Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Syafii Maarif
Pengamat politik
SEORANG negarawan pastilah politisi, tetapi seorang politisi belum tentu negarawan. Dalam kamus-kamus Inggris, negarawan digambarkan sebagai seorang yang mumpuni dan berpengalaman dalam urusan kenegaraan, arif, punya pandangan jauh ke depan, dan berlaku adil dalam menangani urusan publik. Sebaliknya, politisi adalah seorang yang mahir dan terlibat aktif dalam politik, tapi belum tentu punya kearifan, keadilan, dan pandangan ke depan. Bahkan, seorang politisi sering diejek sebagai orang yang lebih banyak mengejar kepentingan pribadi yang bersifat partisan. Sudah tentu tidak semua politisi punya karakter seperti itu.
Bagaimana dengan Indonesia? Barangkali tidaklah salah kalau kita terpaksa menyatakan bahwa selama lebih dari setengah abad kita merdeka, yang banyak muncul adalah politisi dan sedikit sekali negarawan. Yang menyedihkan, negarawan itu sering kandas karirnya, dikalahkan oleh politisi. Contohnya, seorang Hatta yang negarawan tak berdaya berhadapan dengan Sukarno, yang pada tahun-tahun terakhir dari karir politiknya lebih menonjol sebagai politisi. A.H. Nasution yang negarawan dengan mudah saja "dipermainkan" Soeharto, yang pernah menjadi bawahannya di Angkatan Darat.
Sukarno yang sipil dan Soeharto yang militer sama-sama berasal dari subkultur semifeodal dan otoritarian. Sukarno dengan latar belakang pendidikan Baratnya semestinya tidak terjebak lagi dengan segala macam yang berbau feodalisme dan otoritarianisme. Dalam teori, Sukarno mengaku sebagai seorang demokrat, dalam praktek dia adalah penguasa tunggal yang pantang dikritik. Demokrasi Terpimpin (DT) yang diciptakannya adalah sistem politik otoritarian dalam bentuknya yang sempurna. Sistem ini akhirnya gagal dengan mewariskan malapetaka nasional yang penuh trauma. Orang-orang yang mengelilingi Sukarno umumnya politisi partisan dan oportunis. Merekalah yang merancang gelar-gelar kebesaran baginya yang menyebabkan presiden Indonesia pertama ini kehilangan keseimbangan dalam perjalanan politiknya. Dia berkubur secara tragis bersama sistem yang diciptakannya.
Debut politik Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru (Orba) dipuji banyak kalangan, termasuk mereka yang dapat dikategorikan sebagai negarawan. Dalam tempo yang relatif singkat, Orba berhasil membangun ekonomi Indonesia yang hancur pada masa DT dengan tingkat inflasi mencapai 650 persen. Namun, pada 1968 Soeharto bersama gangnya secara berangsur berhasil menyingkirkan Nasution dan kelompok moralis lainnya. Jadilah Orba tidak berbeda dengan rezim yang digantikannya: sama-sama otoritarian dan feodalistis. Bedanya, rezim DT hanya bertahan selama enam tahun (1959-1966), karena di mana-mana rakyat menjerit kelaparan dan tentara terpecah, sedangkan rezim Orba bertahan selama 32 tahun (1966-1998).
Ada dua alasan pokok mengapa Orba bertahan demikian lama. Pertama, perbaikan ekonomi rakyat sebelum krisis dan turunnya inflasi memang dirasakan, sekalipun kesenjangan sosial semakin menganga, di samping korupsi yang hampir tanpa batas—diawali dengan krisis Pertamina awal 1970-an. Kedua, rezim Orba mendapat dukungan penuh dari militer, khususnya Angkatan Darat non-Nasution. Sipil yang masuk dalam sistem Orba sebagian sebenarnya punya watak kenegarawanan, tetapi terkontaminasi juga oleh gesekan virus otoritarianisme dan neofeodalisme yang serba monolitis. Ungkapan "petunjuk bapak" telah jadi omongan harian sebagian pejabat.
Dalam perjalanan waktu, pejabat sipil itu turut menari seirama dengan bunyi genderang yang ditabuh hingga sampai pada timbulnya krisis sejak dua setengah tahun yang lalu. Segala borok politik, ekonomi, sosial, dan moral yang ditutup-tutupi terbongkarlah sudah. Ternyata, Orba lebih banyak merusak ketimbang membangun, dengan mewariskan utang luar negeri yang seabrek dan kehancuran moral bangsa yang belum tentu bisa dipulihkan selama satu generasi mendatang. Para politisi yang berkerumun dalam sistem Orba akhirnya tidak banyak berbeda dengan politisi yang bermain pada masa DT: partisan dan oportunis.
Rupanya, bila seseorang sedang mabuk kekuasaan, akal sehat dan nurani sering tidak berfungsi. Kekuasaan memang membutakan dan memekakkan. Negarawan dan politisi sejati senantiasa memasang telinga ke bumi untuk mendengar kata orang, langsung atau melalui para pembantunya yang disampaikan secara jujur dan tulus. Para pembantu itu memang harus loyal tetapi jangan sampai kehilangan sikap kritis. Baik Sukarno maupun Soeharto, bahkan Habibie, mungkin tidak banyak punya pembantu dengan karakter mulia ini.
B.J. Habibie, yang tampil sebagai presiden kita yang ke-3, semula adalah seorang kepercayaan Soeharto selama lebih dari dua dekade. Wataknya lugu dan lurus, otaknya brilian sebagai teknolog, tetapi datang pada waktu yang tidak tepat. Bangsa kita tengah dilanda krisis multiwajah yang dahsyat. Keran demokrasi yang sebelumnya terkunci rapat dibukanya lebar-lebar, mungkin terlalu lebar, hingga menjurus kepada ultrademokrasi, yang kemudian ternyata mempercepat kejatuhannya. Potensinya sebagai negarawan visioner belum sempat diaktualkan secara baik dalam tempo yang wajar. Political blunder tentang Tim-Tim "menyumbang" banyak bagi kejatuhannya.
Bagaimana dengan Gus Dur? Apakah dia seorang negarawan atau hanya politisi, baiklah penilaiannya kita tunda dulu. Harapan kita adalah agar presiden ke-4 ini mau belajar sebanyak-banyaknya dari para pendahulunya hingga bangsa ini tidak lagi dijadikan kelinci percobaan elite politik yang berakibat cukup fatal bagi kita semua. Negarawan yang bertelinga ke bumi akan senantiasa awas terhadap segala bisikan yang mencelakakan. Bisikan yang datang dari orang yang pandai bertanam tebu di bibir tetapi hatinya penuh gejolak keserakahan, yang juga menjadi salah satu ciri rezim Orba, harus dihindari. Karena itu, Gus Dur, please keep firm and have more wisdom!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |