ANAK-ANAK menjadi kembang tahun 1984. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menentukan, "kesehatan anak - kesejahteraan masa depan" menjadi tema Hari Kesehatan Dunia yang jatuh 7 April 1984 ini. Itu berarti, sepanjang tahun ini perhatian dunia terpusat pada anak-anak - lapisan penduduk yang paling tinggi angka kematiannya. Di Indonesia, tahun 1983 misalnya, angka kematian bayi mencapai 90,3/1000. Jauh membubung dari angka kematian umum yang 12,5/1000. Angka kematian yang tinggi itu antara lain disebabkan oleh buruknya gizi. Ditambah lagi keadaan lingkungan yang kurang memadai persyaratan kesehatannya, seperti kurangnya penyediaan air minum bersih. Sebab, berdasarkan The Japan Research Institute on Child Welfare, yang melakukan riset di Jawa dan Sumatera tahun 1982- 1983, hanya 10% penduduk pedesaan yang mendapat bagian air bersih. Data itu, kelihatannya, mendukung kenyataan bahwa penyebab kematian bayi yang utama adalah diare (24,1%). Penyebab kematian yang lain ialah infeksi saluran pernafasan (22,1 % ) dan tetanus (20,2%). Usaha-usaha pemerintah, misalnya penyebaran garam oralit dan vaksinasi, kelihatannya berhasil menekan angka kematian itu. Sebab, sampai tahun 1980 angka kematian bayi masih tercatat 100/1000. Yang agak menarik dari penelitian yang dilakukan lembaga riset mengenai kesejahteraan anak-anak dari Jepang tadi adalah kesimpulan yang menyebutkan bahwa kekurangan gizi pada anak-anak di sini berlangsung bukan hanya dlsebabkan kemampuan ekonomi penduduk desa yang rendah, melainkan juga didorong oleh kebiasaan ibu yang buru-buru menyapih anaknya. "Sapih yang terlalu cepat akan mengakibatkan anak secara tiba-tlba mengalami kekurangan protein dan kalori," kata Kenji Yamaguchi pekan lalu kepada wartawan TeMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Yamaguchi adalah kepala bagian gizi anak dan ibu dari lembaga riset yang berada di bawah departemen kesehatan Jepang itu. Kekurangan protein dan kalori yang disebutkan sarjana kesehatan dari Jepang itu akan menyebabkan rentannya anak terhadap rupa-rupa penyakit infeksi. Tetapi kesalahpahaman mengenai gizi sebenarnya tidak hanya tergambar di pedesaan. Di kota-kota besar juga demikian. Dan kesalahannya tampaknya justru tidak terletak pada ibu-ibu yang punya anak, tetapi pada sistem pelayanan kesehatan. Gulardi H., dari Bagian Kebidanan dan Kandungan RS Tjipto Mangunkusumo, misalnya, mengkritik pemisahan ibu dan bayinya sebagaimana yang berlangsung sekarang ini di seluruh rumah sakit. "Sistem ini mengakibatkan peningkatan angka sakit di kalangan bayi yang sebagian berlanjut dengan kematian," katanya kepada wartawan TEMPO, Adyan Soeseno. Menurut Gulardi, RS Tjipto Mangunkusumo secara bertahap akan meninggalkan sistem itu. Sekarang ini, 60%, persalinan masih mempertahankan sistem lama. Sedangkan yang 40%, dengan sistem gabungan. Pemisahan antara ibu dan bayinya setelah melahirkan itu bisa mencapai seminggu atau lebih. Dari catatan yang dibuat Gulardi, terlihat bahwa 30%, dari bayi yang pisah dengan ibunya itu menderita diare, karena tidak cocok dengan susu bubuk yang diberikan selama perawatan. Sepuluh persen dari bayi yang terkena diare ini tak tertolong dan meninggal. Gulardi kemudian menyimpulkan: dua sampai tiga dan seratus kelahiran meninggal akibat sistem perawatan pisah ini. Pemisahan ibu dengan bayi terkadang memang perlu karena berbagai keadaan. Misalnya karena si ibu sakit atau sang bayi lahir prematur. Tetapi kekecualian ini hanya sekltar 20%. Perawatan ibu dan anak secara terpisah, menurut Suwarna, dari Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak Departemen Kesehatan dianut rumah sakit karena di kalangan sementara dokter masih hidup anggapan yang menyebutkan bahwa kalau bayi dan ibunya dicampur, ditakutkan si bayi ketularan penyakit. Tetapi pemisahan itu mengakibatkan si bayi untuk sementara waktu tidak dapat menetek langsung dari ibunya. Susu ibu yang mengalir pada hari-hari pertama setelah melahirkan itu biasanya dibuang begitu saja. "Padahal, air susu ibu yang keluar permulaan, yang berwarna kuning dan kental itu, mempunyai nilai gizi dan mengandung kekebalan yang tinggi dalam menangkis penyakit. Itu sangat bermanfaat bagi bayi," ulas Suwarna. Berbagai masalah turut memperburuk keadaan gizi anak-anak. Daya pikat kota-kota besar, misalnya, turut pula memainkan peranan. Nyonya Suprapto, istri gubernur DKI, belum lama ini menyebutkan bahwa kekurangan gizi di kalangan anak-anak Jakarta meningkat dari 30% menjadi 50%. Mereka kekurangan protein, kalori, vitamin A, dan menderita anemia. Angka itu, menurut Mohammad Thamrin, Kepala Bagian Gizi Dinas Kesehatan Kota DKI, sengaja dibesarkan oleh Nyonya Suprapto untuk merangsang swadaya masyarakat dalam mengatasi masalah gizi di kalangan anak-anak Jakarta. Sebab, menurut Thamrin, angka yang sebenarnya adalah 44%. Dan kenaikan itu terjadi awal tahun 1980-an, "sebagai akibat dari arus urbanisasi yang meningkat." Para pendatang itu, menurut Thamrin, berkumpul di daerah padat dan miskin yang terdapat di wilayah Jakarta Utara, Selatan, dan Barat. Jumlah anak di bawah lima tahun di Jakarta sekitar 1 juta. Jadi, sekitar 400.000 yang kurang gizi. Penanggulangan masalah gizi secara intensif dilaksanakan sejak 1974 di Jakarta. Gerakan itu bernama Usaha Peningkatan Gizi Keluarga, yang mencakup berbagai usaha. Misalnya taman gizi, tempat anak ditimbang dan mendapat makanan bergizi secara cuma-cuma. Menurut Mohammad Thamrin, sejak gerakan itu dimulai, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pemerintah daerah telah mengeluarkan sekitar Rp 500 juta. Partisipasi masyarakat juga bangkit, dalam bentuk sukarelawan-sukarelawan yang memberikan penyuluhan kesehatan. Tapi, rupanya, dana dan kegairahan itu ditumbangkan laju urbanisasi yang sekitar 2%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini