Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Makin Cespleng, Makin Tinggi Risiko

Survei YPKKI-TEMPO membuktikan sejumlah obat Cina dan jamu tradisional lokal mengandung obat keras. Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengakui memang tidak mudah mengawasi kualitas obat Cina dan jamu tradisional.

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR Glodok, Jakarta Barat. Di kawasan ini, kita bisa melongok barisan toko berpapan nama keemasan, sebagian bertuliskan huruf-huruf kanji, yang menyediakan obat-obat asal Cina. Ada racikan akar plus daun-daunan dan banyak pula obat jadi dalam kemasan. Semuanya dikabarkan ampuh membabat penyakit. "Sinshe Djiauw Wie Young. Mengobati segala macam penyakit: luar-dalam, pria-wanita," begitu salah satu contoh papan promosi. Pembeli yang tak paham bahasa Mandarin, apalagi huruf kanji, tidak merasa kikuk. Penjual yang menyebut dirinya sinse, tabib Cina, akan sigap melayani. Purwanto, 43 tahun, misalnya, mendatangi toko obat "Bintang Terang" dengan keluhan sakit pinggang. Si penjual, Budi, sebut saja begitu, segera mengambil kotak obat berwarna cokelat. Tak jelas apa merek, aturan pakai, dan kandungan obat yang disodorkan karena seluruh keterangannya ditulis dalam bahasa Mandarin. Purwanto pun tidak merasa perlu menggali detail yang berkaitan dengan obat tersebut. "Ini obat bagus?" tanya Purwanto, yang segera disambar anggukan kepala Budi. "Minum tiga kali enam butir setiap hari," kata Budi menjelaskan aturan pakai. Kotak berisi 100 pil obat sakit pinggang seharga Rp 15 ribu itu pun beralih ke tangan Purwanto. Transaksi usai. Harga yang murah agaknya menjadi daya pikat obat Cina. Sebotol berisi seratus tablet Ancom Pills, obat tekanan darah tinggi, misalnya, berharga Rp 8.000. Dalam sehari, satu kios bisa menjual 10-15 botol Ancom. Sedangkan 60 tablet obat diabetes mellitus Fenfluramini Hydrochloride bisa dibeli dengan Rp 20 ribu dan sehari satu kios bisa melego 5-10 botol. Padahal, obat modern untuk kedua penyakit ini harus dikonsumsi rutin dalam waktu lama serta bisa berharga ratusan ribu rupiah. Selain itu, obat Cina gampang diperoleh tanpa harus melalui konsultasi dengan dokter, yang juga membutuhkan ongkos. Orang tak perlu jenuh berjam-jam menanti di ruang tunggu praktek dokter. Nah, dengan harga murah, obat-obatan Cina tak sulit menjaring pembeli. Transaksi obat Cina pun menjelma menjadi bisnis menggiurkan. Seperti yang terungkap dari survei Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), setiap toko obat Cina di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, misalnya, rata-rata menjual obat senilai Rp 1 juta per hari. Sedangkan di Pasar Glodok, omzet tiap toko mencapai Rp 2 juta per hari. Ini belum termasuk menghitung nilai obat yang dikirim ke berbagai kota di Indonesia. Di pasar-pasar yang dikenal sebagai sentra perdagangan obat Cina di Jakarta saja ada sekitar 260 kios yang menjual obat Cina. Sayangnya, belum tersedia data yang menggambarkan kue bisnis obat Cina secara nasional. Namun, tiga tahun lalu, sebuah harian Ibu Kota menaksir peredaran obat Cina di Indonesia mencapai Rp 80 miliar per tahun. Pada awal 1990-an, gurihnya kue bisnis ini sempat mengundang keikutsertaan Ari Sigit. Cucu Presiden Soeharto ini, melalui PT Arvesco Husada, membisniskan stiker izin peredaran obat Cina. Dan pada rentang 1994-1998, peredaran obat Cina membeludak sampai 1.323 merek, antara lain, karena Arvesco mengobral stiker izin. Ternyata itu tak menjadi jaminan bahwa pasar tidak digempur obat-obatan Cina ilegal. Pada 1998, aturan perizinan obat impor pun direvisi (lihat: Sampurno: "Kami Kewalahan"). Namun, peraturan ini belum sanggup memangkas total rantai bisnis obat Cina yang tidak sah. Pemantauan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) menunjukkan ada 649 merek obat Cina yang berstatus ilegal alias tidak terdaftar. Dan hanya 119 merek yang sudah resmi mengantongi izin beredar dari Departemen Kesehatan. Ratusan obat Cina tanpa izin itulah yang berpotensi membahayakan keselamatan konsumen. Sebagian besar di antaranya mengandung obat keras "Daftar G" yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter. Padahal, para pedagang hampir selalu mengklaim obat Cina sebagai produk tradisional, telah teruji ribuan tahun, dan tidak mendatangkan efek samping. Awam pun tanpa banyak cincong percaya saja bahwa obat Cina adalah alternatif obat-obatan modern yang lebih aman. Kedok tradisional dalam peredaran obat Cina juga menjadi keprihatinan Profesor Iwan Darmansjah, farmakolog senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. "Ini penipuan," kata Iwan. Dan konsumen bakal menuai dampak buruk bila tubuhnya terus-menerus digempur obat keras dengan dosis yang serampangan. Keprihatinan atas nasib konsumen ini jugalah yang mendasari survei yang digelar YPKKI bersama TEMPO. Status legalitas obat Cina?berdasarkan nomor registrasi?dan kandungan senyawa sintetis kimia adalah dua hal yang menjadi sorotan utama. Survei ini juga menyertakan jamu lokal sebagai subyek pengamatan. Alasannya, "Ketidakjelasan legalitas dan kandungan obat keras juga masih menjadi persoalan dalam jamu buatan lokal," kata Marius Widjajarta, Ketua YPKKI. Sedangkan peminatnya juga tak kalah dengan peminat obat Cina. Jamu Jaya Dipa No. 4 untuk diabetes mellitus, misalnya, bisa terjual hingga 50 bungkus oleh satu kios jamu saja. Menurut hasil survei (lihat tabel), semua sampel obat Cina tidak dilengkapi nomor pendaftaran resmi dari Departemen Kesehatan. Label dan brosur yang menyajikan informasi mengenai komposisi, indikasi, dan kontraindikasi obat disajikan dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Keterangan obat rematik Sieh Siang Tsaisan bahkan ditulis dalam huruf kanji. Nuansa serupa muncul pada jamu lokal. Hanya 3 dari 11 sampel jamu yang mencantumkan nomor registrasi sesuai dengan patokan Departemen Kesehatan. Empat merek lainnya menampilkan tanda pendaftaran fiktif alias tidak sesuai dengan standar resmi. Sisanya, 4 merek jamu, tergolong liar karena tidak dibubuhi tanda registrasi apa pun. Uji kualitatif (lihat: Ini Dia Seluk-Beluk Survei) kandungan senyawa kimia sintetis juga menemukan beberapa poin menarik. Sesuai dengan keterangan yang tercantum pada label dan kemasan, Ancom terbukti positif mengandung diazepam alias valium. Padahal, diazepam tergolong obat psikotropik yang mengakibatkan ketergantungan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropik, bagi yang mengedarkan diazepam tanpa izin sebetulnya bisa dikenakan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Namun, uji laboratorium menunjukkan bahwa Ancom tidak mengandung reserpin seperti yang disebutkan dalam labelnya. Ada dua kemungkinan yang memicu hasil ini. Pertama, proses pembuatan obat tidak sempurna sehingga senyawa kimia tidak tercampur rata; kedua, produsen memang menipu konsumen dengan tidak membubuhkan reserpin dalam pil Ancom. Ketiadaan reserpin dalam Ancom bisa jadi mewakili keruwetan dalam rimba bisnis obat-obatan Cina. Selama ini, seperti diungkapkan Kepala Badan POM Sampurno, produk obat Cina memang banyak dipalsukan. "Tempat pemalsuan bisa di Hong Kong, Singapura, atau di Indonesia," katanya. Boleh jadi produk asli tapi palsu tanpa reserpin ini yang terjaring menjadi sampel survei YPKKI-TEMPO. Ketut Ritiasa, Direktur Obat Tradisional Badan POM, juga menekankan ruwetnya rimba bisnis obat Cina. Sering kali produsen obat atau jamu yang tidak memenuhi syarat tak bisa dikenai tindakan apa pun. Dengan mudah mereka mengelak telah memproduksi obat yang tak bermutu dan mengatakan bahwa produknya telah dipalsukan. Karena itu, Ketut mengakui tak gampang mengawasi kualitas jamu dan obat-obatan. Dengan semua kerumitan pengawasan jamu dan obat itu, Sampurno dan Ketut pun menyerukan pentingnya pemberdayaan konsumen. Informasi memadai mengenai keamanan produk harus disebarluaskan. Sikap konsumen yang waspada sangat membantu upaya membendung aliran produk tak bermutu. "Sebaiknya Anda jangan gampang tergoda janji yang muluk-muluk," kata Ketut. Jangan lupa, semakin muluk klaim khasiat obat atau jamu, kian tinggi pula risiko yang membayangi konsumennya. Mardiyah Chamim, Dwi Wiyana, Dewi Rina Cahyani, Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus