SOROTAN lampu yang malu-malu di Taman Maluku, Bandung, terasa menambah romantis suasana malam itu. Ada sekitar 20 waria dengan busana merangsang, megal-megol memamerkan kemolekan tubuhnya "He... he..," dengan suara bernada bariton, mereka meluncurkan sapaan khas dari bibirnya yang bergincu tebal, pada setiap mobil yang mendekat. Daerah dekat Gelora Saparua itu memang sudah terkenal sebagai tempat transaksi para waria di Bandung, yang berjumlah sekitar 100 orang. Mobil-mobil biasanya sudah mangkal sejak pukul 21.00. Mereka memarkir kendaraannya di bawah pohon rindang yang menghias taman. Waria-waria itu, dengan gayanya yang genit, merajuk minta dicumbu. "Kebanyakan sih, mahasiswa yang saya layani," kata Dewi, waria asal Indramayu ini, sambil mencibirkan bibirnya. Di balik suasana romantis itu, mereka selama ini tak menyadari adanya bayangbayang penyakit kelamin sifilis. Padahal, hasil penehtian dari bagian Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P3M) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menunjukkan, sebanyak 3 persen waria Bandung digerogoti sifilis Kenyataan itu cukup mengejutkan. "Kami memang lengah," kata Dr. Gunawan Tirtawidjaja, M.P.H., Kasubdin P3M Jawa Barat. Diakui oleh dokter ahli kcsehatan masyarakat lulusan Universitas Hawaii ini, pada survei-survei tentang penyakit kelamin sebelumnya, para waria memang selalu dilewatkan saja Sasaran penelitian ini, menurut Dokter Gunawan, sebetulnya diarahkan pada pengidap virus AIDS. Dari target 750 sampel yang mempunyai risiko tinggi, ternyata hanya terjaring 545 orang untuk diambil darahnya. Mereka adalah WTS liar 36 orang, WTS terdaftar 23 orang, waria 20 orang, karyawar, panti pijat 170 orang, karyawan bar dan klub malam 6 orang, dan napi 230 orang." Penelitian itu sekalian dimanfaatkan untuk memeriksa penyakit kelamin," ucap dokter ahli epidemiologi ini. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa ternyata mereka bebas dari virus AIDS. Hanya yang di luar dugaan adalah hasil pemeriksaan penyakit sifilis, yang ternyata menduduki ranking paling tinggi. Yaitu, dari 20 waria yang diperiksa, ada 7 orang yang menderita sifilis atau sekitar 35 persen. Cukup besar dibandingkan kelompok lainnya: WTS liar 8,3 persen, WTS terdaftar 8,6 persen, panti pijat 1,7 persen, karyawan bar/klub malam 0 persen, dan napi 3 persen. Dari tahun ke tahun, menurut dokter berperawakan gemuk ini, kecenderungan penderita penyakit sifilis di Bandung memang selalu naik. Pada tahun 1983, hasil survei rmenunjukkan pelajar SLA yang terkena hanya 0,14 persen. Tapi pada tahun 1985 naik menjadi 0,55 persen. Juga pada WTS lokalisasi. dari 0 persen melonjak menjadi 14,2 persen. Sedangkan pada WTS liar dari 6,9 persen naik menjadi 35 persen. Penyakit kelamin yang disebabkan bakteri Treponema Pallidum ini, menurut Dokter Tonny S. Djajakusuma, paling berbahaya dibandingkan penyakit kelamin lainnya, setelah AIDS. "Sebab, penyakit ini menyerang seluruh organ tubuh. Apalagi jika sudah berkembang mencapai tingkat sifilis cardio vascular, maka dapat menyebabkan kematian," kata Kepala Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin RS Hasan Sadikin Bandung ini, mengingatkan. Bakteri penyebab sifilis berbentuk spiral, panjangnya 6 sampai 15 milimikron, dan tak tahan hidup lama. Namun, di dalam darah, bakteri yang berkembang biak dengan membelah diri setiap 30 jam ini dapat bertahan sampai 72 jam. Inilah yang membuka kemungkinan penularan lewat transfusi darah atau kulit yang luka. "Cuma dalam hubungan kelamin, penularan bisa terjadi tanpa ada luka," kata Dokter Tonny. Lalu bagaimana penularan pada waria kok bisa terjadi? "Sama saja. Makin banyaknya variasi dalam hubungan seks, pintu penyakit kelamin semakin luas," katanya. Dalam hubungan kelamin oral atau anus, lecet kecil saja dapat menjadi penyebab pintu penyakit semakin terbuka. Malah waria. menurut dokter lulusan FK Unpad ini, sangat potensial sebagai penyebar bakteri Treponema Pallidum. Karena pengawasan dan pemeriksaan pada mereka tak seketat WTS. Hal ini diakui oleh Inem, waria senior yang sudah 16 tahun beroperasi di Taman Maluku. "Kami tak pernah diperiksa, apalagi disuntik oleh dokter," katanya. Untuk menjaga kesehatannya selama ini, kata waria pindahan kota Solo itu, setelah bermain cinta, maka ia berkumur dan bersiram-siram dengan air bersih. Apakah tak takut kena sifilis? "Masa bodo. Toh langganan tak berkurang," kata Inem, yang rata-rata semalam meladeni 2 orang tamu. Seorang pelanggan yang tak mau disebut namanya juga tak bergeming dengan genderang penyakit sifilis itu. "Saya main ini hanya untuk penyaluran nafsu, daripada ke pacar," katanya. Alasan main dengan waria, "kan hanya secara oral," ujar mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung, sambil menggamit waria manis yang ada di sebelahnya. Kriteria waria selama ini memang banyak disalahtafsirkan. Djohansiah Marzoeki ahli bedah RS dr. Sutomo Surabaya, menjelaskan bahwa waria bukan homoseks. Waria adalah wanita bertubuh pria. Yang pasti, mereka bukan pria yang menyukai sesama jenis alias homoseks. Waria tidak bisa melakukan hubungan kelamin dengan kaum homoseks. Mereka menuntut hubungan dengan pria tulen atau pria gagak. Dan baru sekarang ini mereka dilibatkan alam penelitian. Secara teknis, lapangan tak ada masalah. Justru yang membuat pembatas adalah dana. Sebab itu, penelitian kali ini mengandalkan biaya dari WHO, untuk program jangka pendek -- AIDS di Indonesia tahun 1988-1989. Lalu ketahuan merajalelanya bakteri sifilis di kalangan waria. "Hal ini jelas berbahaya, karena akan meningkatkan prevalensi lagi," kata Dokter Gunawan, khawatir. "Para konsumen waria. harap hati-hatilah," pesannya. Gatot Triyanto, Riza Sofyat, dan Sigit H. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini