6 Orang telah meninggal dunia di Yogyakarta lantaran penyakit
muntah-berak berkomplikasi dengan penyakit birokrasi nan
parah. Kisahnya begini. Antara tanggal 1 sampai 6 Januari yang
baru lalu kuman muntah berak menyerang penduduk Kelurahan
Panjangrejo, Kabupaten Bantul. Mereka semua tak sempat mendapat
pertolongan dokter, meskipun di daerah itu sudah ada puskesmas
yang menempati sebuah rumah milik kelurahan
Kemana gerangan sang dokter? Sesungguhnya dokter tadi bukannya
tak sudi menolong rakyat kecil itu, tapi soalnya dia sendiri
sedang sibuk mengurusi beban berupa surat-surat laporan dan
tetek-bengek lainnya yang harus dia kerjakan, berhubung dia
baru saja mendapat tugas penempatan di daerah tersebut. Hatma
Tunggul Manik, demikian nama dokter yang berusia 27 itu, sebagai
dokter Inpres dikirim oleh Departemen Kesehatan ke Yogyakarta
tanggal 1 Oktober. Tanggal 3 Nopember dia memang sudah
mengantongi Surat Izin Dokter, atau katakanlah semacam izin
praktek. Namun belum ditentukan dimana dia akan ditugaskan.
Baru dua bulan kemudian, jadi tanggal 2 Januari 1976 turun surat
penempatan. Tunggul ditempatkan di wilayah Kabupaten Bantul.
Sementara serah terima dokter muda itu dari Kantor Wilayah
Depkes Yogyakarta kepada Dinas Kesehatan Rakyat Bantul baru
berlangsung tanggal 6 Januari.
Sekarang birokrasi yang bertele-tele itu mulai memancing
kekisruhan. Pihak Dinas Kesehatan Rakyat Bantul belum bisa
memutuskan penempatan sang dokter, hanya karena surat resmi
dari atas belum juga kunjung tiba hingga tanggal 9 Januari.
Sementara itu wabah muntah berak sudah berkecamuk, malahan sudah
makan nyawa 6 orang. Tak dapat dibayangkan betapa pedihnya
perasaan dokter itu ketika dia mendengar berita kemalangan tadi,
di mana dia sendiri terbawa-bawa.
Warna Lain
Nasi sudah jadi bubur. Untuk tidak menambah korban lebih banyak
dinas kesehatan setempat melancarkan tindakan-tindakan
pencegahan berupa vaksinasi, pembersihan lingkungan pemasangan
sumur pompa dan jamban keluarga.
Muncul di koran Yogyakarta berita kematian tadi tersiram warna
lain. Bersumber pada pejabat Dinas Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular, sebuah surat kabar mengatakan bahwa dokter
puskesmas belum bekerja. Yang buat dokter Hatma ucapan itu tentu
saja kurang tepat. Apalagi kalau Universitas Indonesia, Alma
Maternya, turut dibawa-bawa ke dalam surat kabar. Kabarnya dia
menyampaikan protes terhadap ucapan pejabat daerah tadi, yang
dikirimkan kepada surat kabar yang melansir berita tersebut.
Tapi entah bagaimana surat protes itu tak pernah muncul. Dengan
amarah dia datangi pejabat yang jadi sumber berita dan meminta
supaya ucapan lewat koran itu dicabut. Namun pencabutan itu pun
tak pernah terjadi.
Kelihatannya dokter Hatma sudah agak tenang sekarang meskipun
bantahan-bantahannya itu tak kesampaian. Mungkin karena sejak
akhir Januari yang baru lalu dia sudah menempati puskesmas yang
baru didirikan di Kelurahan Srihardono, di daerah Bantul.
Meskipun puskesmas itu sebenarnya belum diresmikan. Rupanya
para pejabat di sana sudah kapok dengan segala yang
resmi-resmian setelah adanya peristiwa muntah-berak yang
pertolongannya jadi terlambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini