JALUR kaki lima yang membelit Taman Suropati Jakarta, di depan
kediaman Dubes Amerika Serikat, sudah dikapling. Bukan untuk
kios-kios liar. Tapi bagi pedagang lukisan jalanan yang sejak
lama berpangkalan di situ. Batas kapling mereka hanya batang
pohon. Seorang penjual dapat menguasai sampai 3 kapling.
Lukisan "Gaya Taman Suropati" memang sudah terkenal. Kalau bukan
pemandangan sawah yang sedang menguning, tentu danau dengan
pohon-pohnn rindang dan sepasang kijang yang asyik makan rumput.
Alam di dalam lukisan sana adalah sesuatu yang molek dan mati.
Problim tidak ada. Yang ada hanya warna warni. Kadangkala kita
melihat pantai dengan busa ombak yang menggulung bertentangan
dengan arah ombak. Alam benda juga banyak. Wanita bertelanjang
dada pun ada.
20 Prosen
Kalau sebuah lukisan Amri Yahya misalnya sampai berharga Rp 3
juta, di Taman Suropati harga lukisan ringan sekali. Hanya
dengan 2 - 3 ribu rupiah, sebuah gambar tanpa bingkai sudah bisa
diangkut. "Banyak turis asing mencari ke sini," kata Maman,
salah seorang penjual dari Pasar Rumput. Ia sudah tahunan
berjualan lukisan begituan. "Dulu saa memikulnya keliling kota.
Tapi kelnudian bersama beberapa teman diambil keputusan untuk
menetap di sini," ujarnya kepada Kartono Mohamad dari TEMPO.
Maman dan kawan-kawannya bukan pelukis. Mereka hanya penjual.
"Kami hanya mengambil komisi. Tarip lukisan ditetapkan sendiri
oleh pelukisnya. Kalau laku kami mendapat 20 prosen," kata salah
seorang rekan Maman. Tapi rupa-rupanya 20 prosen tidak cukup.
Sering harga dinaikkan sendiri oleh para pedagang itu. Akibatnya
kemungkinan tawar menawar masih bisa terjadi - hal yang akan
sungkan dilakukan kalau pembeli bertemu langsung dengan semman.
Boleh heran mengapa lukisan-lukisan murah justru berada di
daerah elite Menteng. Dan jangan kira lukisan tersebut semuanya
bermutu kelas kambing. Kadang kita dapat menemukan lukisan naif
yang tiba-tiba terasa unik sekali. Seperti lukisan Pasar Kota
Kecil yang dibikin seorang pelukis setengah baya dari Cipinang
(lihat gambar). Lukisan itu menampilkan kesederhanaan dan ke
jujuran Dengan teknik yang seadanya ia sempat membangkitkan
nostalgia bagi mereka yang pernah memiliki lukisan semacam itu
di dinding sekolah SD di zaman tahun 50-an. Apalagi detailnya
melantunkan pengamatan pada kehidupan sehingga menimbulkan haru.
Di sana kita lihat seorang wanita sedang menciumi anak yang
berada dalam gendongannya. Di sini alam tidak diperlakukan mati
lagi -- seperti dalam lukisanlukisan lain. Manusia-manusia hidup
di dalamnya, tampil beserta problim mereka.
Pergaulan dengan lukisan, menyebahkan para penjual juga tahu
sedikit seluk-beluk karya seni. Mereka dapat menerangkan kenapa
lukisan dibuat dengan campuran cat minyak dan cat kaleng. Yang
pertama untuk mencegah cat retak kalau digulung. Yang kedua,
supaya mengkilap dan komersiil.
Barang-barang itu tidak hanya berasal dari Jakarta. Bandung
juga ikut ambil bagian, Lukisan dari kota kembang ini tidak
dijual dengan sistim komisi, tapi bayar tunai. Setiap minggu
sekali datanglah sebuah kolt membawa barang-barang itu. Para
pedagang Taman Surapati dapat memeriksa dan memilih terleblh
dahulu, mana yang dianggap cukup komersiil. Sisanya
dikembalikan. Bandung tampaknya memiliki sebuah perusahaan yang
khusus bergerak di bidang produksi lukisan macam ini.
Hubungan para pedagang Surapati, akrab satu sama lain. Mereka
bergiliran menjaga, untuk memberi kesempatan masing-masing makan
di Taman Lembang. Mereka juga membagi uang iuran untuk pos
polisi di Taman Suropati yang mengawasi keamanan kawasan itu,
Memang, sayangnya keamanan ini tidak dapat terjamin 100 prosen.
Kalau para petugas dari Kamtib DKI muncul barang dagangan bisa
diungsikan ke kantor Kamtib. Memang bisa saja ditarik kembali
--tapi harus bayar Rp 4 ribu.
"Tetapi hubungan kami sekarang dengan Kamtib sudah baik," kata
seorang dari mereka. Tak disebutkan apa yang membuat baik.
Mungkin sekali ada kewajiban-kewajiban baru yang telah
disepakati bersama. Yang terang, pangkalan itu kelihatannya
tidak ingin ditinggalkan. Pasaran cukup baik. Paling tidak 5
atau 6 lukisan terjual sehari. Terutama kalau rombongan turis
lewat. Menurut pengalaman, yang disukai bukan lukisan dada
telanjang. Tapi pemandangan Indonesia yang khas. Sawah misalnya,
maklum untuk kenang-kenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini