Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kontroversi Air Minum Kemasan Galon Sekali Pakai, Ini Kata YLKI

Di saat dunia sedang memerangi sampah plastik, ada produsen air minum mengeluarkan galon sekali pakai. Ini kata YLKI dan Greenpeace.

11 Mei 2020 | 05.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Munculnya air minum kemasan galon sekali pakai menuai kontroversi. Di saat bumi sedang memerangi sampah plastik, perusahaan air minum justru membuat produk yang akan menambah sampah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengatakan penggunaan galon sekali pakai dinilai akan semakin menambah masalah lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik sekali pakai di kalangan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami justru meminta perusahaan mengurangi sampah plastik untuk bahan pangan, khususnya air minum kemasan sekali pakai, karena itu akan sangat membebani bumi. Plastik tidak bisa terurai. Bukan justru memproduksi bahan plastik sekali pakai yang baru. Kami tidak mendukung produk kemasan semacam itu,” ucap Sulastri.

Apalagi jika perusahaan yang memproduksi kemasan itu tidak menunjukkan tanggung jawab untuk menarik kembali galon kemasan tersebut dari konsumen. Ia mengatakan secara bisnis atau pemasaran, perusahaan memang ingin melakukan inovasi baru dengan menciptakan kemasan baru. Tapi dari sisi lingkungan, YLKI secara tegas tidak mendukungnya.

Menurut Sularsi, masyarakat tidak bisa diwajibkan sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk mengolah sampah plastik yang ditimbulkan oleh bahan kemasan pangan yang diproduksi industri pangan.
Seharusnya, industri yang bertanggung jawab untuk menarik kembali kemasan plastik sekali pakai yang diproduksinya. Selain itu, industri tersebut juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana memperlakukan kemasan plastik sekali pakai sehingga tidak mencemari lingkungan.

“Yang perlu diawasi adalah bagian hulunya. Masalah sampah plastik ini tidak akan pernah selesai kalau hulunya tidak diawasi. Jangan sampai kehadiran air kemasan galon sekali pakai ini malah menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. Jadi perlu ada kebijakan yang diambil untuk itu,” ucap Sularsi.

Sularsi menambahkan negara seharusnya punya kebijakan bagaimana untuk mengurangi sampah plastik ini. Negara punya tanggung jawab di hulunya atau industrinya dengan mengatur kewajiban mereka untuk mengambil kembali kemasan itu dan bagaimana mekanismenya.

“Jadi, tanggung jawab mendaur ulang itu bukan di konsumen. Semua perusahaan pangan, khususnya AMDK, punya tanggung jawab untuk menarik kembali kemasannya,” katanya.

Industri pangan, khususnya berbahan plastik sekali pakai, menurutnya, harus memiliki cara bagaimana memusnahkan bahan-bahan plastik sekali pakai dan juga punya tanggung jawab untuk mendaur ulang kemasan yang diproduksinya.

“Konsumen kan membeli isinya bukan kemasan. Lalu kemasannya itu untuk apa? Makanya industri pangan harus punya tanggung jawab untuk recycle kemasan itu,” jelas Sulastri.

Senada dengan Sularsi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan produk AMDK galon sekali pakai itu jelas akan menjadi masalah baru mengingat dampak pada lingkungan yang selama ini ditimbulkan dan juga tidak sejalan dengan target pemerintah mengurangi sampah di laut sebesar 70 persen pada 2025.

“Produksi plastik sekali pakai yang begitu masif tanpa adanya tanggung jawab perusahaan justru akan mempersulit capaian dari target ini,” katanya.

Atha merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) mengenai peta jalan pengurangan sampah oleh produsen yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu, seharusnya sektor industri mulai berbenah bagaimana mereka dapat menyusun rencana strategis dalam mengurangi timbulan sampah mereka.

“Bukan malah meningkatkan produksi kemasan produk sekali pakai. Selama dalam kemasan sekali pakai, masalah kita tentu akan semakin besar,” katanya.

Menurutnya, saat ini belum ada keseriusan peraturan dalam menyasar hulu dari permasalahan plastik sekali pakai di Indonesia.

“Seharusnya bisnis dengan model refill dan reuse yang sekarang harus mulai banyak diujicobakan dan diperbesar skalanya dibandingkan mengeluarkan produk sekali pakai yang baru,” ungkap Atha.

Menurutnya, konsumen di Indonesia telah mengenal AMDK galon yang bisa diisi ulang selama lebih dari 35 tahun dan telah terjamin keamanannya karena mendapatkan izin BPOM. Kemasan galon model yang bisa digunakan kembali telah digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia baik di rumah, kantor, restoran, bahkan di fasilitas kesehatan.

Galon model yang dikenal selama ini ada dinilai lebih ramah lingkungan karena setelah dikonsumsi konsumen akan diambil kembali oleh produsen, dibawa ke pabrik untuk dibersihkan dan diisi kembali dengan air minum baru yang bersih dan higienis.

“Jadi dengan pembiaran kehadiran air minum kemasan galon sekali pakai ini, itu artinya masalah plastik dalam negeri akan makin berada di tahap yang lebih krisis dan target pengurangan pemakaian sampah plastik sekali pakai ini akan sulit tercapai,” ucap Atha.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus