SEORANG mahasiswa, sebut saja namanya dengan Denny, 25 tahun, pada suatu hari datang ke klinik Prof. Dr. Soejono Prawirohusodo, di daerah Pakualaman, Yogyakarta. Kepada guru besar Kedokteran Jiwa Universitas Gadjah Mada itu Denny mengeluh, piranti kelelakiannya tidak bisa ereksi. Padahal, menurut mahasiswa ini, sebelumnya ia merasa senjata kelelakiannya itu beres-beres saja. Buktinya, selama dua tahun ini, Denny bisa menikmati kegiatan seksnya melalui perempuan pelacur. Tetapi kelelakiannya itu dirasakannya ngadat ketika ia mencoba melakukan hubungan sebadan dengan istrinya, yang baru saja dinikahinya. "Saya selalu gagal ereksi, hingga aktivitasnya cepat selesai. Apakah saya benar impoten, Dok?" tanya Denny dalam suatu kesempatan berkonsultasi dengan Profesor Soejono. Menurut dokter jiwa itu, Denny menderita impotensi psikogenik. Yakni, ia tidak sanggup melakukan hubungan seksual secara normal karena tidak mampu mempertahankan ereksi sampai orgasme akibat gangguan kejiwaan. Rupanya, kejadian itu tidak dialami Denny sendiri. Dari 192 penderita impotensi yang berobat di klinik Soejono, sepanjang tahun 1990, ternyata 90% di antaranya menderita impotensi psikogenik. Hasil survei Soejono inilah yang antara lain disinggungnya dalam simposium impotensi psikogenik di Yogyakarta, Sabtu pekan lalu, di hadapan kalangan ahli kejiwaan yang hadir di Hotel Belmond. Penyebab utama impotensi psikogenik adalah kelainan psikologis akibat hambatan moral dan sosial, serta karena astenia atau kelelahan psikis. Impotensi psikogenik yang dialami orang muda biasanya karena kelainan psikologis yang diakibatkan hambatan moral dan sosial. Contohnya, Denny mengaku tak berdaya setiap ingin berhubungan dengan istrinya, karena dihantui rasa berdosa. Ia, yang selama ini getol bergaul dengan pelacur, ketika akan bersebadan dengan istrinya merasa takut, jangan-jangan akan menularkan penyakit kotor kepada sisi badannya itu. "Padahal, menurut dokter, saya ini sehat-sehat saja," cerita Denny kepada TEMPO. Sementara itu, penyebab utama impotensi psikogenik di kalangan mereka yang berumur di atas 50 tahun adalah karena konflik di kantor atau karena ada masalah dalam keluarganya, sehingga menimbulkan depresi alias kecemasan yang terus-menerus. Selain itu, penyebab impotensi pada mereka yang berusia tua yaitu karena adanya kesenjangan antara nafsu seksual yang masih tinggi dan potensi seksualnya yang telah turun -- atau inilah yang disebut astenia seksual. Persentase penderita impotensi psikogenik yang didapat Soejono itu termasuk tinggi. Sementara itu, di Amerika Serikat hanya 50% hingga 80% dari penderita impotensi yang mengalami impotensi psikogenik. "Tingginya persentase yang saya dapatkan itu karena sebagian besar penderita yang berobat adalah mahasiswa yang mengalami prohibisi (hambatan) moral," kata Soejono yang juga direktur Rumah Sakit Jiwa Puri Nirmala Yogyakarta itu. Pasiennya yang menderita impotensi psikogenik berusia 20 hingga 50 tahun, dan rata-rata di bawah 45 tahun. Untuk mengetahui penderita dari golongan mana, kepada mereka Soejono mengajukan lima pertanyaan: apakah dapat mengalami ereksi bila tidak merencanakan hubungan seks? Apakah sering ereksi waktu bangun tidur pagi? Apakah sering ereksi sewaktu malam hari setelah mengalami mimpi? Apakah bisa ereksi sewaktu melakukan onani? Apakah bisa ereksi sewaktu melakukan hubungan seks dengan pasangan lain yang bukan biasanya? Jika kelima pertanyaan itu dijawab "ya", mereka adalah penderita impotensi psikogenik, bukan impotensi somatik. Impotensi somatik adalah ketidakmampuan melakukan hubungan seksual karena penyakit atau akibat penggunaan obat. Misalnya obat hipertensi, keranjingan minum alkohol, atau penyakit diabetes dan faskuler (gangguan pembuluh darah). Pada dasarnya, konflik psikologis yang menimbulkan impotensi itu berhubungan dengan ketidakmampuan mengekspresikan impuls seksual karena takut, cemas, marah atau terjadi hambatan moral. Suasana yang tidak intim antara penderita dan keluarga, atau perasaan tidak dicintai, juga menjadi penyebab impotensi. Meskipun demikian, penyembuhan impotensi psikogenik itu, menurut Prof. Soejono, dapat dilakukan dengan psikoterapi dan penggunaan obat-obatan. Terapi psikologis, selain memerlukan waktu yang lama, juga tidak dijamin bisa sembuh 100%. Demikian pula dengan penggunaan obat, misalnya dengan obat antidepresi. Tentang impotensi psikogenik tidak bisa sembuh, ternyata Prof. Dr. Kusumanto Setyanegoro tidak sependapat. Menurut psikiater yang menjadi Ketua Yayasan Klinik Darmawangsa ini -- klinik terapi jiwa di Jakarta -- psikogenik bisa sembuh jika pasien tekun menjalani terapi jiwa. "Jika kesembuhannya tersendat-sendat, itu bisa terjadi karena dokter cuma memberi obat, bukan bicara," katanya kepada Sri Pudyastuti R. dari TEMPO. Ada empat faktor yang menyebabkan impotensi, yaitu jenis anxiety (takut), konflik (bentrok batin), frustrasi, dan stres. Lalu bagaimana keadaan ini bisa terjadi? "Sering, kemajuan zaman tidak diimbangi dengan kemajuan pribadi," kata Kusumanto. Maka, akibatnya impotensi itulah yang terjadi. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini