Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kucing dalam almari, tanpa senjata

Petugas pemberantasan penyelundupan (p2) memanfaatkan masyarakat sebagai informasi. meski sarana kurang, mereka berhasil menyita barang selundupan. imbalannya adalah premi 20% dari hasil lelang.(sd)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEA Cukai yang terkenal sebagai tempat penuh godaan, memiliki tim bernama Pemberantas Penyelundupan (P2). Petugas-petugasnya menamakan pekerjaan itu sebagai gabungan dari kerja seorang intel, psikolog, tukang ramal dan tentu saja penegak hukum. Mereka merasa sebagai psikolog karena harus dapat menebak rahasia melalui tampang dan tingkah laku manusia yang dihadapinya. Sedangkan sebagai peramal kadangkala mereka bertindak cepat berdasarkan firasat, menebak-nebak tapi harus berhasil menggulung barang selundupan. Di dalam praktek, seluruh aspek ini disatukan. Informan Sasaran kerja mereka memang sangat jelas. Meskipun kelihatannya mudah. Kalau ada kapal berlabuh dengan mencurigakan, mereka bergegas menggeledah kapal kalau-kalau memuat barang yang tak dilindungi oleh dokumen yang sah. Kalau ternyata ketemu, tinggal lapor kepada "boss". "Setelah itu segalanya akan beres," kata Kristanto (33 tahun) Kepala Sub. Seksi Intel pada BC Inspeksi Cirebon. "Tetapi ternyata tidak hanya itu. Yang sulit adalah masuknya iriformasi tidak bisa ditentukan waktunya. Kadangkala nyelonong tengah malam. Ini berarti kedamaian Kristanto dengan isteri dan 3 oranX anaknya terganggu. "Boleh dikatakan kami bekerja penuh 24 jam," katanya kepada Aris Amiris dari TEMPO, "apa boleh buat, memang sudah resiko sebagai pegawai negeri." Kristanto mendapat panggilan buat mengikuti pendidikan Bea Cukai di Jakarta tahun 1966 -- 2 tahun setelah tamat SMA. Sambil mengenyam ilmu bea cukai, ia sempat juga main mata dengan seorang gadis asal Serang, yang kemudian jadi isterinya sekarang. Tugas pertama Kristanto adalah menghadapi bandit-bandit laut di Tanjung Perak Surabaya. Dari sana ia dilempar ke beberapa kota di Kalimantan, tembus ke Jakarta dan berakhir dengan sukses di Cirebon, di mana ia menduduki kursi Kepala Seksi Intel. Wilayah pantai Cirebon memanjang dari Karawang sampai Losari. Untuk menguasai gerak-gerik seluruh permukaan laut itu Kristanto memanfaatkan betul bantuan masyarakat. Dia memelihara informan. "Saya mempunyai 4 orang pembantu yang secara tetap memberikan informasi atau laporan. Informasi itu kemudian diolah kembali. Tapi tidak semua informasi yang datang dari masyarakat ini menelorkan buah. "Pernah ada laporan dari masyarakat, di pantai Indramayu ada perahu yang dicurigai mengangkut barang selundupan. Kami segera bergerak ke sana, tapi kemudian pulang dengan kecewa sebab di sana tidak ada buruan," kata Kris. Dengan contoh di atas tidak berarti informan itu tidak bisa dipercaya. Semua informasi tetap diperlakukan sebagai bahan yang menjadi sumber gerakan. Banyak kegagalan bukan disebabkan kekeliruan informasi, tetapi faktor keterlambatan. Penyelundup kian hari kian pintar, akibat pengalaman maupun karena banyak ilmu dari kerap nonton bioskop. Dengan kode-kode tertentu dari darat ke laut, barang-barang selundupan yang sedianya diturunkan, bisa segera diamankan. Begitu mereka mendusin, hidung informan sudah mencium mereka. Dalam hal ini yang paling menyedihkan adalah kurangnya sarana. "Kami tidak punya speed boat, apalagi kapal patroli. Bahkan senjata dan kendaraan pun tidak ada," kata Kristanto kembali mengeluh. Dengan kurangnya peralatan, setiap kali operasi, P2 yang dikepalai Kristanto ini meminjam perahu milik nelayan. Meskipun tak ada senjata, pemeriksaan dilaksanakan, apapun risikonya. Anggota P2 yang melaksanakan perintah untuk memeriksa langsung ke kapal dapat menceritakan betapa kesulitan-kesulitan mereka. "Kerja sebagai anggota P2, ternyata banyak makan hati," kata Abdul Gani (51 tahun) yang sudah bekerja di lapangan sejak tahun 1954. "Macam-macam tingkah para anak buah kapal itu biasanya," kata Gani meneruskan, "ada yang menyambut baik-baik dengan membawa minuman, makanan atau hadiah. Barang-barang itu biasanya tidak kami sentuh sebelum mengadakan pemeriksaan." Dengan seragam abu-abu, P2 lapangan itu seperti memasuki medan kucing-kucingan. Kalau tidak waspada, kita bisa dengan mudah dikibulin. "Terhadap penyambutan yang ramah tamah, kita harus curiga, karena pasti ada apa-apanya," kata Gani. "Justru begitu, pemeriksaan jadi ditingkatkan dengan teliti. Kalau ternyata kapal itu benar-benar memuat barang tanpa dokumen yang sah, hadiah-hadiah mereka tak boleh diterima. Premi 20% Satu kali Gani pernah digertak. Ia baru saja hendak memasuki salah satu ruangan mesin. Seorang awak kapal muncul dan mengatakan kepadanya agar berhati-hati, sebab dalam ruangan itu ada gas beracun. Lain waktu, begitu ia naik kapal, seorang awak kapal mencoba menjatuhkan mental Gani. Orang itu berlagak sebagai jagoan nomor wahid. "Secara demonstratif mereka memainkan pisau di tangan," kata Gani. "Tapi kami tak mau kala mental. Dengan baju seragam ini rasanya kami punya senjata yang lebih ampuh dari senjata tajam." Ia kemudian menunjuk kepada peraturan yang mengatur wewenangnya. Itulah yang selama ini sudah melindungi dan ternyata memang lebih berkuasa dari bedil. Seorang petugas P2 adalah seorang dengan tulisan"CUSTOMS"di dada kiri. Di dada kanan terlihat lambang Tim Pemberantasan Penyelundupan. Sementara punggungnya ada lingkaran dengan tulisan Indonesian Custom Searcher. Ornamen-ornamen ini menurut Gani di samping menggantikan senjata juga merupakan obat capek bagi anggota P2 karena merupakan kebanggaan. Bukan hanya kebanggaan moril. Iapun dapat berbuah menjadi hasil nyata, apabila ada tugas yang berhasil dilaksanakan. Seorang anggota P2 yang berhasil menangkap penyelundup, boleh menunggu perkara itu diputus oleh pengadilan. Kemudian akan diadakan lelang barang-barang bukti. Para petugas P2 yang terlibat dalam pemberangusan itu boleh kemudian pasang senyum, karena 20% dari hasil pelelangan, akan diterimakan kepada mereka sebagai premi. Jumlah premi kadangkala bisa membalik nasib dengan tiba-tiba. Sebagaimana dialami oleh Abdul Gani dan kawan-kawannya bulan April tahun silam. Waktu itu Jakarta memberikan informasi bahwa kapal "King Lake" akan lewat dengan membawa batangan emas murni eks Singapura. Begitu kapal tersebut sandar, segera Gani dan kawan-kawan menggagahi. Di Tanjung Priok, King Lake memang sudah sempat diobrak abrik, ternyata belum ditemukan apa-apa. Dalam pemeriksaan pertama tak ada yang bisa dibongkar. "Sementara para awak kapal kelihatan tersenyum mencemooh kami," kata Gani. Gani jadi penasaran, lalu dipakainya ilmu yang sudah dipelajarinya selama 14 tahun. "Saya mulai menerapkan teori menduga dengan perhitungan," kata Gani. Kemudian kapal itu dimasuki untuk kedua kalinya. Diobrak-abrik. Waktu itulah Gani melihat sesuatu yang aneh di atas dinding. Ada sebuah almari menempel dinding dalam ruangan yang penuh dengan debu. Ruang itu sunyi, kotor, seakan-akan tidak pernah dibersihkan. Tetapi anehnya paku yang menancap pada papan ujungnya kelihatan mengkilap. Gani putar otak. "Menurut saya debu itu adalah debu buatan, mengingat paku tadi. Kesimpulannya adalah, papan itu baru dipasang kembali." Dengan analisa tersebut Gani bertindak. Ia membongkar dinding tersebut. Setelah tiga lapis papan dibuka, di bagian bawah tampaklah 27 batang emas murni dengan berat rata-rata 1 Kg. "Penemuan waktu itu tak ada yang tahu," kata Gani terus terang, "kalau saya mau berbuat curang, bisa saya sembunyikan emas-emas itu." Menurut pengakuannya ia kemudian ingat bahwa itu tugas. Ia langsung lapor pada atasannya. Emas itu serta merta disita. Ketika dilelang emas itu laku Rp 50 juta. Sesuai dengan ketentuan tentang premi untuk para petugas, dari hasil penjualan itu disisihkan sekitar Rp 8,7 juta untuk Gani dan kawan-kawannya. Setelah berbagi dengan rekan-rekannya, Gani sebagai detektip yang menemukan langsung mendapat premi sebesar Rp 1,3 juta. Tidak hanya itu saja. Kepala Inspeksi rupanya amat terkesan karena kelihaian Gani. Untuk itu ia diberi lagi uang tunai sebesar Rp 200 ribu. "Ini salah satu contoh yang membuat petugas bergairah melakukan tugasnya," kata Gani. Gani memulai kariernya di Jakarta. Ia pernah berdinas di Jambi, Indragiri dan baru tahun 1972 kembali ke Cirebon. Ia menghidupi isteri dan 12 orang anak. Karena pekerjaannya menyita banyak waktu, jumlah anak yang besar itu menimbulkan problem. Bukan dalam soal finansiil, tapi terutama dalam soal pendidikan. "Anak-anak saya sekolahnya terhambat karena terlalu sering pindah tempat," kata Gani. Gani dan kawan-kawannya yang tak bersenjata di Cirebon mungkin merupakan contoh yang baik untuk P2 yang bekerja dengan semestinya. Tapi bukan rahasia lagi bahwa masyarakat selalu melihat para petugas bea cukai dengan mata berbinar-binar, seperti melihat kucing tidur dalam almari. Satu-satunya yang mungkin pantas dikemukakan adalah mudah-mudahan kucing yang tidur itu menjaga agar tikus-tikus tidak rusuh sementara dia sendiri kuat iman dalam daerah yang basah kuyup itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus