Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBERKAS kertas berisi tulisan tangan itu meliuk-liuk diterpa angin. Jemari ketua majelis hakim Zoeber Djajadi sesekali menahannya agar tak terbang. Berkas yang lepas-lepas itu menyulitkan Djajadi membaca putusan sidang gugatan taipan Tomy Winata melawan Koran Tempo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan silam. Meski tersendat, akhirnya ia sampai pada halaman terakhir. Putusannya sungguh mengejutkan: majelis hakim mengabulkan hampir semua gugatan yang diajukan Tomy Winata.
Koran Tempo dinyatakan majelis hakim melanggar hukum dan mencemarkan nama baik Tomy Winata. "Pemberitaan yang diterbitkan Koran Tempo telah menghina penggugat," kata hakim. Eksepsi tergugat yang menyatakan gugatan tersebut kabur, prematur, kurang pihak, dan salah undang-undang ditolak. Koran Tempo menyodorkan eksepsi tersebut terutama dengan berpijak pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Hanya, menurut Djajadi, dalam kasus ini undang-undang tersebut bukan delik khusus (lex specialis), sehingga bisa menggunakan ketentuan undang-undang perdata yang umum. Itu sebabnya eksepsi dan juga gugatan balik yang diajukan tergugat ditampik.
Dalam putusannya, hakim mewajibkan Koran Tempo membayar ganti kerugian imaterial sebesar US$ 1 juta (sekitar Rp 8,4 miliar). "Ganti rugi itu sudah kami kurangi separuhnya (dari permintaan penggugat)," ujar Djajadi, yang didampingi hakim anggota Syamsul Ali dan I Wayan Rena. Tergugat mesti pula meminta maaf kepada penggugat melalui 8 koran, 6 majalah, serta 12 stasiun televisi (termasuk stasiun televisi internasional) selama tiga hari berturut-turut. Jika lalai melaksanakan putusan, Koran Tempo harus membayar dwangsom (uang paksa) Rp 10 juta untuk setiap satu hari keterlambatan.
Pemimpin Redaksi Koran Tempo Bambang Harymurti, yang hadir dalam sidang tersebut, hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar vonis tersebut. "Ini merupakan pelecehan terhadap Undang-Undang Pers," ujarnya. Lewat pengacaranya, ia akan mengajukan banding.
Sebaliknya, Boy Januardi, salah seorang kuasa hukum Tomy Winata, tampak puas. Meski tak semua gugatan dikabulkan, pihaknya menilai putusan itu sudah memenuhi rasa keadilan kliennya. "Angka ganti rugi itu sebenarnya tidak signifikan buat klien kami," kata Boy.
Gugatan Tomy Winata, yang dikenal sebagai bos Grup Artha Graha, diajukan pada Juni tahun lalu lewat kantor pengacara Hamdan, Sudjana & Partners. Yang digugat adalah Pemimpin Redaksi Koran Tempo Bambang Harymurti (tergugat I), wartawan Dedy Hermawan (tergugat II), dan PT Tempo Inti Media Harian (tergugat III). Pangkal soalnya adalah sebuah berita yang dimuat Koran Tempo pada 6 Februari 2003 berjudul Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi. Menurut penggugat, tulisan tersebut sudah menciptakan opini bahwa dirinya adalah musuh masyarakat. Ia menyoroti kalimat pada alinea keenam artikel itu, yang berbunyi, "Pengusaha yang bermitra dengan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat ini juga disebut-sebut mengincar kawasan Pulau Seribu di utara Jakarta sebagai arena judi."
Dalam pertimbangannya, hakim berpegangan pada pendapat saksi ahli yang diajukan Tomy Winata, yaitu Andi Baso Mappatoto dan Tjipta Lesmana. Menurut mereka, berita yang dilansir Koran Tempo itu sangat tendensius. Hakim lalu menilai bahwa berita itu sudah memenuhi unsur melanggar hukum seperti yang tertuang dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut majelis, unsur pada pasal tersebut antara lain melanggar hak orang lain serta bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidupnya.
Nah, Koran Tempo, yang dianggap sudah berpengalaman dalam bidang jurnalistik, menurut majelis, telah melanggar asas kehati-hatian dan ketelitian karena tidak melaporkan suatu informasi secara faktual. "Berita tanpa sumber yang ada di Koran Tempo terbukti tanpa konfirmasi kepada penggugat," ujar hakim.
Di mata majelis hakim, berita itu membuat opini bahwa Tomy Winata akan membuka usaha judi. "Padahal judi di sini masih dilarang. Jelas penggugat tersinggung perasaannya sehingga menimbulkan rasa malu dan menodai kehormatannya," kata hakim. Karena pemberitaan tersebut dinilai memenuh unsur perbuatan melawan hukum, akhirnya majelis hakim mengabulkan sebagian besar permintaan penggugat. Permintaan yang tidak dikabulkan hakim adalah ganti rugi material.
Itulah yang membuat Firman Wijaya, kuasa hukum tergugat, meradang. "Ini tidak masuk akal. Kalau gugatan kerugian material ditolak, seharusnya ganti rugi imaterial pun ditolak," ujarnya. Menurut Firman, sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung, semestinya dalam gugatan perkara perdata ada pihak ketiga yang menjadi mediator. Dalam kasus ini, Dewan Pers bisa dijadikan penengah. Tapi kali ini tidak terjadi. Malah keterangan saksi ahli dari Dewan Pers yang menyatakan berita itu telah memenuhi kaidah jrnalistik sama sekali tak digubris. "Nyatanya hakim mengambil alih semua fungsi itu," kata Firman.
Penilaian Majelis Hakim bahwa Koran Tempo telah melakukan perbuatan melawan hukum juga dipertanyakan sejumlah ahli pers. Menurut pandangan Abdullah Alamudi, seharusnya Tomy Winata senang dengan berita itu. Soalnya, berita itu malah membersihkan nama Tomy Winata dari desas-desus yang ada bahwa dia akan membuka usaha judi di Sulawesi Tenggara. "Dari judulnya saja sudah kentara," katanya. Masalahnya, hakim malah sibuk menunjuk kata desas-desus yang ditulis Koran Tempo. Padahal, kata Alamudi, tugas wartawanlah membuktikan benar-tidaknya sebuah desas-desus. Tugas memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui ini telah diatur dalam Undang-Undang Pers.
Saat itu wartawan Koran Tempo juga telah berusaha mewawancarai Tomy Winata. Usahanya tidak berhasil "karena sejumlah pria berwajah keras menghalang-halangi Tempo...," demikian yang ditulis dalam berita tersebut. Jadi, menurut Alamudi, tidak ada niat jahat atau actual malice untuk menghina, yang sesuai dengan Pasal 310 KUH Pidana dijadikan ukuran untuk menentukan apakah sebuah perbuatan bisa disebut penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang.
Bambang Harymurti menyesalkan pula putusan hakim karena mengabaikan Pasal 1376 KUH Perdata. Di sana disebutkan bahwa tuntutan perdata tentang penghinaan tak dapat dikabulkan jika terbukti tidak ada maksud menghina. Maksud untuk menghina dianggap tidak ada jika si pembuat nyata-nyata telah berbuat untuk kepentingan umum. Berita yang dimuat Koran Tempo jelas-jelas disiarkan untuk kepentingan umum karena menyangkut keresahan soal kegiatan judi, yang sampai sekarang masih dilarang.
Bambang khawatir keputusan ini akan membuat pers di Indonesia tak dapat menjalankan tugasnya. "Pasal 6 d UU no 40 tahun 1999 mengamanatkan pers harus melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum," katanya. "Apakah mungkin melakukan pengawasan dan kritik tanpa membuat tak ada satu pun orang di dunia ini yang merasa terhina?," tanya Bambang.
Itu sebabnya pihak Koran Tempo bersiap-siap melakukan eksaminasi atau uji publik atas putusan majelis, selain mengajukan banding. "Karena terlalu banyak kejanggalan," ujar Todung Mulya Lubis, salah seorang kuasa hukum tergugat.
Ketua majelis hakim Zoeber Djajadi tak mau menanggapi berbagai komentar terhadap putusannya. Ia menyatakan bahwa vonis itu sudah bulat. Soal tidak digunakannya Undang-Undang Pers, Djajadi mengatakan, dalam masalah pencemaran nama baik, undang-undang itu bukan lex specialis. "Sejak dulu, saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilang begitu," ujarnya.
Hanya, dikabulkannya gugatan kerugian imaterial dalam mata uang asing membuat heran Sabam Siagian. Di mata bekas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post dan Duta Besar RI untuk Australia ini, putusan tersebut menghina para pejuang yang gigih mempertahankan mata uang rupiah. Kata Sabam, "Majelis hakim tidak sadar dan tidak menghormati sejarah yang tersimpul di mata uang Republik Indonesia."
Sementara berkas putusan Hakim Djajadi hanya sekadar meliuk-liuk diterpa angin, rasa menghargai mata uang negeri sendiri (dan juga Undang-Undang Pers) mungkin sudah terbang entah sampai mana.
Juli Hantoro, Poernomo G. Ridho, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo