Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paris menggigil dalam 2 derajat Celsius, akhir Januari lalu. Tapi suasana di dalam Hotel de Crillon, penginapan luks dari masa Louis XV, dekat Champs-Elysees, mirip musim panas di India. Di ruangan berpenghangat sempurna, seorang pria berambut sebahu memetik sitar ketika para gadis mondar-mandir dalam busana bergaya kolonial India. Mereka yang memakai baju tanpa lengan dan celana pendek itu seolah-olah tak sadar, air mancur di Place de la Concorde (alun-alun depan hotel) telah membeku.
Para model itu tidak memakai baju hangat, karena sedang memperagakan salah satu koleksi musim semi-panas dalam Paris Couture Week. Ini adalah ajang untuk memamerkan haute couture—busana termahal (bisa puluhan ribu dolar) yang dikerjakan dengan tangan dan diproduksi sangat terbatas. Koleksi bergaya kolonial India itu dianggap oleh kritikus mode sebagai "penutup yang indah" untuk Paris Couture Week. Perancang yang mendapat pujian tersebut adalah pria berumur 28 tahun asal Indonesia: Didit Hediprasetyo, putra tunggal Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto.
Tidak sedikit perancang Indonesia yang menuai keberhasilan seperti Didit. Sebelumnya, kita mengenal Farah Angsana, yang telah menggedor Paris dan kini berjaya di New York. Pekan lalu, Farah memamerkan koleksinya dalam pergelaran bergengsi, New York Fashion Week. Busana karya jet-set designer—begitu ia dijuluki Style.com—diminati para pesohor Hollywood, seperti Eva Longoria dan Carrie Underwood.
Auguste Soesastro kini juga mencoba peruntungan di New York. Dua mereknya, Kraton (couture) dan Kromo (ready to wear), telah mencuri perhatian banyak orang. Ia memilih gaya minimalis. Tapi keabsenan detail, motif, dan volume ini justru menuntut pengerjaan yang sempurna. Kerut sedikit saja akan terlihat jelas. "Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun," kata pria 30 tahun itu.
Idealismenya sudah tumbuh ketika belajar di satu-satunya sekolah haute couture di dunia, Chambre Syndicale de la Couture, Paris. Lulus dari sana, ia sempat bekerja di rumah mode besar di Paris, lalu bekerja dengan desainer couture Ralph Rucci di New York. Pengalaman itulah yang mengantarnya dua kali ia mengikuti Pekan Mode New York (2009 dan 2010), yang amat ketat menyeleksi peserta.
Tak selamanya keberhasilan menarik perhatian mode dunia dilakukan dari pusat mode. Tex Saverio punya pengalaman berbeda. Perancang berusia 28 tahun ini mengejutkan kita tatkala bajunya dipakai oleh Lady Gaga, penyanyi yang selalu memakai busana unik, dalam pemotretan majalah Harper's Bazaar Amerika Serikat. Ia disejajarkan dengan perancang dunia, seperti Alexander McQueen, Thiery Mugler, Versace, Dior, dan Francesco Scognamiglio, yang bajunya juga dipakai dalam pemotretan tersebut.
Ardistia Dwiastri, pemilik label Ardistia New York, mengungkapkan kiat keberhasilan dia dan rekan-rekannya di kancah dunia. "Untuk bisa diterima di pasar global, harus berani membuat gaya rancangan sesuai dengan selera mereka," kata dia, saat ditemui di Indonesia Fashion Week pekan lalu. Selain berhasil menjuarai berbagai kompetisi, alumnus Parsons School of Design New York ini karyanya sering dikupas majalah dunia, seperti Vogue, Harper's Bazaar, Elle, New York Times, dan Style.com.
Rahasia lain diungkap oleh Mardiana Ika. Perancang asal Bali itu berhasil menembus 35 negara dan menjadi langganan Hong Kong Fashion Week. Menurut dia, busana yang berhasil di tingkat dunia itu, "Bukan yang bergaya rumit seperti adibusana yang berlebihan." Sayangnya, kedua hal sederhana itu kerap dilupakan desainer kita di sini.
Qaris, Sorta, Hadriani
Kembali Hitam
Mulai akhir bulan lalu hingga pekan ini, empat kutub mode dunia—London, Milan, Paris, New York—menggelar fashion week untuk koleksi musim gugur 2012. Busana ini akan keluar di butik-butik seluruh dunia, dan menjejali pula mal-mal Indonesia pada Oktober mendatang.
Tahun ini para desainer kembali ke pakem busana musim gugur: hitam dan kelabu. Mulai Calvin Klein, Bebe, Carolina Herrera, DKNY (New York), Bally, Botega Veneta, Emporio Armani, Fendi, Gucci, Moschino, hingga Prada (Milan) memakai warna gelap. Bahkan Dolce & Gabbana, yang biasanya cerah ceria, tahun ini memakai hitam.
Namun, berbeda dengan tren hitam di masa lalu yang hanya disanding putih atau kelabu, kali ini banyak desainer memadukannya dengan warna emas. Perpaduan terindah dilakukan oleh Dolce & Gabbana, yang mengangkat busana matador ke atas catwalk. Baju-baju mini berwarna hitam diberi motif sulaman benang emas ala Spanyol. Para model didandani mirip pelukis Frida Kahlo.
Hitam kembali lagi—tanpa kemuraman.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo