RRI, media elektronik milik Pemerintah, berhari jadi. Kali ini, Tri-Prasetya RRI - sumpah setia yang biasa diucapkan tiap 11 September - di ucapkan di sebuah desa. Ini bukan karena gedung RRI Pusat belum bisa berfungsi, setelah dilalap api 20 Juli lalu. Tapi Desa Balong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang telah menghidupkan kembali kenangan masa perjuangan itu, memang punya cerita sejarah. "Rasanya, Desa Balong bergetar," kata Menpen Harmoko, setelah melihat muka-muka tua yang bersinar kembali hari itu. Acara peringatan di desa itu dimulai dengan napak tilas, yaitu long march 100 regu (sekitar 2.000 orang) dari halaman RRI Solo, sambil membawa obor, menelusuri jalan berkelok, persis yang pernah dilakukan oleh Maladi dan kawan-kawan 37 tahun lalu. Balong, 52 km dari sebelah timur Solo, mereka tempuh malam hari dan baru pada keesokan paginya mereka sampai di tempat upacara, di tempat pemancar gubuk dulu berdiri. Waktu itu, beberapa hari menjelang 18 Desember 1948, Maladi, yang menjadi kepala Jawatan RRI Solo, memerintahkan mengungsikan semua arsip dan peralatan ke luar kota. "Kami khawatir, Belanda akan menyerbu," kata Maladi. Betul saja. Belanda pada tanggal tersebut telah melakukan serangan Aksi Militer II. Kota Yogya dan Solo di bawah kekuasaan Belanda, Bung Karno dan Bung Hatta ditawan. Republik pun tamat riwayatnya, demikian sangkaan Belanda. Tapi pada tanggal 21 Februari 1949, berkuman-danglah, "Inilah Radio Republik Indonesia Stasiun II, gelombang 30,4 meter dari Balong." Suara ini bisa dimonitor di Bukittinggi, tempat pemerintahan darurat Indonesia berada. Ternyata, siaran dari Balong sangat banyak artinya. Siaran Balong bisa dimonitor sampai ke Amerika. Kampanye antirepublik yang dilancarkan Belanda bisa ditangkis. Republik Indonesia masih ada. Radio Balong kemudian menjadi semacam kantor berita daerah perjuangan dan bernama RI-Press. "Dunia sadar bahwa perjuangan kemerdekaan RI belum punah seperti yang digembar-gemborkan Belanda," kata Maladi, 73. Tetapi mengapa memilih Balong? Desa itu cukup strategis dan ada aliran listrik karena di situ ada kebun kopi dan pabrik karet. Selain itu, "Ada kemantapan hati bahwa desa itu aman," ujar Maladi lagi. Dengan kenangan seperti itu, Desa Balong 11 September pekan lalu pesta besar. Pertemuan kembali teman seperjuangan, wayang kulit semalam suntuk, artis-artis safari mengumbar suaranya , yang merdu di desa yang sejuk itu, penyematan peniti emas di dada Maladi, tokoh RRI Berjuang, dan di tanda-tanganinya sebuah prasasti bahwa di situ akan berdiri sebuah tugu peringatan. Memasuki usianya yang ke-41, RRI kini telah memiliki 49 stasiun penyiaran di seluruh Indonesia. Meski begitu, daya jangkaunya, seperti dikatakan oleh Dirjen RTF Drs. Subrata, hanya 65% wilayah Indonesia. Dan hanya 85% penduduk Indonesia yang mengikuti siarannya. Yang paling dibanggakan ialah siaran pedesaan sebagai sarana "belajar bersama" melalui radio. Kini diperkirakan telah tercatat 46.000 kelompok belajar. Kalan dilihat dari jumlah desa di Indonesia (ada 69.000 buah), siaran pedesaan ini telah mencakup 80% dari desa yang ada. Selain itu, "Ada satu lagi yang jadi kebanggaan saya pribadi," kata Harmoko kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Untuk acara Kependudukan RRI, RRI menerima Award for Media Excellence, dari sebuah lembaga kependudukan di Washington, AS. Tetapi bagaimana citra RRI kini? Dilihat dari peralatan teknis, "RRI banyak kemajuannya," ujar Maladi. Hanya saja, "Isi siarannya masih kurang variasi," tuturnya pula. Apakah RRI tersaing oleh radio swasta? Dari dulu pun, menurut Maladi, sudah ada Radio Bung Tomo atau Suara Angkasa. Tetapi RRI tetap RRI, pembawa bendera Indonesia sejati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini