DUA tahun terakhir ini, konsumsi bir orang Indonesia turun hampir 20%. Yang paling banyak kehilangan peminum, tampaknya, hanya PT San Miguel Brewery. Pangsa pasar (market share) perusahaan penanaman modal dari Hong Kong itu di bawah 4% dari seluruh penjualan bir. Kata T. Karim Ramadani, manajer umum San Miguel, kecilnya penjualan itu disebabkan oleh kesalahan strategi pemasaran. "Sasaran hanya ditekankan pada golongan atas, yang kurang senang pada rasa pahit," ujarnya. Sementara itu, usaha San Miguel menembus pasar bawah juga gagal. Dalam keadaan seperti itu, distribusi barang dari pabrik ke gudang dan agen kurang diperhatikan. Akibatnya, banyak bir rusak karena lama tertahan di gudang. Usaha merangsang penjualan tidak ditunjang dengan kampanye iklan: hanya 2,5% dari hasil penjualan disisihkan untuk beriklan itu. Kesulitan perputaran dana apa boleh buat, tak bisa dihindari lagi. Februari lalu, sekelompok pengusaha Indonesia (antara lain anak-anak Masagung, pemilik Gunung Agung) mengambil alih 10% saham San Miguel. Pemegang saham minoritas ini berkeinginan besar memperbaiki pamor San Miguel, raja bir di Filipina dan Hong Kong, yang babak belur di sini. Aktivitas manajemen dipindahkannya dari Wisma Kosgoro ke Jalan Pintu Besar Selatan. Sebuah iklan besar lalu dipasangnya di sebuah koran sore. Rupanya, itu belum cukup. Bir yang sudah berumur lebih dari enam bulan ditariknya dari pasar volumenya sekitar 475 ribu liter (Rp 540 juta). Kata Ramadani, "Itu merupakan pengorbanan yang harus dilakukan." Enam bulan sesudah pemasaran ditangani kelompok Indonesia belum tampak adanya perbaikan. Dana kampanye kini disisihkan 10% dari pendapatan penjualan. Potongan harga kepada distributor hanya diberikan 5%, tapi harga bir tiap krat (@ 24 botol) Rp 1.000 Iebih rendah dibandingkan merk Bintang maupun Anker. Manajemen sedang memikirkan untuk menjangkau konsumen bawah dengan mengubah rasanya. Tapi semua itu akan dilakukan secara, "Perlahan-lahan mengikuti irama pasar," ujar Ramadani. Jurus-jurus baru San Miguel itu mendapat cukup perhatian dari Bintang dan Anker. "Kalau ada yang melakukan aksi, tidak usah gugup," ujar Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang. Sebagai penghasil bir terbesar, dengan pangsa pasar 55% (naik 3% dari tahun lalu) pada semester pertama 1985 ini, Abeng memang tak perlu gugup. Dalam lomba itu, pada enam bulan pertama tahun ini, sudah 185 ribu hektoliter bir (termasuk bir hitam Guinnes) bisa dijualnya, terutama di Surabaya. Sikap serupa itu juga tampak pada manajemen PT Delta Jakarta, penghasil Anker. Sampai Agustus lalu, sudah 160 ribu hektoliter Anker diminum, terutama di wilayah sekitar Jakarta. "Untuk bisa bersaing, San Miguel harus menaikkan share sampai 15%," kata Soedjono Respati, presiden direktur Delta Jakarta. Persaingan ketat tentu tak bisa dihindari mengingat sekarang permintaan akan bir maslh loyo - tahun lalu penjualan bir hanya 700 ribu hektoliter padahal 1982 masih 800 ribu hektoliter. Dalam situasi loyo seperti itu Liem Sioe Liong beserta kelompoknya dikabarkan bersiap-siap meluncurkan bir dengan merk Beck. Kata Soedjono, bila Beck keluar, bisa dipastikan pasar bir bakal ramai. Jika permintaan akan bir bisa dianggap sama dengan tahun lalu, empat merk itu nantinya akan berbagi kue yang kecil-kecil. Anker sendiri punya sasaran, tahun ini, bisa menjual lebih dari 250 ribu hektoliter, padahal penjualannya sampai Agustus lalu baru 160 ribu hektoliter. Semua kenyataan itu sudah dipahami pihak San Miguel, yang dalam usaha merebut pasar kembali mendapat dukungan modal kerja dari Panin Bank. Supaya penjualannya bisa baik, pasar ekspor ke Singapura dan Malaysia dijajakinya. Usaha menjangkau pasar di luar negeri sudah dilakukan lebih dulu oleh Bintang. "Pasar Indonesia sangat kecil," kata Abeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini