Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu laut kehilangan birunya. Langit mendung berawan mengusir biru laut dan menggantinya dengan hitam kelabu. Untung saja Teluk Jakarta tidak sepenuhnya tampak muram. Angin bertiup dengan murah hati. Angin yang bakal mendorong laju kapal dengan layar berkibar-kibar.
Theodoor Bakker, 51 tahun, tampak dibakar semangat. "Bagus, angin sedang bagus," katanya. Lelaki asal Belanda ini segera mempersiapkan Kersey, kapal layarnya, yang tengah bersandar di dermaga Pantai Mutiara. Berbagai peralatan, gulungan layar, bekal makanan, sampai pil antimabuk laut sudah tersedia. "Ayo, sekarang saatnya kita penuhi undangan sang laut," kata Bakker sambil mengajak tim wartawan TEMPO memasuki Kersey.
Kersey pun mulai angkat sauh. Perlahan-lahan kapal berkapasitas 8 penumpang ini bergerak dengan bantuan mesin 20 PK. Begitu keluar dari area dermaga, mesin dimatikan dan layar dikembangkan. Kini Kersey sepenuhnya mengandalkan kedermawanan angin.
Perjalanan kali ini termasuk rangkaian lomba Sunda Kelapa Race yang digelar Jakarta Offshore Sailing Club (JOSC), klub layar yang berdiri sejak 1973, dengan rute Pantai Mutiara-Karang Lamteri-Pulau Nyamuk Kecil, yang ada di perairan Teluk Jakarta. Ada enam kapal, dengan panjang 11-15 meter dan berdaya muat 5-8 orang, yang turut serta dalam lomba tahunan ini.
Bakker, dari bagian humas JOSC, sengaja mengundang TEMPO ikut serta berlayar. Agar kami turut merasakan angin, asin garam, dan gelombang laut bersenyawa jadi satu. Sejenak Bakker menangkap kerisauan kami akan musim angin barat yang bukan mustahil akan mengocok kapal beserta isinya. "Jangan khawatir, kami akan berusaha keras supaya perjalanan cukup nyaman," kata pria yang bekerja sebagai pengacara di sebuah kantor biro hukum di Jakarta ini.
Bakker berkisah, sudah puluhan tahun dia mencandu nikmatnya terapung di tengah lautan. "Laut selalu memanggil kami," kata Bakker, yang dalam pelayaran ini dibantu dua rekannya, Simon dan Jonathan Zwaan. Samudra, bagi Bakker, punya pesona yang memanggilnya untuk kembali dan kembali.
Sejak kecil Bakker, yang lahir di Kota Den Haag, Belanda, memang kerap pergi berlayar bersama keluarga. Setelah beranjak dewasa dan bekerja di berbagai negara, Bakker tak pernah melupakan laut. Paling tidak sebulan sekali dia berlayar dengan Kersey, yang dia beli di Filipina beberapa tahun lalu. Demi kelancaran urusan laut ini pula, pada awal 1990-an, sejak tinggal di Jakarta, Bakker segera bergabung dengan JOSC.
Philip Peasant, juga anggota JOSC, punya pengalaman serupa. Pria kelahiran Inggris yang sudah 13 tahun tinggal di Jakarta ini selalu menghambur ke samudra jika penat kota menghajar tubuhnya. "Angin laut begitu segar," katanya. "Segala persoalan hidup seperti melayang diterbangkan angin."
Hanya, jangan membayangkan berlayar adalah seratus persen kegiatan santai. "Perlu tenaga kuat," kata Jonathan Zwaan. Betul juga. Sepanjang perjalanan bersama Kersey, trio Theodoor-Jonathan-Simon bekerja keras menyesuaikan arah layar dan angin. "Kita tak bisa berlayar melawan angin," kata Zwaan, yang bekerja di perusahaan perminyakan ini. Idealnya, layar berjarak 45 derajat dari arah angin. Tentu saja, penyesuaian arah layar-angin ini butuh kerja keras dan kekompakan kru. Kerja keras yang akhirnya memang berbuah: Kersey sukses menjuarai Sunda Kelapa Race kali ini.
Ihwal kerja keras tadi, dijamin, bukanlah soal besar bagi para pencinta laut. Justru sebaliknya, itulah tantangan yang menggoda. "Laut memang tak pernah mudah. Dia selalu menawarkan kesulitan," kata Hidayat, 57 tahun, pemilik klub layar FIS, Pantai Marina, Ancol. Para pelaut selalu dihadapkan pada situasi yang membutuhkan ketahanan fisik, setia kawan yang kental, dan juga kepemimpinan. "Justru itulah yang membuat saya jatuh cinta pada laut," kata Hidayat.
Hidayat, yang dibesarkan di Tegal, Jawa Tengah, semasa kecil sering diajak orang tuanya menikmati embusan angin di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Rupanya angin pantai telah membuai Hidayat hingga tumbuh sebagai seorang pencinta laut.
Tahun 1997, Hidayat mendirikan klub layar FIS, yang diambil dari nama tiga anaknya: Fransiska, Ivan, dan Stefani. Seperti juga JOSC, FIS yang beranggotakan 100-an pencinta laut adalah klub layar paling aktif di Jakarta. Bedanya, JOSC lebih didominasi perahu berlunas (keel boat) yang muat untuk 5-8 orang, sedangkan FIS lebih banyak berkonsentrasi pada perahu dinghy. Perahu jenis ini berukuran lebih kecil, hanya berkapasitas 1-2 orang, serta lebih banyak menuntut keahlian si pengemudi menaklukkan angin dan gelombang. Si pelaut mesti siap terombang-ambing seharian saat menempuh jarak puluhan mil di tengah laut.
Saat ini, Hidayat menambahkan, FIS telah memiliki 20 perahu dinghy yang siap disewa siapa pun yang berminat dengan ongkos sewa Rp 150 ribu per jam. "Tidak kelewat mahal jika diukur dengan sensasi yang bisa didapatkan," kata Hidayat. Sebagai pembanding, ongkos sewa jet ski Rp 300 ribu per jam.
Sayangnya, kesenangan bahari saat ini kebanyakan dinikmati warga asing. Hal ini bisa dilihat dari keanggotaan klub layar seperti JOSC, Tanjung Lesung Sailing Club, dan Royal Bali Yacht Club, yang banyak didominasi ekspatriat.
Royal Bali, yang didirikan Dick McCune, warga Amerika, dua tahun lalu, misalnya, beranggotakan 40-an ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan Bali. Mereka kerap berlayar mengarungi perairan pulau kecil yang tersebar di Indonesia Timur. Klub ini juga menggelar lomba bergengsi Darwin-Bali Yacht Race, setiap Juli, yang diikuti penggemar layar dari berbagai negara, mulai dari Selandia Baru sampai Amerika. Peserta lokal, lagi-lagi, hanya sedikit terlibat.
Entahlah, ke mana perginya para putra laut negeri ini. Hidayat menduga, setidaknya ada tiga hal yang memicu enggannya warga lokal mencicip sensasi laut. Pertama, ongkos menikmati kesenangan bahari memang relatif mahal. Kapal sejenis kersey, misalnya, di pasaran bisa berharga di atas Rp 200 juta, sedangkan jenis dinghy bernilai Rp 40-50 juta. Betul, ada banyak orang kaya di negeri ini, tapi umumnya mereka lebih suka memborong selusin mobil atau rumah mewah ketimbang membeli perahu. Maklumlah, "Perahu layar, semahal apa pun, tidak bisa dipamerin di jalanan," kata Hidayat.
Kedua, wisata bahari juga kurang populer karena ada persepsi yang keliru di kalangan masyarakat. "Orang kita masih banyak yang beranggapan bahwa laut itu berbahaya," kata Hidayat. Padahal, seperti terbukti dari ekspedisi kapal Borobudur, Agustus-Desember 2003, nenek moyang kita terbiasa menjelajah samudra luas. Rutenya pun tidak tanggung-tanggung, yakni Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, hingga Madagaskar, Afrika.
Ketiga, pemerintah kurang agresif mendukung perkembangan wisata bahari. "Perlu, dong, pemerintah mensubsidi murid-murid SD-SMP berwisata bahari," kata Hidayat memberi contoh. Soalnya, kegiatan ini bukan sekadar pelesir, tetapi lahan ideal guna memupuk sportivitas, setia kawan, dan kepemimpinan. Anak-anak ini juga yang kelak diharapkan menjadi pupuk bagi suburnya wisata bahari masa depan.
Mardiyah Chamim, Multazam (Tempo News Room), Adi Mawardi (Surabaya), Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo