Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat dihebohkan dengan tragedi pembunuhan yang menimpa keluarga Fransiskus Xaverius Ong atau FX Ong di Palembang, Sumatera Selatan pada Rabu, 24 Oktober 2018. Korban tewas diketahui adalah satu keluarga yang terdiri dari empat orang, yakni sepasang suami istri beserta dua orang anak.
Baca juga: Terduga Pembunuh Jamal Khashoggi Tewas dalam Kecelakaan di Riyadh
Tragedi pembunuhan terjadi diduga karena adanya aksi bunuh diri yang dilakukan oleh kepala keluarga, yakni FX Ong. Dugaan itu menguat lantaran warga sekitar tidak mendengar suara ribut-ribut. Selain itu, didapati surat wasiat tulisan tangan yang berisikan: Aku sangat sudah lelah... Maafkan aku...
Fransiskus Xaverius Ong diduga telah membunuh istri dan kedua anaknya dengan cara menembak mereka menggunakan senjata api. Tak hanya itu, ia juga diduga menghabisi dua anjing peliharaannya. Setelah itu, barulah ia mengakhiri hidupnya dengan cara menembak dirinya sendiri.
Banyak yang bertanya-tanya, kenapa seorang anggota keluarga tega membunuh anggota keluarganya yang lain? Kenapa seorang suami tega membunuh istri dan anak-anaknya sendiri? Dan mengapa pula setelah itu pelaku juga mengakhiri hidupnya?
Seorang Psikolog Forensik di Amerika Serikat mempelajari kesehatan mental 153 pembunuh di wilayah tersebut. Hasilnya, dia menemukan bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap anggota keluarganya, yang disebut familycide atau uxoricide, memiliki profil psikologis yang sangat berbeda dari pembunuh yang membunuh orang asing.
Untuk penelitian ini, yang diterbitkan dalam Journal of Forensic Sciences, Dr Hanlon mewawancarai dan mengevaluasi 153 pembunuh selama lebih dari 1.500 jam. Para peserta penelitian adalah pria dan wanita yang dituduh atau dihukum karena pembunuhan tingkat pertama di Illinois, Missouri, Indiana, Colorado dan Arizona.
Studi ini menemukan pria yang melakukan pembunuhan terhadap anggota keluarganya melakukannya secara spontan, karena mereka diketahui memiliki penyakit mental yang lebih parah dari orang lain, terutama gangguan psikotik. Mereka juga cenderung memiliki keyakinan diri yang lebih sedikit, kurang cerdas dan memiliki lebih banyak kerusakan kognitif.
Dr Hanlon mengatakan pembunuhan mungkin dilakukan dalam pengaruh emosi atau melibatkan penggunaan obat-obatan atau alkohol, dan sering didorong oleh rasa cemburu atau dendam, demikian dilansir dari Daily Mail.
Selain itu, kepercayaan bahwa "keluarga tidak mungkin tega saling menyakiti" juga turut berperan mengapa pembunuhan anggota keluarga bisa terjadi. "Pikiran seperti 'anak saya tidak akan pernah menyakiti saya' atau 'suami saya mungkin emosional, tetapi dia tidak akan pernah menyakiti saya', bisa saja salah," kata Dr Hanlon.
Sementara itu, dilansir dari Newsweek, para pelaku pembunuh anggota keluarganya sendiri disebut sebagai Family Annihilators atau pemusnah keluarga. Orang-orang ini, yang mana mayoritas laki-laki, memiliki kebutuhan kontrol yang sangat besar yang mendorong mereka untuk menghancurkan keluarganya, terutama ketika mereka percaya tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan finansial keluarganya, atau ketika keluarga telah pecah akibat perceraian.
Menurut Jack Levin, Profesor Ilmu Sosiologi dan Kriminologi di Northeastern University yang sekaligus juga penulis dari buku Serial Killers and Sadistic Murderers: Up Close and Personal, pelaku family annihilator biasanya adalah suami atau ayah yang membunuh anggota keluarganya, bukan hanya istrinya atau salah satu anaknya saja, tetapi setiap anggota keluarganya.
Biasanya motifnya adalah balas dendam atau altruisme yang dipicu oleh perceraian atau masalah ekonomi. Orang-orang cenderung berpikir bahwa mereka aman bersama orang terkasih seperti keluarga, tetapi jumlah terbesar pembunuhan massal justru ada di dalam keluarga.
Pembunuh percaya bahwa istri bertanggung jawab atas kehancuran keluarga. Anak-anak turut dibunuh karena suami percaya bahwa istri bersalah sehingga ia membunuh setiap orang yang terhubung dengan istrinya.
Yang mengejutkan adalah bahwa pembunuhan dilakukannya dalam kondisi kejiwaan dan mental yang sehat, tapi sedang terpengaruh pemikiran yang sesat. Pembunuh bermaksud untuk mengakhiri hidupnya sendiri, tapi pertama-tama dia akan memastikan anggota keluarganya sudah dimusnahkan lebih dulu. Dia merasa tidak bisa meninggalkan anak-anaknya. Dia tidak ingin mereka menderita karena tindakannya itu.
PARLIZA HENDRAWAN | DAILYMAIL | NEWSWEEK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini