Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dari Tri Ke Tri Jasa

Rencana pemerintah melaksanakan sistim baru Tri Jasa (Tebu Rakyat Intensifikasi Kerja Sama) untuk meningkatkan pendapatan petani tebu. Untuk penanaman pertama selama pelita III. (dh)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR April ini beberapa tempat di Jawa memasuki panen tebu. Tapi jangan heran tak semua petani menyambut gembira. Apa boleh buat, di Cirebon misalnya, banyak tanah petani sudah lebih dulu disewakan kepada tukang ijon. Jadi mereka tak lagi punya urusan dengan panen tebu tadi. Dengan Inpres 9/1975 pemerintah memperkenalkan proyek Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI, atau TRIS, atau TRIT, sama saja nampaknya). Dengan proyek itu petani yang tanahnya berada di sekitar pabrik-pabrik gula dilibatkan dalam usaha menanam tebu. Di satu pihak agar pabrik gula lancar menerima bahan baku. Di lain pihak agar kehidupan petani meningkat -- begitu. Dengan TRI, petani mendapat kredit seperti halnya dalam sistem Bimas padi. Di Cirebon, kredit yang seluruhnya meliputi Rp 568.460 per hektar itu dinilai petani cukup besar. Tapi apa daya tak semua petani faham seluk beluk menanam tebu. Maka mereka pun ogah-ogahan ikut TRI. Pada saat mana muncul oknum-oknum yang katanya "berusaha mensukseskan TRI" dengan menyewa tanah petani. Kebiasaan sewa-menyewa itu sudah berlangsung sejak TRI belum terbit. Si penyewa perusahaan perkebunan. Petani tak sedikit yang merasa lebih malang nasibnya sesudah ada TRI. "Sebelum ada TRI disewa PNP-XIV Rp 240 ribu sehektar," sedang oleh Kepala Desa sekarang ini cuma Rp 30 ribu sehektar," kata seorang penduduk di Desa Karangsembung di daerah Cirebon. Cerita yang nyaris sama beredar di Jawa Timur. Sebelum ada TRI, tanah-tanah di Tanggul, Jember, biasa disewakan Rp 253 ribu per hektar. Setelah ada TRI, untuk luas yang sama petani hanya kebagian Rp 212 ribu -- alias tidak sampai separuh. Kesimpulan: "TRI justru membuat penghasilan petani jadi menurun," ujar seorang petani di sana kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. Seperti dikatakan Haji Munif, seorang petani di Jatiroto, pengelolaan TRI tampaknya memang sulit. Sebab yang melaksanakannya seperti digariskan oleh kebijaksanaan pemerintah sendiri bukan petani, melainkan suatu kelompok. Petani sulit mengadakan kontrol terhadap kelompok tersebut. "Pemupukan yang baru dilakukan dua kali bisa saja dikatakan sudah 3-4 kali, oleh mereka yang duduk di kelompok," katanya. Tapi itu tidak berarti Haji Munif tidak senang dengan TRI yang sudah dilaksanakan di daerahnya. Sebab apabila petani Jember menerima hasil TRI Rp 212 ribu se-hektar, di Jatiroto nyaris 3 kali lipat. Yaitu seperti dikatakan Munif, Rp 600 ribu. Maka ketika di kalangan petani kini tersebar berita rencana pemerintah melaksanakan TRI Jasa sebagai satu sistem yang dianggap baru, petani Jatiroto pun kaget. 25% Menurut seorang pejabat di Departemen Pertanian, TRI Jasa --kependekan dari TRI Kerja Sama -- merupakan bentuk baru usaha peningkatan pendapatan petani tebu. Pelaksanaannya hanya di daerah-daerah yang petaninya belum berpengalaman menanam tebu. Waktunya pun hanya untuk penanaman pertama selama Pelita III (1979/1980 sampai 1983/1984). Dengan TRI Jasa, penanaman tebu ditangani pabrik gula sebagaimana halnya sewaktu TRI belum berlaku di mana pabrik gula berstatus sebagai penyewa. Denan cara ini petani hanya tinggal menerima pembagian hasil 25%. Produksi 80 kwintal gula per hektar agaknya sebagai batas minimum. Sebab sebagaimana terungkap cerita dari daerah Jawa Timur, kalau produksi gula kurang dari angka tadi jatah untuk petani 20 kwintal. Maka apabila harga gula tahun ini sebagaimana ditetapkan Bulog Rp 17 ribu per kwintal penghasilan petani untuk setiap hektar tanah miliknya tak akan kurang dari Rp 450 ribu. Dan di samping jatah 25% hasil produksi tadi masih ada pula jatah yang disebut bagian tetes, seliter untuk setiap kwintal. Kapan sistim TRI Jasa itu dilaksanakan? Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang itu keluar 4 Januari lalu. Pelaksanaannya diserahkan kepada daerah-daerah. Gubernur diberi wewenang menetapkan daerah-daerah mana saja yang perlu ikut TRI, daerah mana pula pantas untuk TRI Jasa. Untuk beberapa daerah di Jawa Timur, Gubernur Soenandar tampaknya sudah akan segera melaksanakan sistem baru ini. Alasannya tentu saja karena keluhan petani sehubungan dengan sistem sebelumnya cukup banyak didengar sewaktu Gubernur Pebruari lalu mengadakan kunjungan ke beberapa kabupaten. Sementara di pihak lain ada yang menyebut-nyebut adanya sistem TRI Jasa itu terpaut dengan usaha pemerintah mencegah penurunan produksi gula. Sebagaimana diketahui produksi gula nasional 1976 berjumlah 1 juta ton, 1977 1,124 juta ton dan 1978 sebanyak 1,137 juta ton. Karena keadaan musim, tahun lalu rencana kenaikan produksi 5% tak tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus