Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedi Ardila, karyawan swasta, tak berani bermimpi punya rumah sendiri. Gajinya cuma cukup untuk menafkahi keluarga kecil, orang tua, serta adik istrinya--semua tinggal satu rumah bersama. Pria 28 tahun ini seharusnya menjadi bagian dari generasi yang menyumbang kebangkitan ekonomi Indonesia. Kenyataannya, dia, bersama jutaan pekerja lainnya, harus bekerja banting tulang hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cita-cita meraih bonus demografi muncul pada 2012 di Indonesia. Antara 2012 dan 2040, rasio ketergantungan Indonesia bisa di bawah 50. Artinya, setiap 100 orang bekerja hanya menafkahi kurang dari 50 orang tak bekerja, baik kelompok lanjut usia maupun anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besarnya porsi kelompok usia produktif ini tak lepas dari program Keluarga Berencana. Pemerintah, lewat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sukses menurunkan angka kelahiran dari 5,6 pada 1971 menjadi 2,3 anak per perempuan pada 2020.
Dengan sedikitnya anak di keluarga, kesejahteraan keluarga Indonesia terus meningkat. Penghasilan bisa ditabung untuk hari tua atau kejadian tak terduga. Perempuan jadi punya lebih banyak waktu untuk berpartisipasi di pasar tenaga kerja.
Dengan pendapatan yang lebih tinggi, keluarga memiliki kemampuan berinvestasi yang lebih tinggi untuk anak-anak mereka, menyokong anak untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. Dalam jangka panjang, pembangunan manusia Indonesia terus membaik dan berdampak pada penambahan produktivitas, penguatan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Kondisi inilah yang dikenal sebagai bonus demografi.
Kenyataannya, banyak anak muda Indonesia urung termasuk dalam kelompok yang kesejahteraannya meningkat tersebut karena posisinya yang terjepit. Ibarat roti lapis (sandwich), kelas pekerja ini terimpit oleh kelompok tua di atas dan kelompok anak-anak di bawah. Keduanya menjadi tanggung jawab mereka. Di Indonesia, generasi sandwich tak hanya terimpit orang tua dan anak, tapi juga keluarga besar, yang biasanya tinggal dalam satu rumah.
Lahir antara 1964 dan 1998, hampir 30 persen dari generasi sandwich di Indonesia tak hanya bekerja, tapi juga mengurus rumah tangga. Setiap anggota generasi ini bertanggung jawab atas tiga sampai empat anggota keluarga. Bahkan satu di antara enam dari mereka harus menghidupi lebih dari enam orang dalam keluarga.
Survei Ekonomi Nasional pada Maret 2022 menyatakan 8,4 juta warga Indonesia termasuk generasi sandwich. Sebanyak 17 persen di antaranya tergolong masyarakat miskin, sehingga beban mereka jadi berkali lipat. Sementara itu, 15 persen dari generasi ini putus sekolah di usia 15 tahun atau lebih muda.
Ilustrasi pekerja muda. Pexels
Kebanyakan orang Indonesia menempatkan keluarga sebagai prioritas hidup (family-oriented) dan tak bisa lepas dari keluarga besar mereka. Beban berganda untuk menafkahi banyak orang ini berdampak panjang, tak cuma bagi anggota generasi sandwich, tapi juga pembangunan nasional. Dengan begitu banyaknya mulut yang harus disuapi, mereka hanya bisa membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan primer dan tak berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi.
Di samping beban emosional, menafkahi keluarga besar mengurangi kemampuan menabung. Saat anggota generasi sandwich memasuki usia pensiun, mereka tak punya kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Ujung-ujungnya, mereka harus bergantung pada anak-anaknya atau pada pemerintah. Kondisi ini makin menghambat pertumbuhan ekonomi.
Generasi sandwich juga harus mengalokasikan waktu mereka yang terbatas untuk mengasuh anak dan orang tua. Hal ini menurunkan produktivitas dan pengembangan diri, sembari mengurangi dana dan waktu untuk pendidikan, kesehatan, dan nutrisi.
Pada 2022, populasi Indonesia mencapai 274,8 juta dan 7,3 persen di antaranya orang lanjut usia. Pada 2045, angka itu diperkirakan melejit menjadi 318,9 juta dan 14,1 persennya orang lansia. Peningkatan jumlah lansia menjadikan Indonesia sebagai masyarakat yang menua (ageing society).
Indonesia perlu melakukan tindakan konkret agar bonus demografi terwujud dan mengkonversinya menjadi bonus kesejahteraan. Angkatan kerja yang saat ini melimpah harus terserap dalam pasar tenaga kerja, dengan produktivitas tinggi. Dengan demikian, mereka memperoleh penghasilan yang layak, menabung, dan membayar pajak.
Generasi sandwich ini butuh atensi khusus. Pemerintah dapat mengurangi beban mereka dengan mengkategorikan mereka sebagai kelompok rawan. Beban mereka dapat berkurang jika memiliki tabungan dan gaya hidup yang sehat. Jika kaya dan sehat saat pensiun, mereka dapat memenuhi kebutuhan hari tua dari tabungan.
Sebaliknya, jika gagal mengkonversi bonus demografi jadi bonus kesejahteraan, pasca-2040 Indonesia akan menghadapi ledakan generasi sandwich.
Pandemi dan krisis global memang merupakan masalah nyata di depan mata. Namun Indonesia masih punya 17 tahun untuk memetik buah manis demografi. Berbagai upaya perlu dilakukan segera, supaya tidak terjadi ledakan generasi sandwich saat Indonesia merayakan seabad kemerdekaannya pada 2045. Setidaknya, anak Dedi Ardila tak perlu merasakan penderitaan ayahnya.
---
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di 360 Info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo