Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kumpulan Cerita Dongeng Anak yang Inspiratif dan Mendidik

Dongeng sering digunakan sebagai alat untuk menghibur serta memberikan pelajaran bagi anak-anak sejak usia dini. Ini kumpulan cerita dongeng anak.

9 Desember 2024 | 20.38 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang pria membacakan dongeng menggunakan boneka pada gelaran Festival Literasi Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Jumat, 8 September 2023. Festival tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Aksara Internasional sekaligus mendukung Jakarta sebagai City of Literature dalam kegiatan tersebut diharap dapat menambah minat baca anak hingga masyarakat luas. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Cerita dongeng adalah kisah fiksi yang biasanya disampaikan secara lisan atau tertulis dan memiliki unsur fantasi yang kuat. Cerita ini biasanya mengandung pesan moral atau nilai-nilai kehidupan. Dongeng sering digunakan sebagai alat untuk menghibur yang dapat memberikan pelajaran bagi anak-anak sejak usia dini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membacakan cerita dongeng kepada anak sebelum tidur adalah kegiatan menyenangkan dan juga membantu anak belajar dan berimajinasi. Dikutip dari buku Kalah Oleh Si Cerdik karya Atisah, berikut beberapa cerita dongeng menarik yang bisa dijadikan pilihan.

Kumpulan Cerita Dongeng Anak

1. Kalah oleh Si Cerdik 

Di sebuah hutan ada sumber air yang tidak pernah kering. Airnya jernih dan mengalir ke sebuah telaga. Semua binatang yang menjadi warga di hutan itu minum dari sumber air yang sama. Setiap golongan binatang sudah mempunyai jadwal tidak tertulis untuk bergiliran minum. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada saat itu kebetulan musim kemarau. Semua binatang merasa sangat haus, tetapi tidak ada yang berani minum di luar jadwalnya. Semua binatang taat pada aturan.

Pada Suatu pagi yang cerah banyak binatang menuju sumber air. Sesampainya di pinggir telaga mereka tidak mau turun. Airnya kotor karena digunakan untuk berkubang oleh seekor badak. Binatang-binatang itu mengelilingi telaga. 

Mereka memperhatikan tingkah laku sang Badak. Tidak satu pun yang berani menegurnya. Mereka takut karena Badak badannya besar dan bercula. 

Di pihak lain, Badak merasa bangga menjadi pusat perhatian dan tontonan. Ia tidak peduli pada binatang lain yang menahan rasa haus. 

Pada hari berikutnya, Badak masih berada di telaga. Binatang-binatang lain sudah tak tahan lagi ingin minum. Mereka bermusyawarah mencari jalan keluar supaya Badak pergi dari telaga.

“Teman-teman, bagaimana jalan keluarnya?” tanya Harimau.

“Hem, Babi Hutan, kamukan punya sihung, coba digunakan,” kata Kerbau.

“Bukan aku tak mau, tapi sihung-ku tidak akan kuat menembus kulit Badak. Bisa-bisa sihung-ku rontok!” jawab Babi Hutan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Hem, aku punya tanduk, tetapi …,” gumam Kerbau.

“Kerbau, Kerbau, kalau tak sanggup, bilang saja,” kata Monyet.

“He he, kamu? Berani, Nyet?” tanya Kerbau.

“Sama, ... takut,” jawab Monyet.

“Aku juga tak sanggup,” kata Kerbau.

“Kalau begitu, Ular Sanca, jangan cuma bergantung di akar. Cepat cari cara untuk mengalahkannya,” kata Burung. 

“Aduh, aku minta maaf. Aku tak sanggup. Dia begitu besar. Tubuhku tak akan bisa membelitnya,” kata Ular Sanca.

Suasana menjadi sepi sebab tidak ada lagi yang berani melawan sang Badak. Mereka hanya bisa saling memandang.

Tiba-tiba Harimau berkata, “Jika kita tidak sanggup, kita minta tolong pada sang Kancil saja. Walaupun badannya kecil, otaknya pintar. Setuju?”

“Setuju!” jawab binatang yang lain serempak.

“Bagaimana, Kancil?” tanya Harimau sambil melihat Kancil.

“Lo, kalian ini bagaimana? Tidak punya malu. Aku ini tak punya kemampuan dan tidak punya kekuatan apa-apa,” jawab Kancil.

“Jangan pura-pura, Kancil. Kami percaya kamu bisa mengalahkan si Badak,” kata Banteng.

“Ya, Cil. Kami percaya. Keluarkan kepintaranmu,” kata binatang yang lain.

“Baiklah, akan kucoba asal kalian percaya,” kata Kancil.

“Kami percaya,” jawab binatang yang berkumpul itu berpikir keras. Ia mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Badak yang badannya besar dan kuat. 

Ia berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba ia tersenyum sendirian. Ketika melihat Kancil tersenyum, binatang yang lain ikut senang. Itu pertanda masalah mereka akan dapat diatasi oleh Kancil. 

Kancil  segera pergi menemui Badak. Pada saat itu sang Badak tengah berkubang.

“Selamat siang, Tuan yang sangat kami hormati, yang gagah perkasa, yang tidak ada bandingannya. Hamba memberanikan diri mengganggu kegiatan Tuan karena ada kabar penting yang perlu hamba sampaikan,” kata Kancil dengan kata-kata yang lembut dan sopan.

Badak pun segera bangun. Ketika mendengar ada binatang lain memujinya, ia merasa tersanjung. Ia kemudian bangkit sambil berkata, “Kabar penting, Kancil? Cepat bicara, aku ingin mendengarnya,” kata Badak sambil tersenyum.

Kancil mendekat ke arah Badak. Ia berpura-pura ingin menyampaikan sesuatu secara rahasia.“Hamba kasihan sama Tuan. Badan besar berkubang di selokan kecil. Kulahnya sebesar tempurung. Tidak pantas, Tuan. Oh ya, ada makhluk yang berkhianat kepada Tuan. Jalan airnya ditutup supaya tidak mengalir. Sayang, makhluk itu tidak kelihatan oleh mata kita, dia makhluk gaib,” kata kancil.

“Apa? Ada yang jahil? Siapa? Di mana?” tanya Badak dengan emosional.

“Tenang, Tuan. Tenang,” jawab Kancil.

Suara Badak yang menggelegar membuat Kancil terkejut dan gemetar. Kancil mencari jalan bagaimana agar Badak bisa secepatnya dikalahkan.

“Tuan, makhluk gaib itu berada di dalam pohon teureup2,” kata Kancil sambil menunjuk sebatang pohon di depan Badak.

“Ah, yang benar?” tanya Badak.

“Benar, Tuan. Tuan harus mengawasi mereka dengan cara berdiri di bawah pohon teureup itu setengah hari, kemudian setengah hari lagi barulah Tuan berkubang di telaga. Kalau tidak demikian, air telaga cepat atau lambat akan surut dan Tuan tidak memiliki tempat berkubang lagi ,” jelas Kancil.

“Awas! Kalau kamu bohong,” ancam Badak.

“Percayalah, Tuan,” bujuk Kancil.

Tanpa berpikir lagi, Badak segera naik ke atas dan berjalan menuju pohon teureup. Ia pun mengawasi pohon itu selama setengah hari.

Sementara itu, binatang yang lain satu per satu berdatangan untuk minum air telaga. Ketika Badak telah selesai mengawasi pohon teureup, ia kembali menuju telaga. Sementara, binatang yang lainnya meninggalkan telaga.

Dengan demikian, sejak saat itu ada jadwal tidak tertulis yang cukup adil bagi semua binatang yang memerlukan air telaga. Akhirnya, mereka mengucapkan terima kasih kepada sang Kancil yang cerdik itu. Berkat kecerdikannyalah masalah di lingkungan mereka dapat diatasi.

2. Asal Mula Suara Burung Tekukur

Konon, Tekukur termasuk burung yang berperilaku boros. Setiap hari pekerjaannya hanya terbang ke sana, kemari, sekehendak hatinya. Ia juga termasuk burung yang tidak memikirkan masa depannya. 

Jika punya makanan, banyak ataupun sedikit langsung dihabiskan pada saat itu juga. Ia tidak pernah berpikir untuk menyimpan sedikit pun makanan tersebut. Di dalam sarangnya tak tertinggal makanan apa pun. 

Berbeda dengan Tekukur, Betet adalah burung yang sangat memikirkan masa depannya. Jika punya makanan, ia sisihkan sebagian. Di dalam sarangnya banyak tersimpan makanan, seperti jagung, padi, dan petai.

Pada suatu waktu datanglah musim paceklik. Untuk menghadapi musim itu, Betetdan keluarganya tenang-tenang saja. Sementara itu, Tekukur merasa sangat kesusahan. Mereka terbang ke timur tak ada makanan. Begitu pula saat mereka terbang ke barat tak mendapatkan apa pun. 

Kedua Tekukur, suami istri itu masih memiliki harapan, lalu terbang ke utara, tapi ternyata hanya kegersangan yang mereka temui. Mereka terbang lagi ke selatan, sama saja, tak menemukan apa pun. Mereka hanya mendapatkan kekecewaan dan kelelahan.

“Kamu sih boros,” kata suaminya.

“Kamu sendiri? Jangan ingin menang sendiri!” istrinya menjawab ketus. 

Setiap hari suami istri Tekukur itu bertengkar. Tidak ada keceriaan di wajah mereka.

Puter, saudara Tekukur, datang berkunjung. Ketika melihat kesusahan saudaranya, Puter merasa kasihan. Ia berusaha membantu saudaranya, mencari jalan keluar.

“Saudaraku, coba kamu minta tolong kepada Betet. Pinjamlah padi. Nanti dibayar kembali waktu musim panen.” Saran Puter kepada Tekukur. 

“Terima kasih, Puter. Aku dan istriku akan mencoba meminta pertolongan Betet. Mudah-mudahan ia punya rasa kasihan,”

Siang itu udara sangat panas. Suami istri Tekukur lemas karena sudah beberapa hari tidak makan. Terpaksa mereka harus mengepakkan sayapnya. Padahal, sarang Betet cukup jauh.

“Betet yang baik, keluargaku mohon kebaikanmu. Kami minta pertolongan.”

“Hem, … aku tak punya apa-apa.” 

“Aku mau pinjam padi untuk makan anakku yang sedang sakit.”

“Padiku tinggal sedikit.”

“Tolonglah.” 

“Ya, ... boleh. Namun, ada syaratnya,” 

“Apa syaratnya?” 

“Bawa satu anakmu ke sini. Aku perlu untuk menemani anak-anakku dan merapikan rumahku selagi aku pergi.”

“Anakku sakit semua.”

“Kalian perlu padi atau tidak?”

“Ya, sangat perlu, tetapi ....”

“Terserah.”

Tekukur kembali ke sarangnya. Suami istri Tekukur itu berunding, dengan berat hati mereka memilih anaknya yang sulung untuk dijadikan teman anak-anak Betet. 

Pada saat Tekukur menerima lima untai padi, air mata mereka mengucur deras. Mereka sebenarnya tidak tega anaknya menjadi pembantu dan harus tinggal di sarang Betet. 

Dalam perjalanan pulang suami istri Tekukur itu terbang dengan pelan, tanpa daya. Jika saja kedua burung itu tidak ingat anaknya yang lain, mereka malas terbang kembali ke sarangnya.

Beberapa hari keluarga Tekukur itu dapat bertahan hidup. Sehari mereka sekeluarga memakan satu untai padi. Pada hari keenam padi pinjaman dari keluarga Betet sudah habis. Mereka kembali bermasalah dan hanya bisa merenungi nasibnya. 

Suami istri Tekukur sangat sedih dan teringat akan penukaran padi yang tidak seimbang. Mereka teringat anaknya yang tinggal di rumah keluarga Betet. Mereka teringat pula pada musim panen yang telah berlalu. Masa panen pun datangnya masih lama lagi.

Suami istri Tekukur itu menyesal seumur hidup. Mereka menyesal tidak meniru kebiasaan keluarga Betet untuk menyimpan sebagian makanannya.

“Siut ... jeprot!” dari atas ada yang mematuk dan mencakar kepala pasangan Tekukur itu. Kedua Tekukur pun spontan terbang.

“Aduh, Alap-Alap. Kenapa kamu ini? Tidak ada masalah di antara kita,” kata Tekukur sambil terus terbang. Namun, Alap-Alap terus mengejarnya dan berusaha mematuknya.

“Eh, Tekukur! Tidak punya rasa kasih sayang sama anak! Anak sendiri kalian tukar hanya dengan beberapa untai padi. Dasar burung tak tahu diri! Teganya kalian menukar anak. Aku benci kalian! Benci!” teriak Alap-Alap.

“Apa hubungannya denganmu? Tak ada, bukan?” jawab Tekukur. 

“Memang tak ada. Namun, aku peduli akan kasih sayang. Mengapa sebagai orang tua kamu tidak punya kasih sayang? Mengapa tidak belajar mengumpulkan makanan?” kata Alap-Alap sambil terus terbang.

“Aku sendiri sedang susah, Alap-Alap. Mengapa kamu menambah kesusahan kami?”

Sepasang Tekukur itu tak tahan lagi mendengar omelan burung Alap-Alap. Mereka terbang diam-diam tanpa tujuan yang jelas. Air mata mereka deras mengucur. Sambil menangis, Tekukur betina mengeluarkan kata-kata penyesalannya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung!

Tekukur jantan menyambut perkataan  istrinya, “Kaduhung, kaduhung, kaduhung, aduh, aduh!”. Sementara itu, manusia mendengar bunyi Tekukur betina “kaduhung” menjadi “tekukur”, sedangkan bunyi Tekukur jantan “kaduhung, aduh, aduh” menjadi “tekukur, guk, guk”.

3. Asal Mula Tabiat Musang 

Musim kemarau panjang sekali. Hutan-hutan gundul, pohon-pohon meranggas, sungai kering kerontang. Tak ada makanan sedikit pun. Kelaparan di mana-mana. Banyak binatang yang lemas dan mati karena kehausan dan kelaparan.

Konon ada seekor Musang yang tubuhnya sangat lemas. Beberapa hari ia tidak menemukan makanan. Walaupun lemas, ia memaksakan diri berjalan ke sana kemari mencari makanan. “Sudah berhari-hari aku mencari makanan, tetapi tak ada makanan sedikit pun kutemukan. Ah, nasib,” kata Musang itu mengeluh.

Panas terik membuat tubuhnya tak berdaya. Dengan sisa tenaganya ia tetap melangkahkan kakinya pelan-pelan. Akhirnya, sampailah sang Musang di hutan belantara.

“Oh, ada bangunan!” kata Musang terkejut. Matanya tak lepas mengawasi bangunan itu. Ada harapan untuk mendapatkan makanan karena kelihatannya bangunan itu tempat menyimpan makanan. Ada pula kecemasan kalau-kalau apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. Berkat ketajaman penciumannya, Musang itu akhirnya tahu kalau bangunan tersebut memang gudang makanan. 

Air liurnya meleleh karena membayangkan nikmatnya makanan. Walaupun tubuhnya sangat lemas, ia masih berusaha menumbuhkan keberanian. Musang berjalan mengelilingi tembok bangunan gudang. Ia mencari lubang supaya bisa masuk.

“Wah, ini dia,” kata Musang merasa senang sebab menemukan lubang. Sayangnya lubang itu sangat kecil. Musang memasukkan kepalanya, kemudian badannya.

Musang pun masuk ke ruangan gudang  itu. Ia terpana melihat makanan begitu banyak. Ia seperti dalam mimpi saja. Makanannya enak-enak. Musang yang tadinya lemas, semangatnya bangkit kembali. Ia langsung memakan semua daging dan ikan yang ada di situ.

“Ah, nikmat sekali hidup ini. Banyak sekali makanan di sekelilingku. Sampai kapan aku bisa hidup seenak ini?” gumam Musang itu sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah. Musang itu terus saja makan. Ia ingin menghabiskan semua makanan yang ada di gudang itu. 

“Aku tidak peduli siapa pemilik gudang makanan ini. Pokoknya semuanya akan kuhabiskan. Ha ha ha ... ha ha ha,” kata Musang itu kegirangan. 

Tiba-tiba saja pintu terbuka. Sang Musang sangat terkejut sebab semuanya di luar perhitungannya. Yang datang adalah seorang manusia tinggi besar. Manusia itu berdiri di depan pintu mengawasi ke dalam gudang. Pemilik gudang sangat marah melihat makanannya berantakan. Dia mencari-cari siapa yang melakukan semua itu.

“Hai, siapa yang mengobrak-abrik gudangku?” 

Tak ada jawaban. Keadaan dalam ruangan sunyi. Pemilik gudang bertambah marah.

“Cepat ke luar! Tunjukkan batang hidungmu!” teriak pemilik gudang sambil mengamati ruangan. 

Di sudut yang agak gelap ia melihat suatu benda yang mencurigakan. Warnanya kehitam-hitaman. Dengan mengendap-endap pemilik gudang mendekati benda yang dicurigainya itu. 

“Hah, seekor musang?” kata pemilik gudang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Pemilik gudang mengejar Musang sambil membawa kayu. Musang teringat akan lubang yang semula dilewatinya. Ia berlari ke lubang itu dan memasukkan kepalanya. Kepala Musang itu masuk, tetapi tubuhnya tidak karena perutnya telah membesar. Pemilik gudang telah berdiri di hadapan Musang.

“Sekarang apa dayamu?” sentak pemilik gudang. Pemilik gudang menangkap sang Musang. Musang itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya, sang Musang dikurung oleh pemilik gudang dan menjadi binatang peliharaannya.

4. Ki Mandahong

Di tengah hutan belantara terdapat sebuah sungai, tempat minum para penghuni hutan. Di hutan itu ada raja monyet (kera) yang bernama Ki Mandahong. Tubuhnya tinggi besar, berbeda dari monyet lainnya. 

Ki Mandahong sedang duduk termenung  di tepi sungai. Ia menyendiri sambil merenung memikirkan perjalanan hidupnya. Sebagai raja monyet, Ki Mandahong harus turun dari jabatannya, dilengserkan oleh rakyatnya sendiri  karena usianya sudah tua. Sementara itu, Ki Mandahong masih ingin menjadi raja monyet di belantara itu. 

Ki Mandahong bangun, kemudian berjalan pelan menyusuri tepi sungai. Tidak lama kemudian, ia naik pohon mangga limus yangtengah berbuah. Buahnya ranum dan sudah ada yang masak. 

“Mmm… tidak jadi mandah juga, makanan  banyak,” kata Ki Mandahong menghibur hati. 

Tangannya memetik mangga limus yang sudah masak, kemudian mangga itu digerogotinya. Lama kelamaan Ki Mandahong merasa kenyang, tetapi ia terus mengambilnya.

“Ah, ini kecil!” Kata Ki Mandahong sambil  melempar mangga itu ke tanah. Tangannya memetik lagi, “Ah, peot!” Ki Mandahong pun melempar mangga itu ke sungai.

“Plung! Plung! Kecemplung,” suara mangga jatuh ke sungai.

“Mmm …suaranya enak juga, seperti suara gong dan kenong. Kalau begitu akan aku goyang-goyang pohonnya supaya buahnya jatuh, dan bunyinya lebih lengkap,” Ki Mandahong bicara sendirian.

“Drrr…rrr…Plung!…Plung!...Plung…Degdeg Plung! …Aduhhh…suaranya seperti bunyi angklung, nikmat sekali.” 

Di bawah pohon limus ternyata ada seekor kura-kura yang sedang istirahat. Kura-kura itu lelah sehabis mencari makanan sepanjang sungai, tetapi tidak mendapatkan hasil. Mendengar suara ramai kura-kura itu bangun sambil melihat-lihat apa yang terjadi.

“Mmm…dasar rezeki, kalau sudah datang tak perlu diundang, seperti air yang sedang banjir. Namun, kalau sedang naas, seperti sungai yang kering, tak ada air sedikit pun, walau hanya untuk sekadar cuci muka. Emmm… Terima kasih ya Allah Yang Maha Pengasih. Kebetulan saya sedang lapar, melihat limus di darat dan di sungai begitu banyak,” kata Kura-Kura penuh syukur.

Sambil mengambil mangga, Kura-kura pun melihat ke atas pohon limus. Ia sangat terkejut, melihat Monyet yang sangat besar tengah bermain-main di antara dahan pohon limus.

“Pemurah juga Monyet itu, tahu kalau aku sangat lapar,” kata Kura-Kura dalam hatinya. Kura-kura menengadah sambil terus berkata, 

“Juragan yang duduk di atas pohon, yang saleh dan berbudi, mudah-mudahan bisa turun sebentar karena saya ingin berterima kasih.”

Ki Mandahong melihat ke sana kemari takut ada makhluk lain yang dipanggil. Di sisi lain, ia juga merasa bukan makhluk soleh, apalagi berbudi. Setelah merasa tidak ada makhluk lain, Ki Mandahong pun merasa tersanjung. 

“Si Bodoh ini, tidak tahu kalau aku sudah dilengserkan oleh rakyatku sendiri. Ia masih takut dan bicaranya santun. Hemm…dasar!!!” kata Ki Mandahong pada kura-kura sambil ia pelan-pelan turun dari pohon limus.

“Ada apa Kura-kura?”

“Aduh…Aduh, pantesan… Juragan (Tuan) 

Mandahong. Begini… Tuan, saya mau berterima kasih karena merasa disambung umur. Saya sedang haus dan lapar, tiba-tiba diberi limus banyak sekali.” “Ya….ya, Kura-Kura. Harus banyak 

bersyukur. Hidup di dunia ini kan katanya harus gotong royong, kalau ada rezeki harus saling berbagi. Jangan seperti bangsa monyet, tidak mempunyai perasaan.”

“Memangnya kenapa Juragan?”

“Mentang-mentang aku sudah tua, aku dilengserkan dari mandah.”

“Ooo begitu …. sabar Juragan. Gantian dengan yang muda, yang muda banyak ide.”

“Aku juga masih mampu, Kura-Kura.”

“Percaya Juragan, tapi kalau umur sudah tua lebih baik siap-siap cari bekal untuk ganti alam.”

“Kura-Kura... Kura-Kura..., tingkahmu seperti manusia saja. Berkata bijak. Bersikap sebaliknya.”

“Hehehe…kelakuan manusia yang baik bolehlah kita tiru Juragan.”

“Yayaya…akan kupikir-pikir,” kata Ki Mandahong sambil cemberut.

Sejak saat itu mereka menjadi teman baik. Ki Mandahong senang karena ada Kura-Kura yang bisa disuruh-suruh. 

Begitu pula Kura-Kura merasa senang karena diaku oleh mantan seorang raja. Mereka sering bicara di bawah pohon limus. Kadang membicarakan masalah pribadi. Kadang membahas masalah kerajaan.

5. Seekor Kancil yang Selalu Ingat Tuhan

Hutan lebat dan rumput menghijau telah berubah menjadi hutan yang gundul dan gersang. Daun jati, daun karet, dan daun pohon-pohon lain yang ada di hutan itu telah gugur. 

Rumput-rumput pun telah mengering, semuanya berwarna kecoklatan. Tak ketinggalan pohon-pohon di pinggir sungai, semuanya layu. 

Kemarau yang panjang telah tiba. Sawah dan sungai pun kering kerontang. Seekor kancil jantan yang tanduknya baru ke luar, menandakan dia baru saja tumbuh dewasa, sangat kehausan. 

Bibirnya pecah-pecah. Ia telah berlari ke sana kemari mencari sumber air,tapi setetes pun tak didapatkannya.

Kancil jantan itu sangat sedih dan tubuhnya sudah lemas. Ia duduk sujud seperti manusia memuja Tuhan. Hatinya menjerit meminta pertolongan kepada Tuhan yang Mahakuasa. 

“Ya Allah yang Mahagung, hamba mohon pertolonganmu. Hamba kehausan dan kelaparan. Berilah hambamu ini sedikit air dan rumput.” 

Setelah sujud, ia duduk lalu melihat-lihat ke kiri ke kanan, ke depan dan ke belakang. Ajaib, dari arah depan ia melihat gerombolan pepohonan yang agak kehijauan di sebuah bukit. Kancil berlari ke tempat itu. 

Tempat itu ternyata cukup jauh. Ia melewati kebun ilalang yang baru saja dibakar orang sampai badan kancil itu kotor terkena debu. Namun, ia tidak mempedulikannya. Keinginannya hanya satu, yaitu ingin cepat minum.

Kancil sampai ke sebuah bukit. Pohon-pohon dan rerumputan di bukit itu ternyata masih subur. “Ohhh! Sumber air kah itu?” kata kancil bicara sendiri. Ia kemudian mencermati keadaan sekelilingnya. Ternyata ada aliran air yang bening, mengalir ke sebuah cekungan. 

Sementara itu,tanaman dan rumput di pinggir cekungan air itu pun warnanya hijau. “Terima kasih Tuhan, doa hambamu dikabulkan,” kata Kancil. Ia tidak buru-buru minum dan makan. Namun, sujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah itu, ia baru minum pelan-pelan. 

Ternyata di belakang kancil ada seekor serigala yang tengah memburunya. Kancil tidak menyadari keadaan itu. Serigala sendiri ragu-ragu karena badan Kancil yang belang-belang kotor itu seperti anak Harimau. Sementara, kepalanya seperti kepala Kancil. Jadi, serigala itu hanya mengawas-awasi saja.

Yang berbuat seperti itu ternyata tidak hanya Serigala, juga seekor Macan Tutul tengah mengintip di atas sebuah pohon. Kancil tenang-tenang saja karena tidak mengetahui dirinya dijadikan rebutan dua binatang pemangsa. Macan Tutul dari atas dahan meloncat ke hadapan kancil. Ia takut keduluan Serigala.

“Macan Tutul, jangan ganggu buruanku!”

“Enak saja. Ini jatahku, tahu?” Serigala marah kepada Macan Tutul. 

Sebaliknya, macan tutul juga marah karena merasa terganggu.

“Celaka!” Kata Kancil sambil mengelus dadanya. Kancil sangat kaget di hadapannya ada dua hewan pemangsa yang memperebutkan dirinya. Ia sangat takut karena melawan seekor binatang pemangsa saja tidak berdaya. Apalagi, jika harus melawan dua binatang sekaligus. 

Dalam ketakutannya, Kancil sujud dan berdoa kepada penciptanya.

“Ya Allah, Yang Mahabaik

Allah Yang Mahasempurna

Allah Yang Mahaabadi

Allah Yang Mahaasih

Allah Yang Mahatahu

Allah Yang Ada di mana-mana

Allah Yang Mahakuasa

Hamba tiada daya dan upaya mohon diselamatkan oleh-Mu dari bahaya Serigala dan Macan Tutul yang akan memangsa hamba.”

Setelah berdoa, ia merasa mempunyai kekuatan. Kancil membentak kedua binatang yang tengah bertengkar itu.

“Serigala dan Macan Tutul! Selamat datang. Kalian pasti haus dan lapar. Mari kita minum. Air ini berasal dari Allah untuk kita minum.” Serigala dan Macan Tutul berhenti bertengkar. Mereka Kaget mendengar suara Kancil yang kencang dan penuh keberanian.

“Benar katamu. Aku ingin minum dan ingin makan. Untuk minum ada air. Untuk makan ada kamu. Kamu juga sama untuk minum ada air untuk makan ada rumput,” kata Macan Tutul.

“Kancil, kamu bukan jatah Macan Tutul, tapi untukku. Aku yang sudah mengikutimu sejak lama.”

“Bukan, kamu bukan jatah serigala. Tapi, jatahku. Aku yang punya hak sebab aku yang mengawasi dan mengikuti gerak-gerik kalian.” 

“Heh, kalian! kenapa ngomongnya ngawur. Apa kalian tidak tahu, siapa aku? Kepalaku memang Kancil, tapi badanku Macan Lodaya. Jadi, kesukaanku bukan hanya rumput, juga daging Serigala. Tandukku sakti. Siapa yang kutubruk, langsung mati dan dagingnya kupakai sarapan. Tidak menemukan Serigala, makan rumput pun jadi. Tidak menemukan rumput, makan macan tutul pun tak apa-apa.” Macan Tutul dan Serigala terkejut  mendengar kata-kata Kancil. Malahan Serigala merasa agak takut.

“Sekarang aku tak akan makan daging sebab ada rumput. Silakan serigala untuk Macan Tutul sebab Macan Tutul tak mau makan rumput atau sebaliknya, Macan Tutul untuk serigala. Kalau tidak habis, aku dibagi supaya kenyang. Makan daging sebagai pencuci mulut, ‘kan enak’.

Kancil lalu minum sekenyangnya, kemudian makan rumput, dan pura-pura tidak punya rasa takut kepada kedua binatang pemangsa itu. Sementara itu, serigala dan Macan Tutul berkelahi. Mereka saling menggigit, saling mencakar, dan saling membanting. Siapa yang kalah dagingnya akan dimakan.

Sesudah kenyang kancil kabur menyelamatkan diri. Sambil tidak lupa ia berterima kasih kepada Allah pencipta alam.

“Ya Allah, Yang Maha Penyayang

 Ya Allah, Yang Mahabijaksana

Terima kasih atas kasih sayang-Mu

Terima kasih Hamba telah terlepas dari marahabaya”

Begitulah doa Kancil sambil mencium tanah, seperti orang yang tengah bersujud. 

Sementara itu, Serigala yang bertengkar dengan Macan Tutul telah berhenti. Serigala jadi pincang dan buta dianiaya Macan Tutul, kemudian ia melarikan diri. Macan Tutul pahanya sempal digigit Serigala.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus