Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ketukan di rumah Rajo Intan

Sekilas suka duka orang yang bekerja memandikan mayat. mulai dari rajo intan di padang h. aisyah thahir, ujung pandang badoeaseng di jakarta, serta mohammad ali di aceh besar. (sd)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP kali pintu rumah di belakang SD 80 Padang itu diketuk orang, Rajo Intan muncul dan langsung bertanya: "Siapa yang meninggal?" Maka dia pun beristigfar, sambil mengerenyitkan kening membuat mimik sedih. Pertanyaan basa-basi juga menyusul: sakit apa, sudah berapa lama -- atau sebangsa itu. Tapi ketukan pintu disertai berita kematian itu, berarti pula rezeki Rajo Intan telah di ambang pintu. Sebab sebagai pemandi mayat, hari itu ia akan sibuk. Dan untuk kerja ini, ia akan mendapat imbalan uang sekedarnya. Lebih dari 300 mayat sudah dijamah Rajo Intan sejak 10 tahun lalu. Dan namanya pun sudah cukup terkenal di sebagian penduduk Kota Padang. Menurut dia, profesi itu memerlukan ilmu, keberanian dan ketabahan melawan rasa jijik. Sebab, tidak selamanya mayat yang dirawat dalam keadaan segar. Ada yang rapuh karena sakit cacar. Yang mengidap penyakit kencing manis atau sakit kuning dengan perut gembung. Semua itu harus diurut untuk mengeluarkan kotorannya. Baunya bukan main. Apalagi mayat yang telah terbenam di dalam air beberapa hari. Untuk mengusir bau, Rajo Intan biasa membakar setanggi kemenyan India atau menyiraminya dengan air mawar. Alhamdulillah, sampai sekarang ia tidak punya halangan apa-apa dalam memikul profesinya. Keluarganya pun baik-baik saja. Tak pernah diganggu oleh mimpi buruk, hantu atau kejadian-kejadian aneh. "Cuma, kalau saya ragu-ragu menghadapi mayat itu, setelah dikuburkan biasanya badan terasa panas-panas atau bisa juga demam," kata Rajo Inun. Tidak Komersial la juga mengaku tidak pernah mengkomersialkan keahliannya. Artinya tidak pernah minta bayaran. Kalau ada di antara keluarga yang bersangkutan memberi sedekah, paling banter ia menerima Rp 1000. Kalau keluarga si mati termasuk tidak mampu, Rajo malahan langsung mengembalikan uang itu. "Saya mesti tunjukkan bahwa saya ikhlas yang penting saya dihargai," ucapnya. Ia pun tetap sabar, meski pemah mendapat pengalaman pahit: ditinggalkan begitu saja setelah selesai upacara pemakaman. Padahal ketika diperlukan dijemput dengan mobil. "Saya pernah jalan kaki pulang dari pekuburan Tunggul Hitam, 6 kilometer dari sini," kata Rajo Intan mengenang pengalamannya. Lain waktu, ia dijemput pagi-pagi. Tapi karena menunggu anggota keluarga sampai lengkap, malam hari mayat baru dimandikan. "Saya menunggu tanpa makan apa-apa," kata Rajo Intan setengah bergurau "mana ada orang yang makan di situ, semuanya menangis -- tapi itu risiko." Sehari-hari Rajo Intan, 43 tahun, adalah penjaga SD 80 di Kampung Belakang Tangsi, Kota Padang. Gajinya Rp 40 ribu sebagai pegawai negeri golongan IB. Tinggal di sebuah gubuk reyot dan menyuapi hidup 7 orang anak. "Saya menghuni gubuk ini, karena rumah penjaga sekolah yang sudah lama dijanjikan belum juga terwujud," tutur Rajo Intan setengah mengadu. H. Aisyah Thahir, 64 tahun, di Jl. Ankang Ujungpandang, juga dikenal sebagai tukang memandikan mayat. Wanita yang juga menjadi Ketua Umum Wanita NU Sul-Sel ini hampir uk pernah beristirahat. Setiap hari, kalau bukan diminta memandikan mayat, ia mengasuh anak yatim, mengajar, memberi berkat, mengobati orang, merestui pernikahan dan sebagainya. Ia dianggap mewarisi kesaktian almarhum ayahnya, K.H.M. Thahir, seorang ulama terkenal di Mamasa, Sulawesi Selatan. H. Aisyah tak pernah menerima bayaran untuk jasa memandikan mayat. Tak kurang dari 167 jenazah yang sudah dibersihkannya. "Tapi semuanya masih ada hubungan keluarga," katanya menjelaskan. Ia bergelut dengan mayat sejak berusia 17 tahun, atas anjuran ayahnya. "Saya tak takut, malah merasa bangga sebab bisa beramal. Suatu waktu nanti pasti saya akan dimandikan juga," ujarnya. Ke-7 saudara kandungnya juga dikenal sebagai pemandi mayat. Pekerjaan itu telah menimbulkan kepekaan tertentu pada dirinya. Kalau ada yang akan meninggal dan menyangkut jasanya sebagai pemandi mayat, H. Aisyah sering mendapat tanda-tanda terlebih dulu. Misalnya, pada suatu hari semestinya ia ke kampung Lapeo untuk menghadiri 5 buah pernikahan. Tapi fitasat akan ada kematian datang. Langsung keberangkatan ke Lapeo ia tunda. Betul saja. Undangan segera datang untuk memandikan jenazah. "Memang repot kalau ada undangan yang bersamaan waktunya. Sehingga saya hanya melihat situasi, mana yang perlu didatangi lebih dulu," ujarnya. "Tapi juga biasa ada komando dalam hati: kau harus datangi si Anu lebih dulu." Tak sedikit pula orang yang meninggalkan wasiat: minta agar mayatnya nanti dimandikan Aisyah. Waktu terjadi musibah kapal Tampomas II, Aisyah cukup repot. Di samping memandikan mayat, ia juga harus melayani orang yang ingin tahu nasib keluarganya. "Empat orang di antara sembilan orang korban Tampomas yang saya lihat nasibnya, ternyata selamat-terdampar di Pulau Doang-Doangan dan Cirebon -- yang lainnya hanya mayat yang kembali atau hilang," tuturnya. Biasanya ia meramal setelah bersembahyang tengah malam. Di Jakarta seorang bernama Badoeaseng, 56 tahun, mengaku paling sedikit memandikan 40 mayat dalam sebulan. Sebagian besar mayat orang, keturunan Cina. Lelaki kelahiran Senjae, Sulawesi Selatan ini, tak sanggup bekerja sendirian. Ia dibantu oleh seorang rekannya. Badoeaseng dengan tubuh dan tangan yang masih kekar serta kepala sedikit uban, biasa bekerja dengan seragam putih-putih. Mirip pakaian petugas laboratorium, meskipun sedikit lusuh, berbau, plus bercak-bercak darah. Ia selalu mulai dengan membuka pakaian yang bersangkutan. Kalau mayatnya wanita, kadang ia minta bantuan keluarga ikut campur. Untuk jenis ini ia punya pantangan. Bagian kemaluannya harus ditutupi handuk. "Tidak boleh melihat . . . ah, karena tidak enak saja," ujarnya. Memandikan mayat orang keturunan Cina harus siap dengan arak putih 2 botol serta beberapa handuk putih kecil. Arak untuk melemaskan anggota tubuh ketika memakaikan pakaian baru kepada si mati. Sedangkan handuk untuk menggosok tubuh mayat. Badoeaseng sering mendapati mayat yang mulutnya tidak mau tertutup. Ia segera merapatkannya dengan mengikatkan kain putih pada Janggut hingga Kepala. Kalau mata si mayat terus melotot, Badoeaseng biasanya berbisik, "Engkoh harap merelakan semuanya, jangan pikir-pikir lagi mereka yang masih hidup." Sambil berkata begitu, tangannya mencoba mengatupkan kedua mata mayat tadi. Pemberitahuan Setelah mayat selesai dimandikan, pakaian terbaik almarhum kemudian dikenakan. Jas lengkap dengan dasi. Bagi ' mayat wanita tak ketinggalan bedak, lipstik serta eye shadow. Alisnya juga ditebalkan dengan pensil alis. Kaus kaki dan sepatu juga tidak boleh ketinggalan. Begitu pula, sebutir mutiara palsu dimasukkan ke mulut mayat -- maksudnya agar yang bersangkutan lemah-lembut tutur bahasanya bila nanti reinkarnasi. Badoeaseng, ayah dari 4 orang anak ini, pernah mengalami peristiwa yang menggetarkan. Pada suatu malam sekitar pukul 2, di kamar jenazah RS Husada, Jakarta, tempatnya bekerja, lampu padam. Kebetulan di situ sedang tak ada mayat. Badoeaseng pun mengunci seluruh jendela dan pintu. Bersama dua temannya ia tidur di halaman gedung. Tiba-tiba terdengar bunyi keras, bagai angin kencang menghantam sesuatu. Aseng mendekati suara itu. Tapi bunyi tadi segera menghilang. Karena penasaran Aseng membangunkan teman-temannya. Tak seorang pun peduli. Terdengar pintu bergedebuk. Beberapa menit kemudian telepon berdering, memberitahukan: akan ada mayat diangkut ke ruang penitipan jenazah. "Rupanya suara tadi merupakan pemberitahuan kepada kami," kata Aseng. Menurut keterangannya, kejadian seperti itu akan berulang, kalau ruang jenazah itu kosong. Aseng adalah pegawai rumah sakit Husada. Gajinya Rp 23 ribu, plus uang beras Rp 5.500. Kadangkala ia mendapat uang tambahan karena dapat panggilan memandikan jenazah di luar. "Tapi itu hanya uang wisit, sedekah," ujarnya. Karenanya jumlah penghasilan tambahan itu setiap bulan tak tentu. Rata-rata ia kebagian 2 mayat. Tarifnya Rp 15 ribu tiap mayat. Orang Mabuk Aseng memandikan mayat dalam waktu 60 menit. Setelah itu ia mencuci bersih tangannya dengan sabun wangi. Tak ada kesan apa-apa. Jiwa tetap tenteram. Efek pekerjaan itu pada kehidupan pun tak ada. Rekannya, Sarwani (38 tahun), setelah 6 tahun bekerja, pernah ketakutan. Suatu ketika ia mendengar suara keras di ruang mayat. Ketika didekati suara-suara itu tambah keras. Lalu tiba-tiba dari pintu keluar sesosok tubuh berjalan gontai mendekatinya. "Waduh, apa yang mati bangun lagi?" tanyanya dalam hati. "Siapa kamu?" sapa Sarwani. Tahu-tahu sosok itu menjawab. "Saya, pak." Segala yang menakutkan jadi lenyap. Rupanya orang itu si pemabuk yang kesasar. Di Aceh pekerjaan memandikan mayat dirangkap oleh pimpinan surau, imeum meunasah sebutannya "Pekerjaan itu sudah jadi tradisi kami sejak dulu," kata Mohamad Ali,' 64 tahun, pemandi mayat dari Desa Pantee Riek Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Ia telah memangku jabatan modin selama 40 tahun dan mengaku telah memandikan sekitar 1000 mayat. "Saya telah siap mental untuk melaksanakan pekerjaan mulia ini," ungkapnya. Pertama kali memandikan mayat yang telah rusak, baunya mengganggu selera makan Ali selama berminggu-minggu. Ia tersiksa dan tak bisa tidur. Ini terjadi hingga tahun kedua pada karirnya sebagai modin. Puluhan ayat Qur'an dihafalnya di luar kepala untuk menenteramkan jiwanya. Hasilnya, kemudian ia menganggap tugasnya sebagai pekerjaan biasa, tanpa kesan khusus. Ali seorang petani biasa. Andalannya hanya pengetahuan agama dan kejujuran. Menurut Ali, setiap orang akan menemukan kesadaran bila melihat mayat. Anak lelakinya sempat menjadi pemuda berandalan. Ketika salah seorang kerabatnya meninggal, ia ajak anak itu ikut memandikan. Setelah upacara itu selesai, ternyata anaknya sadar. "Memang besar ajaran yang kita peroleh dari melihat jasad manusia yang nyawanya sudah dicabut Allah," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus