TIAP kali pintu rumah di belakang SD 80 Padang itu diketuk
orang, Rajo Intan muncul dan langsung bertanya: "Siapa yang
meninggal?" Maka dia pun beristigfar, sambil mengerenyitkan
kening membuat mimik sedih. Pertanyaan basa-basi juga menyusul:
sakit apa, sudah berapa lama -- atau sebangsa itu.
Tapi ketukan pintu disertai berita kematian itu, berarti pula
rezeki Rajo Intan telah di ambang pintu. Sebab sebagai pemandi
mayat, hari itu ia akan sibuk. Dan untuk kerja ini, ia akan
mendapat imbalan uang sekedarnya.
Lebih dari 300 mayat sudah dijamah Rajo Intan sejak 10 tahun
lalu. Dan namanya pun sudah cukup terkenal di sebagian penduduk
Kota Padang. Menurut dia, profesi itu memerlukan ilmu,
keberanian dan ketabahan melawan rasa jijik. Sebab, tidak
selamanya mayat yang dirawat dalam keadaan segar. Ada yang rapuh
karena sakit cacar. Yang mengidap penyakit kencing manis atau
sakit kuning dengan perut gembung. Semua itu harus diurut untuk
mengeluarkan kotorannya. Baunya bukan main. Apalagi mayat yang
telah terbenam di dalam air beberapa hari.
Untuk mengusir bau, Rajo Intan biasa membakar setanggi kemenyan
India atau menyiraminya dengan air mawar. Alhamdulillah, sampai
sekarang ia tidak punya halangan apa-apa dalam memikul
profesinya. Keluarganya pun baik-baik saja. Tak pernah diganggu
oleh mimpi buruk, hantu atau kejadian-kejadian aneh. "Cuma,
kalau saya ragu-ragu menghadapi mayat itu, setelah dikuburkan
biasanya badan terasa panas-panas atau bisa juga demam," kata
Rajo Inun.
Tidak Komersial
la juga mengaku tidak pernah mengkomersialkan keahliannya.
Artinya tidak pernah minta bayaran. Kalau ada di antara keluarga
yang bersangkutan memberi sedekah, paling banter ia menerima Rp
1000. Kalau keluarga si mati termasuk tidak mampu, Rajo malahan
langsung mengembalikan uang itu. "Saya mesti tunjukkan bahwa
saya ikhlas yang penting saya dihargai," ucapnya.
Ia pun tetap sabar, meski pemah mendapat pengalaman pahit:
ditinggalkan begitu saja setelah selesai upacara pemakaman.
Padahal ketika diperlukan dijemput dengan mobil. "Saya pernah
jalan kaki pulang dari pekuburan Tunggul Hitam, 6 kilometer dari
sini," kata Rajo Intan mengenang pengalamannya.
Lain waktu, ia dijemput pagi-pagi. Tapi karena menunggu anggota
keluarga sampai lengkap, malam hari mayat baru dimandikan. "Saya
menunggu tanpa makan apa-apa," kata Rajo Intan setengah
bergurau "mana ada orang yang makan di situ, semuanya menangis
-- tapi itu risiko."
Sehari-hari Rajo Intan, 43 tahun, adalah penjaga SD 80 di
Kampung Belakang Tangsi, Kota Padang. Gajinya Rp 40 ribu sebagai
pegawai negeri golongan IB. Tinggal di sebuah gubuk reyot dan
menyuapi hidup 7 orang anak. "Saya menghuni gubuk ini, karena
rumah penjaga sekolah yang sudah lama dijanjikan belum juga
terwujud," tutur Rajo Intan setengah mengadu.
H. Aisyah Thahir, 64 tahun, di Jl. Ankang Ujungpandang, juga
dikenal sebagai tukang memandikan mayat. Wanita yang juga
menjadi Ketua Umum Wanita NU Sul-Sel ini hampir uk pernah
beristirahat. Setiap hari, kalau bukan diminta memandikan mayat,
ia mengasuh anak yatim, mengajar, memberi berkat, mengobati
orang, merestui pernikahan dan sebagainya. Ia dianggap mewarisi
kesaktian almarhum ayahnya, K.H.M. Thahir, seorang ulama
terkenal di Mamasa, Sulawesi Selatan.
H. Aisyah tak pernah menerima bayaran untuk jasa memandikan
mayat. Tak kurang dari 167 jenazah yang sudah dibersihkannya.
"Tapi semuanya masih ada hubungan keluarga," katanya
menjelaskan. Ia bergelut dengan mayat sejak berusia 17 tahun,
atas anjuran ayahnya. "Saya tak takut, malah merasa bangga sebab
bisa beramal. Suatu waktu nanti pasti saya akan dimandikan
juga," ujarnya. Ke-7 saudara kandungnya juga dikenal sebagai
pemandi mayat.
Pekerjaan itu telah menimbulkan kepekaan tertentu pada dirinya.
Kalau ada yang akan meninggal dan menyangkut jasanya sebagai
pemandi mayat, H. Aisyah sering mendapat tanda-tanda terlebih
dulu. Misalnya, pada suatu hari semestinya ia ke kampung Lapeo
untuk menghadiri 5 buah pernikahan. Tapi fitasat akan ada
kematian datang. Langsung keberangkatan ke Lapeo ia tunda. Betul
saja. Undangan segera datang untuk memandikan jenazah.
"Memang repot kalau ada undangan yang bersamaan waktunya.
Sehingga saya hanya melihat situasi, mana yang perlu didatangi
lebih dulu," ujarnya. "Tapi juga biasa ada komando dalam hati:
kau harus datangi si Anu lebih dulu." Tak sedikit pula orang
yang meninggalkan wasiat: minta agar mayatnya nanti dimandikan
Aisyah.
Waktu terjadi musibah kapal Tampomas II, Aisyah cukup repot. Di
samping memandikan mayat, ia juga harus melayani orang yang
ingin tahu nasib keluarganya. "Empat orang di antara sembilan
orang korban Tampomas yang saya lihat nasibnya, ternyata
selamat-terdampar di Pulau Doang-Doangan dan Cirebon -- yang
lainnya hanya mayat yang kembali atau hilang," tuturnya.
Biasanya ia meramal setelah bersembahyang tengah malam.
Di Jakarta seorang bernama Badoeaseng, 56 tahun, mengaku
paling sedikit memandikan 40 mayat dalam sebulan. Sebagian
besar mayat orang, keturunan Cina. Lelaki kelahiran Senjae,
Sulawesi Selatan ini, tak sanggup bekerja sendirian. Ia dibantu
oleh seorang rekannya.
Badoeaseng dengan tubuh dan tangan yang masih kekar serta kepala
sedikit uban, biasa bekerja dengan seragam putih-putih. Mirip
pakaian petugas laboratorium, meskipun sedikit lusuh, berbau,
plus bercak-bercak darah. Ia selalu mulai dengan membuka pakaian
yang bersangkutan. Kalau mayatnya wanita, kadang ia minta
bantuan keluarga ikut campur. Untuk jenis ini ia punya
pantangan. Bagian kemaluannya harus ditutupi handuk. "Tidak
boleh melihat . . . ah, karena tidak enak saja," ujarnya.
Memandikan mayat orang keturunan Cina harus siap dengan arak
putih 2 botol serta beberapa handuk putih kecil. Arak untuk
melemaskan anggota tubuh ketika memakaikan pakaian baru kepada
si mati. Sedangkan handuk untuk menggosok tubuh mayat.
Badoeaseng sering mendapati mayat yang mulutnya tidak mau
tertutup. Ia segera merapatkannya dengan mengikatkan kain putih
pada Janggut hingga Kepala. Kalau mata si mayat terus melotot,
Badoeaseng biasanya berbisik, "Engkoh harap merelakan semuanya,
jangan pikir-pikir lagi mereka yang masih hidup." Sambil berkata
begitu, tangannya mencoba mengatupkan kedua mata mayat tadi.
Pemberitahuan
Setelah mayat selesai dimandikan, pakaian terbaik almarhum
kemudian dikenakan. Jas lengkap dengan dasi. Bagi ' mayat wanita
tak ketinggalan bedak, lipstik serta eye shadow. Alisnya juga
ditebalkan dengan pensil alis. Kaus kaki dan sepatu juga tidak
boleh ketinggalan. Begitu pula, sebutir mutiara palsu dimasukkan
ke mulut mayat -- maksudnya agar yang bersangkutan lemah-lembut
tutur bahasanya bila nanti reinkarnasi.
Badoeaseng, ayah dari 4 orang anak ini, pernah mengalami
peristiwa yang menggetarkan. Pada suatu malam sekitar pukul 2,
di kamar jenazah RS Husada, Jakarta, tempatnya bekerja, lampu
padam. Kebetulan di situ sedang tak ada mayat. Badoeaseng pun
mengunci seluruh jendela dan pintu. Bersama dua temannya ia
tidur di halaman gedung. Tiba-tiba terdengar bunyi keras, bagai
angin kencang menghantam sesuatu. Aseng mendekati suara itu.
Tapi bunyi tadi segera menghilang.
Karena penasaran Aseng membangunkan teman-temannya. Tak seorang
pun peduli. Terdengar pintu bergedebuk. Beberapa menit kemudian
telepon berdering, memberitahukan: akan ada mayat diangkut ke
ruang penitipan jenazah. "Rupanya suara tadi merupakan
pemberitahuan kepada kami," kata Aseng. Menurut keterangannya,
kejadian seperti itu akan berulang, kalau ruang jenazah itu
kosong.
Aseng adalah pegawai rumah sakit Husada. Gajinya Rp 23 ribu,
plus uang beras Rp 5.500. Kadangkala ia mendapat uang tambahan
karena dapat panggilan memandikan jenazah di luar. "Tapi itu
hanya uang wisit, sedekah," ujarnya. Karenanya jumlah
penghasilan tambahan itu setiap bulan tak tentu. Rata-rata ia
kebagian 2 mayat. Tarifnya Rp 15 ribu tiap mayat.
Orang Mabuk
Aseng memandikan mayat dalam waktu 60 menit. Setelah itu ia
mencuci bersih tangannya dengan sabun wangi. Tak ada kesan
apa-apa. Jiwa tetap tenteram. Efek pekerjaan itu pada kehidupan
pun tak ada.
Rekannya, Sarwani (38 tahun), setelah 6 tahun bekerja, pernah
ketakutan. Suatu ketika ia mendengar suara keras di ruang mayat.
Ketika didekati suara-suara itu tambah keras. Lalu tiba-tiba
dari pintu keluar sesosok tubuh berjalan gontai mendekatinya.
"Waduh, apa yang mati bangun lagi?" tanyanya dalam hati. "Siapa
kamu?" sapa Sarwani. Tahu-tahu sosok itu menjawab. "Saya, pak."
Segala yang menakutkan jadi lenyap. Rupanya orang itu si pemabuk
yang kesasar.
Di Aceh pekerjaan memandikan mayat dirangkap oleh pimpinan
surau, imeum meunasah sebutannya "Pekerjaan itu sudah jadi
tradisi kami sejak dulu," kata Mohamad Ali,' 64 tahun, pemandi
mayat dari Desa Pantee Riek Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten
Aceh Besar. Ia telah memangku jabatan modin selama 40 tahun dan
mengaku telah memandikan sekitar 1000 mayat. "Saya telah siap
mental untuk melaksanakan pekerjaan mulia ini," ungkapnya.
Pertama kali memandikan mayat yang telah rusak, baunya
mengganggu selera makan Ali selama berminggu-minggu. Ia tersiksa
dan tak bisa tidur. Ini terjadi hingga tahun kedua pada karirnya
sebagai modin. Puluhan ayat Qur'an dihafalnya di luar kepala
untuk menenteramkan jiwanya. Hasilnya, kemudian ia menganggap
tugasnya sebagai pekerjaan biasa, tanpa kesan khusus.
Ali seorang petani biasa. Andalannya hanya pengetahuan agama dan
kejujuran. Menurut Ali, setiap orang akan menemukan kesadaran
bila melihat mayat. Anak lelakinya sempat menjadi pemuda
berandalan. Ketika salah seorang kerabatnya meninggal, ia ajak
anak itu ikut memandikan. Setelah upacara itu selesai, ternyata
anaknya sadar. "Memang besar ajaran yang kita peroleh dari
melihat jasad manusia yang nyawanya sudah dicabut Allah,"
ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini