Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wanita yang menciumi anaknya

Taman surapati jakarta dikenal sebagai pusat penju alam lukisan tanpa bingkai dengan harga ringan. pembelinya kebanyakan turis asing yang mencari kenang-kenangan berupa lukisan tentang alam indonesia. (sr)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALUR kaki lima yang membelit Taman Suropati Jakarta, di depan kediaman Dubes Amerika Serikat, sudah dikapling. Bukan untuk kios-kios liar. Tapi bagi pedagang lukisan jalanan yang sejak lama berpangkalan di situ. Batas kapling mereka hanya batang pohon. Seorang penjual dapat menguasai sampai 3 kapling. Lukisan "Gaya Taman Suropati" memang sudah terkenal. Kalau bukan pemandangan sawah yang sedang menguning, tentu danau dengan pohon-pohnn rindang dan sepasang kijang yang asyik makan rumput. Alam di dalam lukisan sana adalah sesuatu yang molek dan mati. Problim tidak ada. Yang ada hanya warna warni. Kadangkala kita melihat pantai dengan busa ombak yang menggulung bertentangan dengan arah ombak. Alam benda juga banyak. Wanita bertelanjang dada pun ada. 20 Prosen Kalau sebuah lukisan Amri Yahya misalnya sampai berharga Rp 3 juta, di Taman Suropati harga lukisan ringan sekali. Hanya dengan 2 - 3 ribu rupiah, sebuah gambar tanpa bingkai sudah bisa diangkut. "Banyak turis asing mencari ke sini," kata Maman, salah seorang penjual dari Pasar Rumput. Ia sudah tahunan berjualan lukisan begituan. "Dulu saa memikulnya keliling kota. Tapi kelnudian bersama beberapa teman diambil keputusan untuk menetap di sini," ujarnya kepada Kartono Mohamad dari TEMPO. Maman dan kawan-kawannya bukan pelukis. Mereka hanya penjual. "Kami hanya mengambil komisi. Tarip lukisan ditetapkan sendiri oleh pelukisnya. Kalau laku kami mendapat 20 prosen," kata salah seorang rekan Maman. Tapi rupa-rupanya 20 prosen tidak cukup. Sering harga dinaikkan sendiri oleh para pedagang itu. Akibatnya kemungkinan tawar menawar masih bisa terjadi - hal yang akan sungkan dilakukan kalau pembeli bertemu langsung dengan semman. Boleh heran mengapa lukisan-lukisan murah justru berada di daerah elite Menteng. Dan jangan kira lukisan tersebut semuanya bermutu kelas kambing. Kadang kita dapat menemukan lukisan naif yang tiba-tiba terasa unik sekali. Seperti lukisan Pasar Kota Kecil yang dibikin seorang pelukis setengah baya dari Cipinang (lihat gambar). Lukisan itu menampilkan kesederhanaan dan ke jujuran Dengan teknik yang seadanya ia sempat membangkitkan nostalgia bagi mereka yang pernah memiliki lukisan semacam itu di dinding sekolah SD di zaman tahun 50-an. Apalagi detailnya melantunkan pengamatan pada kehidupan sehingga menimbulkan haru. Di sana kita lihat seorang wanita sedang menciumi anak yang berada dalam gendongannya. Di sini alam tidak diperlakukan mati lagi -- seperti dalam lukisanlukisan lain. Manusia-manusia hidup di dalamnya, tampil beserta problim mereka. Pergaulan dengan lukisan, menyebahkan para penjual juga tahu sedikit seluk-beluk karya seni. Mereka dapat menerangkan kenapa lukisan dibuat dengan campuran cat minyak dan cat kaleng. Yang pertama untuk mencegah cat retak kalau digulung. Yang kedua, supaya mengkilap dan komersiil. Barang-barang itu tidak hanya berasal dari Jakarta. Bandung juga ikut ambil bagian, Lukisan dari kota kembang ini tidak dijual dengan sistim komisi, tapi bayar tunai. Setiap minggu sekali datanglah sebuah kolt membawa barang-barang itu. Para pedagang Taman Surapati dapat memeriksa dan memilih terleblh dahulu, mana yang dianggap cukup komersiil. Sisanya dikembalikan. Bandung tampaknya memiliki sebuah perusahaan yang khusus bergerak di bidang produksi lukisan macam ini. Hubungan para pedagang Surapati, akrab satu sama lain. Mereka bergiliran menjaga, untuk memberi kesempatan masing-masing makan di Taman Lembang. Mereka juga membagi uang iuran untuk pos polisi di Taman Suropati yang mengawasi keamanan kawasan itu, Memang, sayangnya keamanan ini tidak dapat terjamin 100 prosen. Kalau para petugas dari Kamtib DKI muncul barang dagangan bisa diungsikan ke kantor Kamtib. Memang bisa saja ditarik kembali --tapi harus bayar Rp 4 ribu. "Tetapi hubungan kami sekarang dengan Kamtib sudah baik," kata seorang dari mereka. Tak disebutkan apa yang membuat baik. Mungkin sekali ada kewajiban-kewajiban baru yang telah disepakati bersama. Yang terang, pangkalan itu kelihatannya tidak ingin ditinggalkan. Pasaran cukup baik. Paling tidak 5 atau 6 lukisan terjual sehari. Terutama kalau rombongan turis lewat. Menurut pengalaman, yang disukai bukan lukisan dada telanjang. Tapi pemandangan Indonesia yang khas. Sawah misalnya, maklum untuk kenang-kenangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus