Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kolon Bersih, Badan Sehat

Aktris Hollywood Farrah Fawcett meninggal dua pekan lalu pada usia 62 tahun, sehari sebelum Michael Jackson. Salah seorang ”malaikat” dalam film seri televisi Charlie’s Angels itu didiagnosis mengidap kanker usus besar (kolon) di sekitar duburnya pada 2006. Kanker menyebar ke lever pada 2007. Namun artis kelahiran Texas itu dapat bertahan selama dua tahun setelah menjalani berbagai pengobatan di Jerman dan Amerika Serikat, di antaranya dengan terapi cuci kolon.

Terapi kolon di Amerika sudah dianggap bagian tindakan medis. Di Indonesia, terapi ini sudah masuk 10 tahun lalu, tetapi dokter masih ragu terhadap efektivitasnya. Benarkah terapi yang diklaim sebagai salah satu cara detoksifikasi ini aman?

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perut Nina Jeffri, 45 tahun, semakin bengkak. Semula ibu tiga anak ini menduga dia makin gemuk. ”Tapi kok perut mengeras. Orang menduga terjadi pembengkakan pada lever saya,” katanya. Setelah memeriksakan diri ke dokter dan menjalani sejumlah pemeriksaan laboratorium, ternyata Nina menderita infeksi usus besar. ”Kalau tidak segera diobati, bisa menjadi kanker usus,” ujarnya.

Penyakit Nina sebenarnya sudah terjadi sejak tiga bulan sebelumnya. Ketika itu ia merasakan susah buang air besar. Jika keluar pun, tidak rutin tiap hari, serta mengakibatkan tubuh lemas, cepat lelah, dan sukar bernapas. Setelah diperiksa dokter, diketahui dia mengidap penyakit hepatitis A. Karena itu, saat terjadi pembengkakan tiga bulan kemudian, banyak yang menduga warga Kebon Melati itu kena penyakit lever. Akhirnya pembengkakan mereda setelah Nina mengkonsumsi sejumlah obat serta menerapkan pola hidup sehat.

Lain lagi jalan yang diambil Sultan, 40 tahun, adik Nina. Ketika merasa perutnya bermasalah, ia mendatangi sebuah klinik terapi cuci kolon di Jakarta Barat. ”Rasanya benar-benar lega dan segar setelah terapi itu,” katanya.

Caranya, pasien dibaringkan. Melalui anusnya dimasukkan selang kecil sepanjang empat sentimeter. Dari selang itu keluar air yang mengaliri dinding usus besar untuk merangsang agar ingin buang air besar. Ketika dorongan tersebut sudah muncul, aliran air dihentikan. Keluarlah feses melalui selang transparan ke sebuah tabung. ”Kita bisa melihat kotoran kita mengalir,” ujarnya.

Lalu feses itu dianalisis, dari asal, warna, hingga lamanya bermukim dalam usus besar. Pada semprotan pertama, yang keluar kebanyakan makanan terbaru. Lalu selang dimasukkan lagi, berulang sampai tiga kali. Semuanya berlangsung sekitar 30 menit. ”Pada semprotan ketiga, kotoran yang keluar dari perut saya berwarna hitam. Katanya, itu kotoran yang menempel di dinding usus besar yang tak bisa keluar dengan proses pup biasa,” kata Sultan.

Setelah proses cuci kolon itu, pasien diberi suplemen vitamin herbal dan nasihat untuk mengkonsumsi makanan sehat. Misalnya, pagi cukup minum air dengan perasan jeruk nipis, makan buah-buahan, pukul 10-11 pagi baru boleh makan, dan tak boleh lagi makan berat setelah pukul tujuh malam. Konsumsi roti juga tidak disarankan. ”Cuci kolon ini sebenarnya beraknya orang kaya,” kata karyawan perusahaan swasta asing itu sambil tertawa. Maklum, untuk sekali datang, dibutuhkan Rp 400 ribu.

Cuci usus besar bukanlah barang baru. Hypocrates telah mempraktekkannya secara manual untuk mengobati demam dan gangguan kesehatan lain pada abad ke-17. Ketika itu, cuci kolon disebut enema. Warga Paris sangat menggemarinya. Terapi itu bahkan dilakukan hingga tiga sampai empat kali sehari. Hydrotherapy kolon kini menggunakan peralatan dan prosedur modern yang sudah disetujui Departemen Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA).

Di Amerika Serikat, terapi ini dikenal sejak awal 1980-an. Karena dianggap mampu meluruhkan racun-racun di dalam tubuh (detoksifikasi), terapi ini masyhur di kalangan selebritas dan orang kaya. Tercatat Lady Diana, bekas istri Pangeran Charles dari Inggris; Farrah Fawcett, yang baru saja meninggal; dan Michael Jackson juga ”penganut” terapi ini.

Di Indonesia, terapi kolon dibawa ahli detoksifikasi dan naturapati (cara pengobatan alami) lulusan Amerika Serikat, Riani Susanto, 10 tahun lalu. Menurut Riani, terapi ini bermanfaat bagi yang terkena sembelit, mencegah bau mulut, badan, dan vagina, serta mencegah kanker kolon. ”Manfaatnya banyak karena, selain otak, usus besar pusat segala penyakit,” katanya.

Bersihnya usus besar, menurut pendiri gerai terapi cuci kolon Healthy Choice Jakarta ini, akan membuat usus besar lebih sensitif. ”Karena kotoran yang tidak terbuang menjadi kerak di dinding usus dan membuat dinding tidak sensitif terhadap penyakit,” ujar Riani.

Kalau seperti itu, bisa jadi kanker kolon sudah mencapai stadium dua atau tiga. ”Usus besar itu seperti alarm bagi tubuh kita, memberitahukan adanya penyakit bila ada ketidakseimbangan,” katanya.

Riani menjamin terapi cuci kolon aman bagi tubuh. Memang, setelah terapi, bakteri baik dan buruk hilang. Tapi bakteri baik bisa masuk kembali dengan asupan makanan sehat. Karena itu, di Amerika Serikat, terapi ini dimasukkan ke terapi medis kedokteran modern. ”Di sini belum menjadi bagian dari pengobatan,” katanya.

Dokter ahli penyakit dalam dan konsultan perencanaan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ari Fahrial Syam, termasuk yang tidak setuju dengan terapi kolon. ”Karena itu terapi alternatif, secara guideline atau ketentuan gastrologi bukan bagian dari pengobatan,” ujarnya.

Terapi bowl cleansing atau hydrocolon, menurut Ari Fahrial, seperti pembersihan usus saja. ”Sebenarnya, kalau kita makan dan buang air besar secara teratur, tak perlu terapi tersebut,” ujarnya.

Belum lagi risiko terapi itu. Menurut Ari, kadang pemeriksaan dilakukan tenaga tak profesional, sehingga bisa terjadi luka, infeksi, atau peradangan dalam usus besar. Walaupun ada juga dokter yang menyarankan terapi tersebut, secara garis besar pemeriksaan itu bukan bagian dari pengobatan yang sesuai dengan standar medis yang berlaku saat ini. ”Saya menemukan beberapa kasus pasien yang mengalami peradangan atau infeksi akibat terapi tersebut,” ujar Ari.

Kotoran akan tinggal di dalam tubuh 1 x 24 jam, paling lama 2 x 24 jam, sebelum keluar menjadi feses. Kalau sudah lebih lama, menurut Ari, kotoran tersebut akan mengalami kontak dengan dinding dalam usus. Yang ditakutkan, racun-racun kotoran tersebut membuat reaksi dengan tubuh, yang mengakibatkan radang. Jika ini terus berlanjut, makin lama akan menyebabkan kelainan atau kerusakan pada dinding dalam usus besar.

Nah, membersihkan usus besar yang panjangnya sekitar 70 sentimeter itu adalah dengan makan makanan sehat, seperti mengurangi makanan berlemak dan daging merah (red meat), banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, serta minum air putih minimal dua liter per hari. Juga jangan lupa asupan makanan berserat dan olahraga teratur. Semua ini otomatis membuat orang buang air besar teratur. Tapi, jika masih sembelit, perlu diperiksa dokter. ”Mungkin ada kelainan fungsional, misalnya ususnya malas, atau karena kelainan organik yang menyumbat, misalnya ada tumor,” katanya.

Jika usus besar ”malas”—tidak sensitif terhadap rangsangan—harus diberikan obat untuk melunakkan usus, atau diberikan perangsang agar usus mau bergerak. Tapi Ari mengingatkan agar masyarakat jangan mengobati sendiri. ”Susah pup, lalu minum obat berbulan-bulan, baru ke dokter. Prinsip pengobatan warung itu, kalau tiga hari tak ada perubahan, harus ke dokter,” katanya.

Ahmad Taufik

Penyakit-Penyakit Usus Besar

  • Sembelit atau susah buah air besar.
  • Kelebihan gas; sering buang angin dan sebah.
  • Iritasi usus besar; sakit perut, kembung, kram perut, diare, kejang/keram otot perut, sakit punggung bawah, dan adanya lendir atau ingus dalam kotoran.
  • Divertikulosis; kantong kecil atau adanya letusan pada dinding usus.
  • Kanker kolon; kanker usus mengenai sekum dan rektum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus