AKHIR April ini beberapa tempat di Jawa memasuki panen tebu.
Tapi jangan heran tak semua petani menyambut gembira. Apa boleh
buat, di Cirebon misalnya, banyak tanah petani sudah lebih dulu
disewakan kepada tukang ijon. Jadi mereka tak lagi punya urusan
dengan panen tebu tadi.
Dengan Inpres 9/1975 pemerintah memperkenalkan proyek Tebu
Rakyat Intensifikasi (TRI, atau TRIS, atau TRIT, sama saja
nampaknya). Dengan proyek itu petani yang tanahnya berada di
sekitar pabrik-pabrik gula dilibatkan dalam usaha menanam tebu.
Di satu pihak agar pabrik gula lancar menerima bahan baku. Di
lain pihak agar kehidupan petani meningkat -- begitu. Dengan
TRI, petani mendapat kredit seperti halnya dalam sistem Bimas
padi.
Di Cirebon, kredit yang seluruhnya meliputi Rp 568.460 per
hektar itu dinilai petani cukup besar. Tapi apa daya tak semua
petani faham seluk beluk menanam tebu. Maka mereka pun
ogah-ogahan ikut TRI. Pada saat mana muncul oknum-oknum yang
katanya "berusaha mensukseskan TRI" dengan menyewa tanah petani.
Kebiasaan sewa-menyewa itu sudah berlangsung sejak TRI belum
terbit. Si penyewa perusahaan perkebunan. Petani tak sedikit
yang merasa lebih malang nasibnya sesudah ada TRI. "Sebelum ada
TRI disewa PNP-XIV Rp 240 ribu sehektar," sedang oleh Kepala
Desa sekarang ini cuma Rp 30 ribu sehektar," kata seorang
penduduk di Desa Karangsembung di daerah Cirebon.
Cerita yang nyaris sama beredar di Jawa Timur. Sebelum ada TRI,
tanah-tanah di Tanggul, Jember, biasa disewakan Rp 253 ribu per
hektar. Setelah ada TRI, untuk luas yang sama petani hanya
kebagian Rp 212 ribu -- alias tidak sampai separuh. Kesimpulan:
"TRI justru membuat penghasilan petani jadi menurun," ujar
seorang petani di sana kepada Dahlan Iskan dari TEMPO.
Seperti dikatakan Haji Munif, seorang petani di Jatiroto,
pengelolaan TRI tampaknya memang sulit. Sebab yang
melaksanakannya seperti digariskan oleh kebijaksanaan pemerintah
sendiri bukan petani, melainkan suatu kelompok. Petani sulit
mengadakan kontrol terhadap kelompok tersebut. "Pemupukan yang
baru dilakukan dua kali bisa saja dikatakan sudah 3-4 kali, oleh
mereka yang duduk di kelompok," katanya.
Tapi itu tidak berarti Haji Munif tidak senang dengan TRI yang
sudah dilaksanakan di daerahnya. Sebab apabila petani Jember
menerima hasil TRI Rp 212 ribu se-hektar, di Jatiroto nyaris 3
kali lipat. Yaitu seperti dikatakan Munif, Rp 600 ribu. Maka
ketika di kalangan petani kini tersebar berita rencana
pemerintah melaksanakan TRI Jasa sebagai satu sistem yang
dianggap baru, petani Jatiroto pun kaget.
25%
Menurut seorang pejabat di Departemen Pertanian, TRI Jasa
--kependekan dari TRI Kerja Sama -- merupakan bentuk baru usaha
peningkatan pendapatan petani tebu. Pelaksanaannya hanya di
daerah-daerah yang petaninya belum berpengalaman menanam tebu.
Waktunya pun hanya untuk penanaman pertama selama Pelita III
(1979/1980 sampai 1983/1984).
Dengan TRI Jasa, penanaman tebu ditangani pabrik gula
sebagaimana halnya sewaktu TRI belum berlaku di mana pabrik gula
berstatus sebagai penyewa. Denan cara ini petani hanya tinggal
menerima pembagian hasil 25%. Produksi 80 kwintal gula per
hektar agaknya sebagai batas minimum. Sebab sebagaimana
terungkap cerita dari daerah Jawa Timur, kalau produksi gula
kurang dari angka tadi jatah untuk petani 20 kwintal. Maka
apabila harga gula tahun ini sebagaimana ditetapkan Bulog Rp 17
ribu per kwintal penghasilan petani untuk setiap hektar tanah
miliknya tak akan kurang dari Rp 450 ribu. Dan di samping jatah
25% hasil produksi tadi masih ada pula jatah yang disebut bagian
tetes, seliter untuk setiap kwintal.
Kapan sistim TRI Jasa itu dilaksanakan? Surat Keputusan Menteri
Pertanian tentang itu keluar 4 Januari lalu. Pelaksanaannya
diserahkan kepada daerah-daerah. Gubernur diberi wewenang
menetapkan daerah-daerah mana saja yang perlu ikut TRI, daerah
mana pula pantas untuk TRI Jasa.
Untuk beberapa daerah di Jawa Timur, Gubernur Soenandar
tampaknya sudah akan segera melaksanakan sistem baru ini.
Alasannya tentu saja karena keluhan petani sehubungan dengan
sistem sebelumnya cukup banyak didengar sewaktu Gubernur
Pebruari lalu mengadakan kunjungan ke beberapa kabupaten.
Sementara di pihak lain ada yang menyebut-nyebut adanya sistem
TRI Jasa itu terpaut dengan usaha pemerintah mencegah penurunan
produksi gula.
Sebagaimana diketahui produksi gula nasional 1976 berjumlah 1
juta ton, 1977 1,124 juta ton dan 1978 sebanyak 1,137 juta ton.
Karena keadaan musim, tahun lalu rencana kenaikan produksi 5%
tak tercapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini