MENJADI calon antariksawan ternyata melelahkan juga. Paling tidak itu saya alami bersama tiga calon astronaut lainnya - Dr. Pratiwi Pujilestari Soedarmono, Ir. Taufik Akbar, dan Kapten M.K. Yusuf - ketika menjalani seleksi terakhir di Houston, AS, pekan lalu. Maklum, kami hanya diberi kesempatan beristirahat satu hari saja sebelum menjalani pemeriksaan kesehatan di Johnson Space Center, sekitar 60 km dari Kota Houston. Padahal, kami harus menempuh 20 jam perjalanan untuk tiba di markas Badan Penerbangan dan Angkasa Luar AS (NASA). Beda waktu Houston dan Jakarta tepat dua belas jam berarti kami berada di belahan bumi yang lain. Beda waktu ini tentu terasa mengganggu. Tubuh jelas memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan waktu itu. Namun, Tim Persiapan Antariksawan Indonesia (TPAI) tampaknya beranggapan, kami cukup tangguh untuk segera menjalani tes kesehatan dengan waktu istirahat hanya satu hari. Mungkin juga TPAI benar. Sebab, hasil sementara pemeriksaan yang dilakukan pada 10 dan 11 September lalu itu tidak menunjukkan adanya kekurangan yang serius. "Toh kalian sudah menjalani pemeriksaan di Indonesia," kata seorang petugas NASA. Mereka pun maklum kalau tekanan darah sebagian calon terukur agak rendah. "Kami tahu, Anda masih mengalami jetlag," kata Claudette Cage dari NASA. Tapi tak berarti semua calon bisa bernapas lebih lega. Hasil pasti pemeriksaan direncanakan akan didapat akhir bulan ini. Konon, hasil ini akan dijadikan masukan bagi TPAI untuk menentukan siapa (satu orang) yang akhirnya akan terbang ke angkasa luar sana, dan siapa (juga satu orang ) yang hanya nongkrong di bawah sebagai cadangan. Selain rekomendasi NASA itu, tentu saja ada faktor lain yang jadi pertimbangan panitia. "Antariksawan itu 'kan akan mewakili bangsa," kata Dr. Sunaryo, wakil ketua TPAI yang turut ke Houston bersama Prof. Dr. Bambang Hidayat. Para calon sendiri kelihatannya cukup yakin akan keadaan kesehatan mereka. "Kami 'kan sudah mengalami pemeriksan di Indonesia," kata Dr. Pratiwi. Apalagi pemeriksaan di NASA itu tidak seberat di Indonesia, bahkan kebanyakan merupakan pengulangan saja. Misalkan saja pemeriksaan mata, telinga, laboratorium, dubur, jantung, gigi, ronsen dada, dan kejiwaan. Bahkan beberapa pemeriksan lain, seperti uji ketahanan terhadap percepatan (human centrifuge) ataupun udara tipis (decompression chamber) tak dilakukan lagi. "Soalnya tekanan udara di dalam pesawat ulang-alik sama seperti di bumi," kata Claudette. Demikian pula percepatan yang dialami pun tidak terlalu berat, hanya sampai tiga G saja. Sementara itu, hasil dari tes gaya G - gaya yang diderita akibat adanya percepatan menunjukkkan, para calon astronaut itu ketika di Jakarta rata-rata mampu lebih dari itu. "Soalnya, pesawat ulang-alik tidak boleh terlalu berat karena itu tidak dirancang untuk mengalami percepatan tinggi," kata Steve Seus, salah seorang instruktur NASA. Memang pesawat ulang-alik dibuat untuk membawa muatan dan bukan untuk bertempur seperti pesawat F-16. Tak heran jika ada kesan, pemeriksaan ketat di NASA ini tidak diperlukan. "Kita melakukannya untuk memenuhi ketentuan administrasi NASA saja," kata Dr. Soenaryo. Jadi, bukan karena adanya keraguan NASA terhadap hasil pemeriksan ahli kesehatan Indonesia. "Semua astronaut yang terbang dengan NASA menjalani pemeriksaan di sini," kata Claudette. Bahkan antariksawan Inggris yang akan terbang dengan antariksawan Indonesia, Juni tahun depan, telah dua kali mengikuti pemeriksaan kesehatan ini. Selain untuk memenuhi ketentuan administrasi, NASA tampaknya juga memanfaatkan para calon antariksawan untuk suatu eksperimen. Percobaan ini adalah untuk mendapatkan pandangan para calon astronaut itu tentang Personal Resque System (PRS), yaitu sistem sekoci penyelamat angkasa luar. PRS adalak sekoci berupa bola dengan radius sekitar satu setengah meter. Sekoci ini terbuat dari bahan yang luwes. Karena itu, dapat dilipat seperti kain ketika tak digunakan. Di dalamnya terdapat botol oksigen serta penyaring gas C02 untuk menjamin terselenggaranya pernapasan normal selama sepuluh menit atau darurat selama satu jam. Suatu sistem pengatur suhu juga dirancang untuk dapat bekerja selama satu jam. Nah, saya pun diminta masuk ke dalam bola ini melalui lubang yang dapat dibuka dan ditutup dengan sejenis resleting. Rongga di dalam cukup sempit sehingga harus meringkuk. Pandangan ke luar hanya dapat dilakukan melalui jendela kecil dari bahan tembus pandang. Pada tubuh saya, ditempelkan beberapa elektroda untuk mendeteksi detak jantung. Elektroda ini dihubungkan ke sebuah pemancar radio sebesar bungkus rokok dan sinyalnya diterima oleh sebuah alat penganalisa di luar bola PRS ini. Sebuah headphone yang dilengkapi mikrofon dipasang di kepala. Ini merupakan peralatan untuk berkomunikasi ke luar bola. Resleting bola pun ditutup dan sistem pernapasan dijalankan sementara itu, tekanan udara ruang tempat saya berada dikurangi. Maka, PRS menggembung seperti bola besar dengan saya di dalamnya. Lampu ruangan pun dimatikan sehingga terasa gelap gulita. Perintah yang saya terima adalah bertahan selama mungkin. Jika merasa tak tahan lagi, saya dapat menyampaikan lewat radio. Saya segera mencari posisi duduk yang enak dan mencoba tidur. Usaha ini hampir berhasil ketika petugas menghentikan percobaan sekitar sepuluh menit kemudian. Saya kemudian diminta memberi pendapat atas PRS ini sepanjang satu halaman tulisan. "Percobaan dengan PRS dilakukan untuk mengetahui apakah Anda menderita claustrophobia atau tidak," ujar Claudette. "Selain itu, juga untuk mendapatkan masukan mengenai PRS sendiri," ia menambahkan. Claustrophobia adalah kelainan jiwa berupa rasa takut bila berada di ruang sempit dalam waktu yang cukup lama. Soalnya, ruang di dalam pesawat yang membawa astronaut itu sempit sekali, sedangkan penerbangan bisa memakan waktu dua minggu. Bayangkan, untuk ruang kokpit disediakan empat tempat duduk, padahal besar ruangan tidak lebih dari kokpit pesawat DC-10 (sekitar 2 x 2 meter). Jika tinggi awak lebih dari 1,70 meter saja, ia tak bisa berdiri tegak tanpa menumbuk atap yang penuh dengan instrumen itu. UANG yang kira-kira dua kali lebih luas terdapat di bawah kokpit dan merupakan tempat untuk ketiga awak lainnya, yang akan melakukan tugas-tugas penelitian. Antariksawan Indonesia dan Inggris akan berada di ruang itu dalam menjalankan percobaan ilmiahnya. Di ruang itu juga terdapat kamar buang air dan lemari berisi laci yang sama besarnya (locker). Astronaut Indonesia nanti cuma mendapatkan jatah satu laci dengan luas dua kaki kubik untuk semua percobaan ilmiah yang dilakukan. Ini wajar karena laci-laci lain diperlukan sebagai penyimpan pakaian, makanan, dan peralatan penting lainnya, seperti pakaian ruang angkasa. Keterbatasan ruang yang tersedia menyebabkan hanya dua pakaian ruang angkasa dapat dibawa. Alat PRS sendiri dalam penerbangan yang ditumpangi astronaut Indonesia nanti belum akan dibawa. Soalnya, diperkirakan, sampai saat itu NASA masih belum mempunyai pesawat ulang-alik yang siap diluncurkan sebagai pesawat penolong jika pesawat yang sedang terbang mengalami kesulitan. Ini memang bukan kabar yang terlalu menggembirakan bagi para calon antariksawan. Mungkin pula ini yang jadi satu alasan diadakannya tes kejiwaan. "Selain astronaut yang dapat bekerja sama dengan awak lainnya, astronaut itu harus mampu menghadapi keadaan stres," kata Dr. Terence McGuire, ahli kejiwaan NASA. Ia menduga adanya stres ini yang menjadi penyebab seorang senator yang pernah ikut penerbangan ulang-alik tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik ketika mengangkasa. "Padahal, kesehatan fisiknya baik sekali," kata McGuire. Tes kejiwaan ini dilakukan dua macam, mengisi daftar pertanyaan dan wawancara. Masing-masing dilakukan kurang dari dua jam. Dr. Terence McGuire berusaha betul agar tidak ada salah pengertian di dalam wawancara karena latar belakang budaya yang berbeda. Setiap pertanyaan diutarakan dengan jelas, lengkap dengan contoh dan sedikit humor. Tak heran jika saya dan calon lainnya sepakat menganggap tes ini merupakan tes favorit kami semua. Kami juga sepakat bahwa tes endoskopi adalah yang paling tidak enak. Bagaimana bisa enak kalau tubuh dikuras dengan dua botol cairan kemudian dimasukkan kamera kecil. Ini merupakan suatu alat yang juga sudah dimiliki Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto, di Jakarta. Bedanya, hasil pengamatan kali ini bisa langsung dilihat di layar tv. Percayalah, ini pertama kalinya saya melihat bagian dalam tubuh saya sendiri. Memang banyak informasi baru yang saya dapat dari pemeriksaan kesehatan ini. Misalkan saja, beberapa astronaut AS ternyata tekanan darahnya hanya 85/50, padahal biasanya patokan normal ditetapkan sekitar 120/80 untuk usia mereka. "Sebenarnya ukuran normal setiap orang bisa berbeda," kata Dr. Robert L. Johnson. "Yang jelas, kami lebih khawatir kalau tekanan itu lebih tinggi ketimbang tekanan lebih rendah," tambah ahli jantung NASA itu. Seperti layaknya pemeriksaan di Lakespra Saryanto dulu, keempat calon antariksawan Indonesia juga mengalami pemeriksaan jantung dengan metode treadmill di bawah pengawasan Dr. Johnson. Bedanya, alat di NASA lebih lengkap dan mutakhir. Selama menjalani tes-tes ini, kami memperoleh berbagai kesan yang menarik. Dr. Pratiwi sangat terkesan akan fasilitas kesehatan yang tersedia. Ir. Taufik tampaknya lebih kagum akan sikap kerja dan tata cara pengelolaan NASA, sedangkan Kapten M.K. Yusuf tertarik akan teknologi yang diterapkan pada tiruan pesawat ulang-alik yang dipakai untuk latihan. Saya sendiri tertarik pada banyak hal, terutama sikap terbuka NASA. Yang jelas, kami sepakat dalam hal kekaguman atas peralatan modern yang ada dan para tenaga ahli di belakangnya dan keramahan mereka. Hal ini tumbuh setelah kami mengikuti rapat dengan pihak NASA tentang pelaksanaan penelitian ilmiah Indonesia di ruang angkasa nanti. Disingkat sebagai "Inbex" (Indonesian B Experiment), program ini terdiri dari lima penelitian. Percobaan mengamati pertumbuhan bibit kacang hijau, kecebong, kepompong kupu-kupu, tenaga manusia, dan foto udara dari ruang angkasa. Yang terakhir ini ada kemungkinan akan susah dilakukan. Sebab, dari 25 kali kesempatan memotret nanti, 16 kali akan terjadi waktu malam di Indonesia. Sedangkan sisanya akan terjadi pada saat awak harus tidur. Dari rapat membicarakan Inbex dengan NASA itu, terlihat betapa rumitnya persiapan yang harus dilakukan. Setiap alat yang digunakan untuk penelitian harus memenuhi persyaratan yang sangat berat, seperti ukuran tinggi, radiasinya, kekuatannya, dan beratnya. Semua persyaratan itu telah diatur dalam buku panduan tertentu. Kesulitan lain yang mungkin tidak memperlancar terlaksananya penelitian yang akan diusulkan oleh Indonesia adalah karena semua kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh para awak pesawat ulang-alik lainnya. Oleh karena itu, oleh NASA dibuat sebuah bagian yang bernama Payload Integration Programme. Dengan adanya PIP ini, dicoba membuat suatu perencanaan kegiatan yang bisa cocok antara yang satu dan lainnya sehingga penerbangan pesawat ulang-alik bisa berjalan dengan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini