SETELAH bertahun-tahun terbebas dari ancaman wabah, pada akhir abad ke-20 ini umat manusia kembali diguncang ketakutan menghadapi penyakit menular: AIDS, itu Aquired Immuno Deficiency Syndrome yang merontokkan daya tahan tubuh dalam menghadapi penyakit. Kecemasan semakin besar karena ternyata tidak mudah menaklukkan penyakit itu. Jangankan obatnya, mendeteksinya saja sulit. Maka, di mana-mana orang bicara perihal AIDS. Kendati penderitanya kini tercatat hanya sekitar 11.000 di Amerika Serikat - penduduk sekitar 200 juta - Kongres AS memperkirakan terdapat 1 juta orang sudah tercemar AIDS dan kini gentayangan membawa virus. Di Bali, I Gusti Made Subandi, M.Sc., pejabat kesehatan setempat, kaget mendengar keterangan Menteri Kesehatan bahwa di kawasannya sudah mulai berjangkit AIDS. Ia segera mengirim petugas-petugas paling depan di puskesmas untuk mencari data. "Ternyata, data yang saya terima tak ada yang menunjukkan AIDS," katanya. Namun, kecemasan terhadap penyakit ini memang kian menjadi-jadi. Mungkin itu sebabnya Jumat pekan lalu keluar siaran pers Departemen Kesehatan. AIDS, menurut siaran pers itu, kini cenderung dibesar-besarkan sehingga meresahkan masyarakat. Untuk mengurangi keresahan itu, sejumlah keterangan tentang AIDS pun diberikan. Antara lain disebutkan, kasus AIDS belum ada di Indonesia. Yang ada baru beberapa kasus ARC (AIDS Related Complex). Gejala pada kasus ini biasanya lebih ringan. Dan hasil penelitian menunjukkan, kurang dari 10% penderita ARC kemudian menjadi penderita AIDS. Upaya mutakhir menghadang AIDS adalah melacak kehadiran kumannya di dalam darah, secara besar-besaran. Untuk itu, bulan Maret lalu, FDA (Federal Drugs Administration) di AS mengeluarkan izin edar bagi reagensia khusus (semacam cairan untuk pemeriksaan laboratorium) yang mampu mendeteksi kehadiran antigen virus AIDS. Sekalipun belum jelas benar apakah di Indonesia terdapat penderita AIDS, yang pasti peralatan laboratorium dan reagensia itu sudah ada di Subbagian Hematologi (ilmu darah) Bagian Penyakit Dalam RSCM, Jakarta. Kepala Subbagian Hematologi itu, Dr. A. Harryanto Reksodipoero, mengutarakan bahwa teknologi untuk melacak virus penyebab AIDS - yang masyhur dengan nama ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) - dikenal di Indonesia sejak dua tahun lalu. Dalam ELISA, Harryanto menjelaskan, antibodi yang diproduksi tubuh akibat serangan kuman penyakit ataupun antigen (racun) suatu kuman penyakit segera dapat dilacak. Hasilnya semacam grafik. Karena antibodi dan juga antigen senantiasa khas, lewat grafik ELISA suatu jenis kuman segera dapat dikenali. Dalam kasus AIDS, antigen viruslah yang memberi isyarat. Reagensia pelacak kuman penyebab AIDS bisa dibuat, tentunya, setelah virusnya ditemukan. Menurut dr. Zubairi Djoerban, salah seorang staf Subbagian Hematologi itu, virus penyebab AIDS diberi nama virus HTLV III (Human T-Lymphotropic Virus III). Memang baru tahun lalu virus ini di temukan, berbarengan di Amerika Serikat dan Prancis. Seperti tertera pada namanya, virus ini menyerang Sel-T bagian penting pada pertahanan tubuh dalam menghadapi penyakit. Apa Sel-T itu? Dalam sistem pertahanan tubuh, terdapat dua jenis sel darah putih yang sangat berperan. Sel-T (Thymus dependent Iymphocyte) yang selain menyerang kuman penyakit juga merangsang pembentukan antibodi, dan Sel-B (Bursa equivalent Iymphocytq) yang memproduksi antibodi. Maka, bila Sel-T dilumpuhkan virus, HTLV III itu, produksi antibodi dengan sendirinya terhenti dan kekebalan tubuh pun runtuh. Penderitanya bisa mati bahkan oleh influensa. Untuk melacak virus HTLV III, selain reagensia khusus, pada metode ELISA diperlukan pula alat tambahan yang bekerja dengan sistem komputer - yang dikenal dengan nama kuantum II. Menurut dr. Karmel L. Tambunan, rekan Zubairi, peralatan berharga Rp 25 juta itu - juga reagensia khusus HTLV III - sudah ada di RSCM, sejak bulan lalu. Karena itu, sejak peralatan itu lengkap, dimulailah pemeriksaan terhadap sejumlah sampel darah yang dicurigai mengandung virus HTLV III. Dengan kata lain, RSCM mencoba mencari penderita AIDS. Tentang hasil pemeriksaan itu, Zubairi mengelak menjawab. "Harus di bicarakan dulu di forum ilmiah," kata ahli darah itu ketika Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO mendesaknya. Pemeriksaan pertama yang meliputi 100 tes - ternyata ada yang positif, selain yang negatif - menurut Zubairi, masih perlu diulang untuk memastikan adakah virus AIDS itu. Sekalipun pada hasil pemeriksaan darah itu ada yang nyata-nyata positif, toh tak segera bisa disimpulkan bahwa pemilik darahnya mengidap AIDS. Sebab, FDA sendiri, ketika Maret lalu memberi izin edar reagensia khusus HTLV III itu, menetapkan, pemeriksaan laboratorium dengan reagensia tak boleh digunakan untuk diagnosa. Untuk memastikan apakah seseorang menderita AIDS, tes darah masih harus diperkuat dengan adanya tanda-tanda klinis, dan ditambah pertimbangan apakah penderita tergolong memiliki risiko tinggi untuk kejangkitan AIDS. Menurut Zubairi, tanda-tanda klinis AIDS antara lain sakit kepala berkepanjangan, rasa lemas, dan penurunan berat badan yang tak jelas penyebabnya. Tanda lain - yang bisa lebih memastikan - penderita diserang pula Pneumocystis Carinii, radang paru-paru berat yang sulit disembuhkan, dan Sarkoma Capost, sejenis kanker yang menimbulkan benjolan di sekujur tubuh. Sementara yang dimaksud mempunyai risiko tinggi mengidap AIDS adalah kaum homoseks, mereka yang berganti-ganti mitra seks, pecandu narkotik, dan penderita penyakit darah yang senantiasa memerlukan transfusi darah. Pada mereka terjadi kontak langsung antara virus HTLV III - yang terutama terdapat pada cairan tubuh - dan darah. Kontak itu misalnya menyusupnya sperma ke dalam luka-luka kecil di sekitar anus pada sanggama homoseksual, jarum suntik morfin yang digunakan bergantian, dan transfusi darah. Risiko tinggi inilah yang kini diupayakan agar bisa ditekan di Amerika Serikat - sementara menunggu vaksin yang paling tidak baru lima tahun mendatang bisa diharapkan. Sejumlah pengamat kesehatan di sana bahkan melihat faktor risiko inilah penyebab meluasnya AIDS dalam waktu sangat singkat. Karena itu, di samping ikhtiar memblokir pencemaran virus AIDS di pusat-pusat transfusi darah dengan cara mengetes semua stok darah, di AS mulai terdengar gaung anjuran untuk mengurangi kemesuman, praktek homoseks, dan penggunaan narkotik. Risiko tinggi ini pula yang terbilang kecil di Indonesia - kecuali transfusi darah. Dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat, kemesuman, homoseks, dan penyalahgunaan narkotik tidak sampai tingkat parah. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini