BEA Cukai yang terkenal sebagai tempat penuh godaan, memiliki
tim bernama Pemberantas Penyelundupan (P2). Petugas-petugasnya
menamakan pekerjaan itu sebagai gabungan dari kerja seorang
intel, psikolog, tukang ramal dan tentu saja penegak hukum.
Mereka merasa sebagai psikolog karena harus dapat menebak
rahasia melalui tampang dan tingkah laku manusia yang
dihadapinya. Sedangkan sebagai peramal kadangkala mereka
bertindak cepat berdasarkan firasat, menebak-nebak tapi harus
berhasil menggulung barang selundupan. Di dalam praktek, seluruh
aspek ini disatukan.
Informan
Sasaran kerja mereka memang sangat jelas. Meskipun kelihatannya
mudah. Kalau ada kapal berlabuh dengan mencurigakan, mereka
bergegas menggeledah kapal kalau-kalau memuat barang yang tak
dilindungi oleh dokumen yang sah. Kalau ternyata ketemu, tinggal
lapor kepada "boss". "Setelah itu segalanya akan beres," kata
Kristanto (33 tahun) Kepala Sub. Seksi Intel pada BC Inspeksi
Cirebon. "Tetapi ternyata tidak hanya itu.
Yang sulit adalah masuknya iriformasi tidak bisa ditentukan
waktunya. Kadangkala nyelonong tengah malam. Ini berarti
kedamaian Kristanto dengan isteri dan 3 oranX anaknya terganggu.
"Boleh dikatakan kami bekerja penuh 24 jam," katanya kepada Aris
Amiris dari TEMPO, "apa boleh buat, memang sudah resiko sebagai
pegawai negeri."
Kristanto mendapat panggilan buat mengikuti pendidikan Bea Cukai
di Jakarta tahun 1966 -- 2 tahun setelah tamat SMA. Sambil
mengenyam ilmu bea cukai, ia sempat juga main mata dengan
seorang gadis asal Serang, yang kemudian jadi isterinya
sekarang. Tugas pertama Kristanto adalah menghadapi
bandit-bandit laut di Tanjung Perak Surabaya. Dari sana ia
dilempar ke beberapa kota di Kalimantan, tembus ke Jakarta dan
berakhir dengan sukses di Cirebon, di mana ia menduduki kursi
Kepala Seksi Intel.
Wilayah pantai Cirebon memanjang dari Karawang sampai Losari.
Untuk menguasai gerak-gerik seluruh permukaan laut itu Kristanto
memanfaatkan betul bantuan masyarakat. Dia memelihara informan.
"Saya mempunyai 4 orang pembantu yang secara tetap memberikan
informasi atau laporan. Informasi itu kemudian diolah kembali.
Tapi tidak semua informasi yang datang dari masyarakat ini
menelorkan buah. "Pernah ada laporan dari masyarakat, di pantai
Indramayu ada perahu yang dicurigai mengangkut barang
selundupan. Kami segera bergerak ke sana, tapi kemudian pulang
dengan kecewa sebab di sana tidak ada buruan," kata Kris.
Dengan contoh di atas tidak berarti informan itu tidak bisa
dipercaya. Semua informasi tetap diperlakukan sebagai bahan yang
menjadi sumber gerakan. Banyak kegagalan bukan disebabkan
kekeliruan informasi, tetapi faktor keterlambatan. Penyelundup
kian hari kian pintar, akibat pengalaman maupun karena banyak
ilmu dari kerap nonton bioskop. Dengan kode-kode tertentu dari
darat ke laut, barang-barang selundupan yang sedianya
diturunkan, bisa segera diamankan. Begitu mereka mendusin,
hidung informan sudah mencium mereka. Dalam hal ini yang paling
menyedihkan adalah kurangnya sarana. "Kami tidak punya speed
boat, apalagi kapal patroli. Bahkan senjata dan kendaraan pun
tidak ada," kata Kristanto kembali mengeluh.
Dengan kurangnya peralatan, setiap kali operasi, P2 yang
dikepalai Kristanto ini meminjam perahu milik nelayan. Meskipun
tak ada senjata, pemeriksaan dilaksanakan, apapun risikonya.
Anggota P2 yang melaksanakan perintah untuk memeriksa langsung
ke kapal dapat menceritakan betapa kesulitan-kesulitan mereka.
"Kerja sebagai anggota P2, ternyata banyak makan hati," kata
Abdul Gani (51 tahun) yang sudah bekerja di lapangan sejak tahun
1954. "Macam-macam tingkah para anak buah kapal itu biasanya,"
kata Gani meneruskan, "ada yang menyambut baik-baik dengan
membawa minuman, makanan atau hadiah. Barang-barang itu biasanya
tidak kami sentuh sebelum mengadakan pemeriksaan."
Dengan seragam abu-abu, P2 lapangan itu seperti memasuki medan
kucing-kucingan. Kalau tidak waspada, kita bisa dengan mudah
dikibulin. "Terhadap penyambutan yang ramah tamah, kita harus
curiga, karena pasti ada apa-apanya," kata Gani. "Justru begitu,
pemeriksaan jadi ditingkatkan dengan teliti. Kalau ternyata
kapal itu benar-benar memuat barang tanpa dokumen yang sah,
hadiah-hadiah mereka tak boleh diterima.
Premi 20%
Satu kali Gani pernah digertak. Ia baru saja hendak memasuki
salah satu ruangan mesin. Seorang awak kapal muncul dan
mengatakan kepadanya agar berhati-hati, sebab dalam ruangan itu
ada gas beracun. Lain waktu, begitu ia naik kapal, seorang awak
kapal mencoba menjatuhkan mental Gani. Orang itu berlagak
sebagai jagoan nomor wahid. "Secara demonstratif mereka
memainkan pisau di tangan," kata Gani. "Tapi kami tak mau kala
mental. Dengan baju seragam ini rasanya kami punya senjata yang
lebih ampuh dari senjata tajam." Ia kemudian menunjuk kepada
peraturan yang mengatur wewenangnya. Itulah yang selama ini
sudah melindungi dan ternyata memang lebih berkuasa dari bedil.
Seorang petugas P2 adalah seorang dengan tulisan"CUSTOMS"di dada
kiri. Di dada kanan terlihat lambang Tim Pemberantasan
Penyelundupan. Sementara punggungnya ada lingkaran dengan
tulisan Indonesian Custom Searcher. Ornamen-ornamen ini menurut
Gani di samping menggantikan senjata juga merupakan obat capek
bagi anggota P2 karena merupakan kebanggaan. Bukan hanya
kebanggaan moril. Iapun dapat berbuah menjadi hasil nyata,
apabila ada tugas yang berhasil dilaksanakan. Seorang anggota P2
yang berhasil menangkap penyelundup, boleh menunggu perkara itu
diputus oleh pengadilan. Kemudian akan diadakan lelang
barang-barang bukti. Para petugas P2 yang terlibat dalam
pemberangusan itu boleh kemudian pasang senyum, karena 20% dari
hasil pelelangan, akan diterimakan kepada mereka sebagai premi.
Jumlah premi kadangkala bisa membalik nasib dengan tiba-tiba.
Sebagaimana dialami oleh Abdul Gani dan kawan-kawannya bulan
April tahun silam. Waktu itu Jakarta memberikan informasi bahwa
kapal "King Lake" akan lewat dengan membawa batangan emas murni
eks Singapura. Begitu kapal tersebut sandar, segera Gani dan
kawan-kawan menggagahi. Di Tanjung Priok, King Lake memang sudah
sempat diobrak abrik, ternyata belum ditemukan apa-apa.
Dalam pemeriksaan pertama tak ada yang bisa dibongkar.
"Sementara para awak kapal kelihatan tersenyum mencemooh kami,"
kata Gani. Gani jadi penasaran, lalu dipakainya ilmu yang sudah
dipelajarinya selama 14 tahun. "Saya mulai menerapkan teori
menduga dengan perhitungan," kata Gani. Kemudian kapal itu
dimasuki untuk kedua kalinya. Diobrak-abrik. Waktu itulah Gani
melihat sesuatu yang aneh di atas dinding. Ada sebuah almari
menempel dinding dalam ruangan yang penuh dengan debu. Ruang itu
sunyi, kotor, seakan-akan tidak pernah dibersihkan. Tetapi
anehnya paku yang menancap pada papan ujungnya kelihatan
mengkilap. Gani putar otak. "Menurut saya debu itu adalah debu
buatan, mengingat paku tadi. Kesimpulannya adalah, papan itu
baru dipasang kembali."
Dengan analisa tersebut Gani bertindak. Ia membongkar dinding
tersebut. Setelah tiga lapis papan dibuka, di bagian bawah
tampaklah 27 batang emas murni dengan berat rata-rata 1 Kg.
"Penemuan waktu itu tak ada yang tahu," kata Gani terus terang,
"kalau saya mau berbuat curang, bisa saya sembunyikan emas-emas
itu." Menurut pengakuannya ia kemudian ingat bahwa itu tugas. Ia
langsung lapor pada atasannya. Emas itu serta merta disita.
Ketika dilelang emas itu laku Rp 50 juta. Sesuai dengan
ketentuan tentang premi untuk para petugas, dari hasil penjualan
itu disisihkan sekitar Rp 8,7 juta untuk Gani dan
kawan-kawannya. Setelah berbagi dengan rekan-rekannya, Gani
sebagai detektip yang menemukan langsung mendapat premi sebesar
Rp 1,3 juta. Tidak hanya itu saja. Kepala Inspeksi rupanya amat
terkesan karena kelihaian Gani. Untuk itu ia diberi lagi uang
tunai sebesar Rp 200 ribu. "Ini salah satu contoh yang membuat
petugas bergairah melakukan tugasnya," kata Gani.
Gani memulai kariernya di Jakarta. Ia pernah berdinas di Jambi,
Indragiri dan baru tahun 1972 kembali ke Cirebon. Ia menghidupi
isteri dan 12 orang anak. Karena pekerjaannya menyita banyak
waktu, jumlah anak yang besar itu menimbulkan problem. Bukan
dalam soal finansiil, tapi terutama dalam soal pendidikan.
"Anak-anak saya sekolahnya terhambat karena terlalu sering
pindah tempat," kata Gani.
Gani dan kawan-kawannya yang tak bersenjata di Cirebon mungkin
merupakan contoh yang baik untuk P2 yang bekerja dengan
semestinya. Tapi bukan rahasia lagi bahwa masyarakat selalu
melihat para petugas bea cukai dengan mata berbinar-binar,
seperti melihat kucing tidur dalam almari. Satu-satunya yang
mungkin pantas dikemukakan adalah mudah-mudahan kucing yang
tidur itu menjaga agar tikus-tikus tidak rusuh sementara dia
sendiri kuat iman dalam daerah yang basah kuyup itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini