Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Komplikasi Birokrasi

6 orang meninggal di bantul karena penyakit muntaber berkomplikasi dengan penyakit birokrasi. Mereka tak sempat mendapat pertolongan dokter karena dokternya sibuk mengurus surat penempatan. (ksh)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

6 Orang telah meninggal dunia di Yogyakarta lantaran penyakit muntah-berak berkomplikasi dengan penyakit birokrasi nan parah. Kisahnya begini. Antara tanggal 1 sampai 6 Januari yang baru lalu kuman muntah berak menyerang penduduk Kelurahan Panjangrejo, Kabupaten Bantul. Mereka semua tak sempat mendapat pertolongan dokter, meskipun di daerah itu sudah ada puskesmas yang menempati sebuah rumah milik kelurahan Kemana gerangan sang dokter? Sesungguhnya dokter tadi bukannya tak sudi menolong rakyat kecil itu, tapi soalnya dia sendiri sedang sibuk mengurusi beban berupa surat-surat laporan dan tetek-bengek lainnya yang harus dia kerjakan, berhubung dia baru saja mendapat tugas penempatan di daerah tersebut. Hatma Tunggul Manik, demikian nama dokter yang berusia 27 itu, sebagai dokter Inpres dikirim oleh Departemen Kesehatan ke Yogyakarta tanggal 1 Oktober. Tanggal 3 Nopember dia memang sudah mengantongi Surat Izin Dokter, atau katakanlah semacam izin praktek. Namun belum ditentukan dimana dia akan ditugaskan. Baru dua bulan kemudian, jadi tanggal 2 Januari 1976 turun surat penempatan. Tunggul ditempatkan di wilayah Kabupaten Bantul. Sementara serah terima dokter muda itu dari Kantor Wilayah Depkes Yogyakarta kepada Dinas Kesehatan Rakyat Bantul baru berlangsung tanggal 6 Januari. Sekarang birokrasi yang bertele-tele itu mulai memancing kekisruhan. Pihak Dinas Kesehatan Rakyat Bantul belum bisa memutuskan penempatan sang dokter, hanya karena surat resmi dari atas belum juga kunjung tiba hingga tanggal 9 Januari. Sementara itu wabah muntah berak sudah berkecamuk, malahan sudah makan nyawa 6 orang. Tak dapat dibayangkan betapa pedihnya perasaan dokter itu ketika dia mendengar berita kemalangan tadi, di mana dia sendiri terbawa-bawa. Warna Lain Nasi sudah jadi bubur. Untuk tidak menambah korban lebih banyak dinas kesehatan setempat melancarkan tindakan-tindakan pencegahan berupa vaksinasi, pembersihan lingkungan pemasangan sumur pompa dan jamban keluarga. Muncul di koran Yogyakarta berita kematian tadi tersiram warna lain. Bersumber pada pejabat Dinas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, sebuah surat kabar mengatakan bahwa dokter puskesmas belum bekerja. Yang buat dokter Hatma ucapan itu tentu saja kurang tepat. Apalagi kalau Universitas Indonesia, Alma Maternya, turut dibawa-bawa ke dalam surat kabar. Kabarnya dia menyampaikan protes terhadap ucapan pejabat daerah tadi, yang dikirimkan kepada surat kabar yang melansir berita tersebut. Tapi entah bagaimana surat protes itu tak pernah muncul. Dengan amarah dia datangi pejabat yang jadi sumber berita dan meminta supaya ucapan lewat koran itu dicabut. Namun pencabutan itu pun tak pernah terjadi. Kelihatannya dokter Hatma sudah agak tenang sekarang meskipun bantahan-bantahannya itu tak kesampaian. Mungkin karena sejak akhir Januari yang baru lalu dia sudah menempati puskesmas yang baru didirikan di Kelurahan Srihardono, di daerah Bantul. Meskipun puskesmas itu sebenarnya belum diresmikan. Rupanya para pejabat di sana sudah kapok dengan segala yang resmi-resmian setelah adanya peristiwa muntah-berak yang pertolongannya jadi terlambat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus