Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dan Sang Raja Telah Kembali

Sekuel terakhir The Lord of the Rings menjadi film terbesar dan terdahsyat milenium ini. Satu dari sedikit film yang berhasil mengangkat sebuah karya sastra menjadi karya film yang sama besarnya, sekaligus sukses secara komersial.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE LORD OF THE RINGS: The Return of the King
Sutradara: Peter Jackson
Skenario: Peter Jackson, Frances Walsh, Philippa Boyens
Pemain: Elijah Wood, Viggo Mortensen,
Produksi: New Line Cinema

KIAMAT telah lewat. Setelah cincin dilebur ke dalam lava Mount Doom, segala yang jahat dan hitam di atas Middle Earth kemudian runtuh seketika menjadi api. Setelah melalui neraka ini, seperti juga awal dari segala kehidupan, peleburan cincin terkutuk Sauron itu sekaligus menjadi sebuah pengumuman dan pertanda yang telah dinanti: Sauron punah, kejahatan luluh-lantak. Untuk beberapa menit yang dinanti, setelah tiga sekuel trilogi sepanjang sembilan jam, kepada para penonton setia The Lord of the Rings disajikan serangkaian adegan kehancuran Menara Kegelapan Mordor, tempat Sauron—kali ini muncul dengan visualisasi The Eye, sebuah mata besar api yang menatap seluruh kegiatan di atas Middle Earth.

Inilah sebuah klimaks dari perjalanan panjang Froddo Baggins (Elijah Wood), ditemani sahabatnya yang setia dan penuh pengabdian, Samwise Gamgee (Sean Astin), untuk meleburkan cincin berkekuatan tak terbatas yang diinginkan oleh Sang Hitam, Sauron. Seluruh plot dari tiga film seri The Lord of the Rings yang diangkat dari sebuah novel setebal 1.137 halaman karya J.R.R. Tolkien itu sebetulnya sederhana: menyelamatkan dunia dengan memusnahkan sebuah cincin agar Kekuatan Gelap Sauron tak mampu menguasai dunia Middle Earth, sebuah dunia pada abad-abad silam ketika bumi ini masih dihuni oleh Manusia, Peri, Hobbit, Kurcaci, dan selebihnya makhluk-makhluk hitam yang berpihak pada Sauron.

Pada sekuel ketiga, Jackson tidak berlarat-larat menceritakan kembali apa yang terjadi pada The Fellowship of the Rings dan The Two Towers. Ia langsung saja membelah film sepanjang 3 jam 20 menit ini ke dua bagian besar yang nantinya berakhir menjadi satu. Pertama, lanjutan perjalanan Froddo dan Samwise diiringi Gollum/Smeagel (diperankan oleh Andy Serkis dengan kreasi komputer CGI), sebuah makhluk yang di masa lalunya adalah Hobbit yang berevolusi akibat kekuataan cincin itu dan masuk ke tubuh Gollum.

Kedua, kisah Aragorn (diperankan oleh aktor yang masya Allah tampannya, Viggo Mortensen)—putra mahkota Kerajaan Gondor yang enggan duduk di takhta kerajaan itu—yang akhirnya kembali ke kerajaannya, tempat ia dititahkan oleh garis tangannya dan demi menjawab keinginan rakyatnya.

Tetapi tentu saja sebelum semua sosok bisa duduk dengan tenteram di atas kerajaan yang aman sentausa, mereka harus melalui sebuah perang besar yang telah ditakdirkan: perang akbar melawan Sauron dan seluruh pasukannya yang terdiri dari berbagai makhluk zalim di atas bumi: gajah bergading empat, sembilan naga bersayap berwajah purba, dan berjuta Orc, makhluk tanpa bentuk yang secara fisik menampilkan kekejian dan simbol dari keburukan dari yang paling buruk.

Seluruh pasukan pembela Middle Earth di bawah pimpinan Aragorn didampingi oleh Penyihir Agung Gandalf (Ian McKellen), Peri Legolas (Orlando Bloom, favorit para penonton remaja putri yang menjerit setiap kali dia tampil di layar), dan Gimli, sang Kurcaci (John Rhys-Davies). Semua berkuda menuju Minas Tirith, ibu kota Kerajaan Gondor, untuk bertarung dalam sebuah "peperangan terbesar abad ini," demikian ungkap Sang Penyihir Agung Gandalf. Inilah taktik peperangan yang diharapkan akan mengganggu konsentrasi Sauron. Dengan demikian, Froddo dan Samwise bisa tiba di tepi jurang lava untuk memenuhi tugas berat melemparkan cincin terkutuk itu.

Peperangan itu adalah sebuah perayaan sinematik terbesar abad ini, milenium ini. Berjuta makhluk Orc, berpuluh gajah dan naga-naga bersayap seolah melahap pasukan fellowship Kesatria, Peri, dan di sana-sini terdapat Kurcaci dan Hobbit Merry—yang nyempil di atas kuda Eowyn (Miranda Otto), kemenakan perempuan Raja Theoden (Bernard Hill) dari Rohan. Melawan kebesaran dan kekejian dari segala bentuk tak mungkin hanya dengan tekad. Mereka hanya terdiri dari rombongan kesatria tangguh dan peri bertekad baja yang pandai memanah bak Arjuna bernama Legolas. Aragorn harus mendengarkan saran Elrond (Hugo Weaving), ayah Arwen—kekasih abadi Aragorn (diperankan oleh aktris jelita Liv Tyler). Apa boleh buat, sesuai dengan saran Elrond, Aragorn harus bersekutu dengan serombongan roh bekas tentara Kerajaan Gondor—yang masih gentayangan di pegunungan karena dikutuk—yang di masa lalu dikenal tak mengenal loyalitas. "Mereka akan patuh di bawah perintah pewaris Gondor yang sejati," kata Elrond, menyerahkan pedang kepada Aragorn. Dan persekutuan itu pun terbentuk. Kekalahan Yang Jahat dan Gelap sudah ditorehkan.

Kedahsyatan film ini tentu saja bukan karena teknologi yang dioptimalkan habis-habisan melalui adegan perang akbar dan berbagai makhluk yang tampak begitu nyata: sosok Gol- lum ciptaan komputer, yang tampak senyata aktor manusia yang bersanding selama perjalanan; laba-laba Raksasa Shelob yang membuat kita menggigil; atau pemandangan seluruh kawasan Gondor dan benteng-benteng yang merupakan gabungan antara karya kompugrafik dengan footage. Jackson menyelenggarakan "perkawinan teknologi" itu dengan luar biasa! Superb! Tetapi, di antara kemegahan teknologi, film ini juga tetap menampilkan momen-momen yang tidak hanya menyentuh, tetapi berhasil "merampas" hati.

Perjalanan panjang Froddo dan Samwise, yang bukan hanya diwarnai tantangan dan penderitaan, lebih mengoyak hati karena kesetiaan Samwise yang tak terbantahkan sepanjang zaman. Bahkan ketika Froddo kehilangan kepercayaan akibat hasutan Gollum. "Jangan pergi ke tempat yang tak bisa kuikuti," katanya kepada Froddo berkaca-kaca. Seperti dalam hidup, hanya pada akhir kisah, setelah penuh darah dan air mata, Froddo menyadari bahwa Gollum adalah makhluk yang mengkhianatinya, bukan Samwise yang sudah diusirnya. Di tepi Mount Doom yang dialiri lava, Froddo memberikan pernyataan penting dengan air mata "I'm glad to be with you Samwise Gamgee, here at the end of all days" Dan ucapan itu cukup memancarkan cahaya kegembiraan sang Hobbit yang setia dan penuh pengabdian pada Samwise. Adegan ini sekaligus memperlihatkan, Samwise adalah pahlawan yang sesungguhnya. Froddo adalah simbol keberanian dan ketabahan hati.

Adegan tragis lainnya adalah subplot Faramir (David Wenham), putra dari Denethor, steward (penguasa sementara) dari Minas Tirith. Denathor (diperankan dengan baik oleh John Noble) berduka atas kematian putra sulungnya—dalam sekuel The Two Towers—hingga saat Faramir dalam pingsan, Denethor yang mulai kehilangan ingatan berniat membakar diri dan Faramir hidup-hidup. Adegan-adegan lain lebih merupakan romantisme dalam setiap cerita fantasi: Kepada Pippin, Gandalf bersabda tentang indahnya hidup setelah kematian. Sebuah dialog dengan daya puitik; cinta Eowyn pada Aragorn yang tak kunjung berbalas, tapi toh Eowyn—meski pedih—dengan penuh harga diri maju ke medan perang dengan gagah. Sentuhan terakhir adalah cinta abadi Aragorn dengan Arwen—wanita keturunan peri—yang kemudian ditunjukkan melalui sebuah ciuman penuh gairah di depan khalayak rakyat. Viggo Mortensen adalah satu dari sedikit aktor yang mampu menunjukkan seni peran laga yang heroik sekaligus kegairahan cinta melalui sepasang matanya yang tajam.Dan dialah raja yang ditunggu bertahun lamanya oleh rakyatnya (dan oleh penontonnya yang kerap tak mampu bernapas karena ketampanannya!).

The Lord of the Rings: The Return of the King menjadi karya agung abad ini. Novel yang penuh dengan inspirasi legenda dan sejarah yang diangkat menjadi film epik ini akan menjadi barometer terpenting dalam sejarah perfilman dunia bagi mereka yang berikutnya akan membuat sebuah film epik. Sutradara Peter Weir (Master and Commander: the Far Side of the World), Anthony Mingella (The Cold Mountain), Edward Zwicks (The Last Samurai) layak mendapatkan nominasi penghargaan Academy Awards. Tetapi adalah Peter Jackson, sutradara trilogi The Lord of the Rings, yang layak memborong penghargaan tahunan ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus