PENDERITAAN anak-anak kita tak kepalang tanggung. Menurut survei
nasional yang diselenggarakan selama 1976-1980, tiap tahun
sekitar 60. 000 anak-anak menderita kerusakan kornea mata yang
bisa menyebabkan buta. Jumlah mereka seluruhnya sekarang ini
diperhitungkan 6,5 juta orang. Angka ini akan meningkat lagi
kalau anak berusia di atas 5 tahun turut disurvei. Begitu juga
kalau sample untuk anak-anak kota jumlahnya sama banyak dengan
anak-anak pedesaan.
Survei tersebut diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan
bekerjasama dengan Helen Keller International (sebuah lembaga
bantuan untuk menolong kebutaan dari Amerika Serikat).
Hasil-hasil pengumpulan data dari 23 provinsi itu ternyata
menunjukkan tingkat kegawatan penyakit sudah melebihi kriteria
yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut WHO
penyakit mata di kalangan anak menjadi masalah kalau
penderitanya mencapai 0,1 permil. Sedangkan di Indonesia angka
itu sudah 0,5 persen. Di daerah Aceh angka kegawatan itu sudah
mencapai 50 kali lipat dari angka WHO, sedangkan Lombok 20 kali.
Otak Babi
Menurut Ignatius Tarwotjo, kepala Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan kaya atau miskinnya sebuah daerah tidak bisa dijadikan
pegangan. "Cianjur yang kita anggap lebih kaya, ternyata
penderita kerusakan korneanya lebih tinggi dibandingkan Gunung
Kidul," katanya. Anak-anak di Cianjur yang kaya beras, menurut
Tarwotjo kurang banyak memanfaatkan sayur-sayuran hijau.
Sedangkan di daerah Gunung Kidul sayuran yang merupakan salah
satu sumber vitamin A banyak dikonsumsi anak-anak.
Ancaman kebutaan terhadap anakanak ini sebenarnya sudah sejak
lama diketahui. Pada tahun 1973 pemerintah telah berusaha
mencegah kebutaan tersebut dengan memberikan secara cumacuma
vitamin A dosis tinggi. Hanya saja daerah yang dijangkau ketika
itu terbatas pada 20 kabupaten di Pulau Jawa.
Sekarang ini bantuan cuma-cuma itu akan meliputi semua daerah.
Vitamin A dosis tinggi itu (200.000 International Unit atau 100
kali lipat dosis normal) akan diberikan tiap 6 bulan sekali.
Untuk tahun 1981 ini paling tidak akan diberikan sekitar 14 juta
kapsul. Menurut Tarwotjo obat itu merupakan sumbangan dari
Unicef dan satu kapsul hargany? 2 sen dollar. "Di samping
program jangka pendek ini akan digalakkan pula penerangan
mengenai gizi. Terutama pemanfaatan potensi daerah
masing-masing, apakah itu bersumber dari sayuran maupun daging,"
katanya.
Di samping itu Departemen Kesehatan juga sedang mencari "kuda
tunggangan" sebagai tempat menitipkan vitamin A. Menurut cerita
Tarwotjo ada tiga sumber makanan yang bisa dijadikan kuda
tunggangan. Yaitu monosodium glutamate (vetsin), gula dan
gandum. "Tetapi yang paling potensial adalah vetsin," katanya
kepada TEMPO. Yang memproduksi bumbu masak ini hanya 8 pabrik
jadi lebih mudah mengawasinya. Sedangkan gula meliputi 80
pabrik jadi sulit mengontrolnya. Jumlah pabrik gandum memang
hanya 3, tapi konsumsi masyarakat pedesaan terlalu kecil.
Seperti Filipina yang sudah mencapurkan vitamin A ke dalam
vetsin sejak 2 tahun yang lalu, maka Indonesia menurut Tarwotjo
juga sedang meneliti kemungkinan ke arah itu. Penelitian
tersebut meliputi pemasaran, supaya vetsin bervitamin A itu
benar-benar bisa mencapai masyarakat pedesaan. "Kemungkinan
bungkusnya kecil-kecil. Sebab sekarang ini vetsin yang masuk ke
desa adalah dalam bungkus-bungkus kecil," katanya.
Bagaimana mencapurkan vitamin A ke dalam vetsin itu sekarang ini
sedang dicoba di laboratorium. Di Filipina pencampuran tersebut
kurang sempurna, hingga sampai saat tertentu vitamin A-nya
memisahkan diri. Jadi dikhawatirkan tidak semua vitamin A yang
ditumpangkan termakan. Warna vetsin juga berubah menjadi kuning.
Diteliti juga bagaimana supaya vetsin yang bercampur vitamin A
hanya masuk ke desa. Sebab kalau orang-otang kota juga ikut
memakannya dikhawatirkan akan menimbulkan masalah kesehatan
pula.
Menurut hasil survei nasional tempo hari orang desa rata-rata
seminggu sekali menggunakan vetsin. Jadi ribut-ribut vetsin bisa
merusak jaringan saraf binatang percobaan sebagaimana dilansir
Dr. Iwan Budiarso bulan April yang lalu nampaknya tidak terlalu
mengkhawatirkan. Yang menjadi soal sekarang tidak semua daerah
masyarakat doyan vetsin.
Orang-orang di Aceh misalnya tidak mau menggunakan vetsin
(padahal daerah ini paling gawat penderita kerusakan matanya).
Ada yang mengatakan orang orang di daerah itu tak mau memakan
vetsin karena desas-desus bahwa penyedap makanan tersebut dibuat
dari otak babi. Nah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini