Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indah Handayasari baru pulang umrah pada awal Mei lalu, ketika ia mendengar kabar bahwa vaksin meningitis dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia, karena mengandung enzim babi. Padahal, beberapa hari sebelum berangkat, dia disuntik vaksin tersebut. Pemerintah Arab Saudi memang mewajibkan setiap anggota jemaah haji, umrah, dan tenaga kerja asing mendapat imunisasi meningitis untuk mendapatkan visa sejak Juni 2006, setelah merebak wabah meningitis pada jemaah haji di sana. ”Aduh, insya Allah umrah saya halal,” kata ibu rumah tangga yang bermukim di Kebon Nanas, Jakarta Timur, itu pada Rabu lalu.
Kontroversi status vaksin antiradang selaput otak dan tulang itu mulai bergulir beberapa bulan lalu. Majelis ulama Sumatera Selatanlah yang menemukan bahwa vaksin meningitis merek Mencevax ACWY mengandung enzim babi.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia lantas memeriksa bahan-bahan vaksin tersebut dan melaporkan dugaan adanya enzim babi. Pada Juni lalu, sidang komisi fatwa menyimpulkan bahwa vaksin itu mengandung babi. ”Sehingga dinyatakan haram,” kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia KH Maruf Amin, pekan lalu.
Meski demikian, MUI belum secara resmi mengeluarkan fatwa haram, karena masih menunggu jawaban dari pemerintah dan forum ulama Arab Saudi. ”Kami sudah menyurati pemerintah Arab Saudi dan akan mengirim utusan untuk menjelaskan masalah ini ke forum ulama di sana,” kata Maruf.
Vaksin Mencevax ACWY diproduksi GlaxoSmithKline (GSK) di Belgia. Menurut GSK Indonesia, vaksin beredar di 77 negara, termasuk negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Kuwait, Malaysia, Oman, Pakistan, Turki, Suriah, dan Yaman.
Pada Mei lalu, perusahaan multinasional pembuat vaksin yang berbasis di Inggris itu sudah memberikan penjelasan kepada Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak, Lembaga Pengkajian Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, serta Majelis Ulama Indonesia. Tapi Glaxo Indonesia enggan menguraikan proses pembuatan vaksin itu.
”Vaksin meningitis ACWY GSK merupakan produk ethical (berdasarkan resep dokter). Komunikasi ilmiah hanya disampaikan kepada otoritas yang berwenang, bukan langsung kepada publik,” kata perusahaan yang berkantor di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, itu melalui surat elektronik.
Wakil Presiden Riset Klinik dan Pengembangan Medis Glaxo, Emilio Ledesma, mengakui bahwa vaksin meningitis produksinya masih menggunakan enzim porcine sebagai katalisator dalam pembiakan virus. Unsur babi hanya dipakai sebagai media pada awal pembuatan virus. Setelah virus jadi, dilakukan pemurnian berulang-ulang sebelum dibikin menjadi vaksin. Vaksin yang sudah jadi ini, bila diperiksa, sudah bebas dari unsur babi. Itulah yang menyebabkan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan mengeluarkan izin edar vaksin. ”Jika nantinya ada cara lain yang tidak bersentuhan dengan kandungan dari binatang, kami akan ke arah sana,” ujar Emilio di sela-sela acara GSK Media Day di Singapura, Senin lalu.
Adanya unsur babi ini, meski cuma sebagai katalisator, menjadi landasan MUI mengharamkan produk tersebut. ”Masalah ini memang bukan haram ainian (haram karena sifat bendanya). Unsurnya tak tampak, karena sudah bercampur, tapi tetap saja haram karena mengandung unsur itu,” kata Maruf.
Maruf menyatakan bahwa haramnya vaksin ini hanya berlaku bagi umat Islam sekarang dan calon jemaah haji dan umrah mendatang. ”Bagi yang sudah divaksin dan naik haji, hajinya tetap sah, karena mereka belum tahu haramnya vaksin tersebut,” kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Departemen Agama, Abdul Ghafur Djawahir, mengatakan selama fatwa resmi belum dikeluarkan oleh MUI, vaksin itu tetap akan digunakan untuk calon jemaah haji, sesuai dengan persyaratan dari Arab Saudi. Ada ulama yang berpendapat bahwa penggunaan vaksin ini darurat, karena dia menjadi syarat berhaji dan belum ada alternatifnya, sehingga tidak dianggap haram. ”Tapi kami masih menunggu fatwa Majelis,” kata Abdul.
Semua pihak kini menunggu keputusan pemerintah Arab Saudi, yang diperkirakan keluar pada pertengahan Juli ini. ”Setelah itu kami akan memutuskan status vaksin itu,” kata Maruf.
Kurniawan, Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo