah menyambut kampanye rakgantang
Dinas Kehutanan Jawa Barat.
Tapi sejak awal tahun lalu, mereka goncang. Ada kecenderungan
buat merapikan kawasan hutan milik negara. Misalnya dengan
melarang adanya areal pertanian di tengah kawasan Kehutanan.
Tampaknya ini tindakan Dinas Kehutanan Jawa Barat yang sejak
awal tahun lalu berubah statusnya jadi Perum Perhutani Unit III.
Perintah angkat kaki buatorang Muara memang belum ada. Tapi
mereka mulai ditakut-takuti oleh petugas Kehutanan dan Koramil.
"Bahkan menanam pohon kelapa di pematang pun dilarang," kata
seorang petani. Padahal pihak Kehutanan sendiri juga belum mulai
menanam pohon apapun.
Tidak mengadu kepada HKTI setempat? Kata mereka tak seorang pun
pernah mendengar organisasi hasil fusi 16 ormas tani itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini